Selasa, 18 November 2014

Koreksi Atas Penyesatan Data KataData tentang Harga BBM Harus Naik


Sekilas data yang diungkap KataData tentang 10 Alasan Harga BBM Harus Naik benar. Logis karena berdasarkan data. Akhirnya kita setuju bahwa harga BBM harus naik. Tak peduli banyak rakyat Indonesia nanti akan menjadi miskin atau mati kelaparan. Padahal setelah kita teliti, ternyata itu tidak benar.
Contohnya pernyataan nomor 1. Indonesia Negara Boros Subsidi. Sekilas itu berdasarkan data yang benar. Indonesia paling boros subsidi energi karena mencapai 3% dari PDB sementara Cina cuma 0,3%. Benarkah itu?
Yang jadi pertanyaan: Kenapa harus dibagi berdasarkan PDB? Kenapa tidak berdasarkan jumlah penduduk atau apa adanya?

Dari berbagai berita yang saya dapat, subsidi energi yang diberikan oleh pemerintah Cina amat besar. Namun dengan subsidi energi tersebut, akhirnya industri mereka jadi berkembang sehingga PDB mereka meningkat bahkan sekarang mengalahkan AS. Di berbagai berita AS memprotes kebijakan subsidi energi Cina untuk industrinya sehingga akhirnya mereka mengekspor banyak barang ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Industri AS sampai2 banyak yang mati karena tidak bisa bersaing dengan Cina. Ini contoh Subsidi Energi Cina yang diberikan pada industri Baja:

Dari impor gas Indonesia yang dipatok setara harga minyak US$38/brl saja meski harga minyak dunia menembus lebih dari US$ 100/brl, Cina menikmati subsidi gas dari Indonesia sebesar Rp 180 trilyun/tahun!

Penelitian dari HBR.org, dari tahun 2000 hingga pertengahan 2007, pemerintah Cina memberi subsidi energi untuk industri Bajanya sebesar US$ 27 milyar (Rp 540 Trilyun). Ini baru industri baja. Belum industri lainnya. Itu membuat industri baja di Cina berkembang sehingga dari importir berubah jadi eksportir nomor 1 di dunia. Ini juga membuat industri2 lain seperti otomotif, sepeda, mesin2 dan lainnya yang memakai baja berkembang pesat.

Ibaratnya negara A memberi subsidi energi sebesar Rp 10 juta sehingga kemudian muncul 100 pabrik yang menghasilkan produk senilai Rp 10 juta. Total produksi jadi Rp 1 milyar. Subsidi jika dibagi produksi, cuma Rp 10 juta/1 milyar = 1%. Kemudian negara B memberi subsidi energi sebesar Rp 1 juta sehingga harga energi tetap mahal dan membuat banyak orang tidak tertarik untuk membuat pabrik. Hanya 2 pabrik yang berdiri dan menghasilkan produk total sebesar Rp 20 juta. Besar subsidi dibagi produksi jadi Rp 1 juta/Rp 20 juta = 5%.
Meski Negara A memberi subsidi lebih besar (Rp 10 juta) daripada negara B (Rp 1 juta), tapi karena produktivitas negaranya meningkat, akhirnya persentase subsidi energi tersebut jika dibagi PDB jadi rendah. Itulah yang terjadi saat ini.
Jadi jika karena itu Harga BBM Harus Naik, percayalah pabrik2 banyak yang tutup, PDB menurun, dan besar subsidi yang dibagi PDB jadi seperti meningkat. Ini adalah kesalahan penggunaan variabel pembagi. Akhirnya menghasilkan solusi yang menyesatkan dan menyengsarakan rakyat.


Subsidies and the China Price
In 2005, Beijing designated steel as a pillar industry for the Chinese economy. China was the world’s largest producer of steel, with 27% of global production, but until then it had imported 29 million tons of steel annually. That year, China suddenly transformed itself from a net steel importer to a net steel exporter. In 2006, the country became the world’s largest steel exporter by volume, up from the fifth largest in 2005. Today it remains the world’s largest consumer and producer of steel, with 40% of global production. How did China make these astonishing gains so quickly and manage to sell steel for about 19% less than steel from U.S. and European companies? Labor accounts for less than 10% of the costs of producing Chinese steel, and Chinese steel doesn’t appear to rely on scale economies, supply-chain proximities, or technological efficiencies to lower its costs.

Let’s look in detail at the probable source of this cost advantage. In research conducted with funding from the Alliance for American Manufacturing—work that draws heavily on our decade-long previous study of Chinese industry—we found that total energy subsidies to Chinese steel (from 2000 to midyear 2007) reached $27 billion. (See the exhibit “Energy, Subsidies, and Steel.”) About 95% of that amount was for coal. (These numbers are conservative best estimates, based on data from Chinese, U.S., and international agencies, industry associations, individual Chinese companies, and other sources.) Our analysis of the relationship between the increase in energy subsidies and the growth of Chinese steel production and steel exports showed a powerful statistical correlation; this is not a chance association.
https://hbr.org/2008/06/subsidies-and-the-china-price

China subsidized solar panels, US finds. Are tariffs the right response?
http://www.csmonitor.com/USA/2012/0320/China-subsidized-solar-panels-US-finds.-Are-tariffs-the-right-response

IEA Urges China to Reduce Energy Subsidies
http://online.wsj.com/articles/SB10001424052748704658704576274243829736066

U.S. to Investigate China’s Clean Energy Aid
http://www.nytimes.com/2010/10/16/business/16wind.html?_r=0

PDB Tahun 2012:
Cina US$ 8,229,490,030,098
Indonesia US$ 876,719,347,689
Malaysia US$ 305,032,745,225
Taiwan US$ 365,965,815,820
http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD

2 komentar:

  1. Simple trick to cut your electric bill by 75%:

    Want to know how to easily produce all of the green energy you could ever want right at home?

    And you will be able to make your home completely immune from power outages, blackouts, and energy grid outages
    so even if everyone else in your area (or even the whole country) loses power you won’t.

    OUR GUIDE: DIY HOME ENERGY

    BalasHapus
  2. There is a chance you are qualified for a new government sponsored solar energy rebate program.
    Find out if you qualify now!

    BalasHapus