Pages

Selasa, 22 April 2014

Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (5-Habis)

Date: Thu, 30 Mar 2000 07:46:44 +0700 
From: Sams <standard@jkt.mega.net.id> 
Subject: Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (5-Habis) 
Prabowo dan Kerusuhan Mei 1998 (5-habis) 
''Saya Ingin Berjuang dari Dalam'' 
Oleh : Jose Manuel Tesoro *) 
Perubahan besar telah terjadi. Habibie sekarang menjadi presiden. 
Tanggal 21 Mei pukul 16.00 seusai Ashar, Prabowo menemui teman dan tokoh 
yang dikaguminya itu untuk menyampaikan ucapan selamat. "Ia mencium 
kedua pipi saya," kata Prabowo, yang sengaja meminta waktu sore itu. 
Malam itu juga, Prabowo tiba di kediaman Habibie, ditemani komandan 
Kopassus, Muchdi. 
Karena Wiranto mungkin akan tetap menjadi menteri pertahanan, Prabowo
mengatakan ia menyarankan agar atasan langsungnya yaitu KASAD Subagyo 
dijadikan Panglima ABRI untuk mencegah terlalu berkuasanya seseorang. 
Pergeseran itu juga menjadikan Prabowo calon terbaik untuk menggantikan 
Subagyo sebagai KASAD. 
"Benar saya mencoba mempengaruhi Habibie," aku Prabowo. "Saya dekat 
dengannya ! Tidak pernah, kata Prabowo, ia mengancam presiden baru 
sebagaimana kabar burung yang beredar selama ini. Kemudian, dia kembali 
ke Mabes Kostrad. Hari berikutnya, tanggal 22 Mei, setelah sembahyang 
Jum'at, telepon Prabowo berdering. Bendera Kostrad diminta oleh Mabes 
Angkatan Darat. Ia diberhentikan ! 
Kariernya di pasukan tamat. Prabowo diperintahkan berangkat ke Bandung 
untuk menjadi Komandan Seskoad. Konsolidasi Wiranto rupanya sudah 
dimulai dan rival yang dianggapnya paling berbahaya harus disingkirkan 
secepat mungkin. Prabowo terhenyak menerima kabar tersebut dan berusaha 
menghubungi Wiranto. Tak ada jawaban. 
PRABOWO MUDA 
Hampir 30 tahun silam, sewaktu dia masih menjadi calon perwira di 
Akademi Militer yang baru saja diubah namanya menjadi Akademi ABRI, 
Prabowo menulis ke seorang teman dekatnya mengenai perjuangan untuk 
kekuasaan. "Karena dengan memperoleh kekuasaan," jelasnya, "Kita dapat 
melakukan kebaikan." 
Bahwa Prabowo seorang yang berambisi bukan merupakan suatu rahasia lagi, 
karena dia adalah orang muda berbakat yang lama dididik di dunia barat 
yang ambisius dan selalu tampil individual. Kebanyakan orang di 
Indonesia percaya bahwa rasa haus kekuasaan inilah yang mendorongnya 
untuk bergabung dengan militer, menikahi Keluarga Cendana-dan kemudian 
bulan Mei 1998 menyusun rencana melawan musuh-musuhnya. 
Rencana itu memang indah dan terkesan menarik. Tetapi cuma cocok untuk 
buku komik karena yang sebenarnya terjadi tidaklah demikian. Apalagi 
bila harus menjawan pertanyaan : Mengapa Prabowo menginginkan dan 
menghendaki kekuasaan ? Jawabannya dapat menjadi pengungkapan yang 
paling mengejutkan dari ceritanya. 
Ia mungkin lebih menjadi pengatur siasat daripada seseorang yang 
menjawab suatu pertanyaan yang ditanyakan oleh semua idealis muda pada 
diri mereka sendiri : Apakah seorang bekerja di dalam atau di luar suatu 
sistem untuk mengubahnya ? Prabowo menentukan pilihannya dan menepatinya 
sungguh-sungguh. Dia bekerja di dalam sistem dengan satu tujuan utama 
yaitu untuk mengubahnya. 
Kehidupan yang dijalaninya kemudian merupakan konsekuensinya. 
Kenangan-kenangan awal Prabowo adalah tentang kakeknya yang mengajaknya 
ke makam kedua pamannya yang terbunuh dalam perjuangan anti kolonial. 
Prabowo diberikan nama pamannya, korban yang lebih tua yaitu Subianto. 
"Kakek saya menanamkan nilai-nilai ksatria dan patriotisme pada saya," 
katanya, mengenang masa kecilnya. 
Prabowo mendapatkan nilai-nilai ini diujikan, saat ayahnya, seorang 
pakar ekonomi yang dihargai, dipaksa pergi oleh pemerintahan presiden 
pertama Sukarno. Sumitro Djojohadikusumo meninggalkan Indonesia pada 
tahun 1958 untuk apa yang kemudian menjadi tempat pengasingan baginya 
selama 10 tahun. 
Keluarga aristokratis tersebut selalu berpindah tempat sebelum pada 
akhirnya menetap di sebuah kota di Eropa. Di sana, nasionalisme Prabowo 
tumbuh, juga kekagumannya akan ide-ide Barat. Tahun 1965, Indonesia 
mengalami lahirnya seorang jenderal muda terkemuka bernama Suharto 
setelah gagalnya kudeta komunis. 
Sementara itu, pada saat yang sama Prabowo sudah diterima di sebuah 
perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat sewaktu ia meminta pada 
ayahnya untuk membiarkannya kembali ke Indonesia. "Ada banyak hal 
terjadi - demonstrasi mahasiswa, Orde Baru. Sungguh heroik," katanya. 
"Saya mengatakan : Saya ingin menjadi bagian dari itu. Saya ingin 
kembali ke negeri saya," kenangnya. 
Prabowo kembali tahun 1968 dan langsung terjun ke dalam pergolakan 
tersebut. Saat Suharto menggantikan Sukarno, para aktivis muda memulai 
suatu perdebatan : apakah mereka bekerja dengan rezim militer yang 
timbul atau mereka tetap di luar dan mencoba mengawasinya? Banyak 
tokoh-tokoh politik dan bisnis yang menjadi makmur selama pemerintahan 
Suharto memilih yang pertama. 
Kebanyakan teman-teman dan guru-guru Prabowo memilih yang terakhir. 
Tetapi kekaguman Prabowo atas militer, yang ditanamkan kakeknya, berakar 
dalam. "Saya memberitahukan teman-teman saya. Saya berpikir untuk masuk 
militer," ingat Prabowo. "Mereka memandang saya : Kamu serius? Saya 
menjelaskan : Militer itu penting. Kalian jadilah teknokrat. Kita akan 
bertemu suatu hari nanti dan ambil bagian dalam memajukan negara kita 
yang besar ini," ujarnya. 
Beberapa teman memberikan dukungan, lainnya tidak. "Seseorang berkata : 
Prabowo kamu akan diindoktrinasi. Kamu akan menjadi seorang fasis. Saya 
mengatakan : Tidak, kita harus membangun dari dalam. Kita harus 
menjalankan reformasi dari dalam," tegasnya, dalam. 
Tahun 1970-an Prabowo mendaftar di akademi militer. Kehidupan di sana 
berbeda sekali dengan kenyamanan yang dia kenal. Ia merasakan para 
seniornya lebih keras terhadapnya dan anak-anak kaum elit lainnya. 
Sewaktu pangkatnya diturunkan karena pelanggaran disiplin, ibunya 
mengatakan padanya ia boleh keluar dari akademi bila ia mau. 
Ia menolak. "Saya mengatakan : Tidak. Saya cinta ketentaraan. Apapun 
yang terjadi, saya akan tetap di ketentaraan". Keputusannya terbukti 
sangat berarti. Ketentaraan membawanya berhubungan dengan keluarga 
paling terhormat di negeri ini, keluarga Presiden Indonesia. Kebetulan 
Komandan pasukan khususnya tempat Prabowo muda bergabung di awal tahun 
1980-an adalah ipar Suharto. 
Keluarga Presiden terpesona oleh perwira yang sopan itu dan segera 
mengambil keputusan untuk menjodohkannya dengan putri kedua Suharto, 
Siti Hediati Harijadi (Titiek). Pasangan ini menikah tanggal 8 Mei, 
1983. Prabowo tidak dapat menjelaskan dengan tepat kapan bisik-bisik 
dimulai sesudahnya, tetapi ia mengetahui isinya. 
Bahwa ia anak emas Suharto. Bahwa jalannya diperlicin melalui kenaikan 
pangkat. Bahwa ia menerima perintah-perintah langsung dari presiden, 
melampaui lapisan-lapisan banyak perwira senior. Bahwa ia menikmati baik 
kepentingan-kepentingan bisnis keluarga Suharto dan juga keluarganya 
sendiri. Ia membenci bisik-bisik itu, tapi dia tak berdaya melawannya. 
Prabowo percaya bisik-bisik penuh kebencian tersebut tidak hanya karena 
aksesnya nan istimewa. Ini karena, menantu atau bukan, ia melakukan 
suatu pandangan militer yang bertentangan dengan apa yang diharapkan 
para pemimpinnya. "Saya menginginkan nilai baik. Saya menginginkan 
profesionalisme. Saya menginginkan disiplin," katanya. "Tapi banyak dari 
para jenderal, mereka tidak peduli. Mereka mengatakan saya berasal dari 
keluarga berada. Tetapi mereka lebih feodal," kritiknya pedas. 
Sebagai kepala pelatihan bagi kelompok pasukan khusus Kopassus, Prabowo 
mengefisienkan latihan-latihan, membersihkan manajemen dan bahkan 
melarang perwira-perwiranya main golf, permainan yang digemari para 
jenderal. Tahun 1995, ia menjadi wakil komandan Kopassus; dia 
dipromosikan menjadi komandan tahun berikutnya. 
Kopassus dengan cepat mendapatkan reputasi sebagai salah satu cabang 
militer yang paling terlatih baik-paling didanai. Kemampuannya dibawah 
pimpinan Prabowo setara dengan pasukan elit dunia lainnya. Prabowo 
mengakui mengumpulkan uang dari hubungan-hubungan bisnisnya di luar 
militer terutama lewat jaringan adiknya Hasyim Djojohadikusumo. "Saya 
bukan satu-satunya yang melakukan hal tersebut," protesnya. "Banyak 
perwira yang melakukannya. Kamu harus melakukannya. Dana dari negara 
kita tidak pernah cukup," ucapnya memberi alasan. 
Prabowo juga menyarankan -dengan hati-hati- bahwa Keluarga Cendana harus 
menerima perubahan. Bertahun-tahun, ia mencoba mengingatkan akan 
tumbuhnya ketidak-puasan masyarakat dengan pemerintahan otokratis 
Suharto dan korupsinya, terutama diantara ipar-iparnya. Bahkan istrinya 
sendiri mengembangkan kepentingan-kepentingan bisnis. 
Prabowo berkata ia mencoba untuk menghalanginya, tanpa ada hasilnya sama 
sekali. "Saya perlahan-lahan menjadi putus asa," katanya. "Ia [Suharto] 
terlalu percaya diri. Ia berpikir tidak perlu perbaikan atas sistemnya, 
dan dia yakin segalanya sudah berada di jalan yang benar dan harus 
dipertahankan apapun resikonya," ujarnya. 
Maka selain ketegangan dengan para jenderalnya Suharto, Prabowo juga 
membangun ketegangan dengan anak-anak Suharto. Ia mengatakan: "Pada 
akhirnya, saya menemukan bahwa semua senyuman hanya pura-pura saja. 
Mereka akan mengatakan sesuatu pada saya dan mengatakan hal lainnya di 
belakang saya. Saya dikhianati justru oleh keluarga sendiri. Saya 
menyesal, tetapi itulah yang saya hadapi," ungkapnya. 
Walaupun demikian Prabowo tetap setia pada Suharto. "Saya seperti 
seorang samurai," katanya. "Kau tidak meninggalkan tuanmu" begitulah 
prinsip seorang samurai. Kesetiaan Prabowo mungkin merupakan kunci 
mengapa Suharto membiarkannya. Selama Prabowo tetap setia, semua 
sikap-sikapnya yang aneh dan obsesi-obsesinya serta gagasan-gagasannya 
untuk reformasi, kritik-kritiknya, keterkaitannya dengan lawan-lawan 
Orde Baru-dapat diubah menjadi keuntungan. 
"Ada satu hal mengenai Pak Harto dan yang menjadi kelebihannya," kata 
Letjen (Purn) Hasnan Habib. "Ia mengenal orang melalui instingnya." Dan 
hal itu diakui pula oleh Prabowo. Apakah keberadaannya sebagai menantu 
Suharto bermanfaat bagi karirnya? Tidak selalu. Prabowo dan Letjen 
Susilo Bambang Yudhoyono (kini Menteri di kabinet Presiden Wahid) 
memasuki akademi pada waktu yang bersamaan ; 
Keduanya menjadi jenderal bintang tiga dalam waktu yang berbeda hanya 
satu bulan. Tetap saja, Prabowo menghindari pekerjaan-pekerjaan di balik 
meja dan komando daerah yang merupakan takdir umum para perwira. Ia 
mendapatkan tugas-tugas berperang sebagaimana yang diinginkannya. Dia 
tak pernah ditugaskan sebagai Pangdam. 
Banyaknya ketegangan dengan atasannya mungkin mempercepat kejatuhannya. 
Mantan jurubicara militer Mayjen Sudradjat teringat menghabiskan 
malam-malam panjang mendiskusikan reformasi militer dengan Prabowo. 
"Gagasan-gagasannya hebat," ingat Sudradjat. "Tetapi dia terlalu tidak 
sabaran. Dia tidak menanti sistem melakukannya. Ia membuat jalan-jalan 
pintas yang menyinggung atasan-atasannya," ucap Sudrajat. 
Prabowo mengakui kesalahannya : "Saya pikir, pada akhirnya, yang akan 
berlaku adalah hasilnya. Saya tidak terlalu memusingkan bagaimana 
membuat orang senang. Saya pikir reputasi saya, kinerja saya sudah 
cukup. Tetapi ternyata saya keliru. Saya telah menciptakan musuh 
dimana-mana, terutama dari kalangan senior saya," ungkapnya. 
Prabowo dengan polosnya mempercayai bahwa memenangkan permainan politik 
hanyalah masalah kecakapan pribadinya semata. Kekokohannya dalam 
berambisi membuatnya bertahan dalam kenaikannya dan perjuangannya dalam 
sistemnya Suharto, memberinya karisma. Tetapi hal tersebut juga 
membuatnya rentan terhadap manipulasi dan bayangan dirinya. 
Pada akhirnya, ia mengakui bahwa dirinya terpengaruh bahwa keotoriteran 
Orde Baru berharga untuk dibelanya. Mungkin ia sudah tidak mempunyai 
pilihan apapun. Sebagai jenderal dan menantu Suharto, ia telah menjadi 
bagian yang tak terpisahkan dari Orde Baru. Sang idealis yang berangkat 
untuk mencapai puncak telah tenggelam terlalu jauh. 
"Saya berharap dan berharap bahwa Suharto pada akhirnya akan mereformasi 
atau mengalihkan kendali pada seseorang yang akan mereformasi," katanya 
sembari berkali-kali menegaskan bahwa seseorang yang dianggapnya paling 
berkualitas itu adalah Habibie. "Itu selalu merupakan harapan saya : 
mereformasi dari dalam, reformasi dari atas. Tetapi saat sistemnya 
menjadi sedemikian macet, hal tersebut tidak lagi dapat dilakukan. 
Barangkali itulah salah satu kegagalan saya. Saya tidak dapat 
melihatnya.". Karier sang Jenderal muda itu berhenti seiring dengan 
hapusnya kewibawaan sang mertua. (***) 
*) Jose Manuel Tesoro, Wartawan Asia Week yang mewawancarai mantan 
Pangkostrad Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo 
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/30/0003.html

Date: Thu, 23 Mar 2000 03:47:01 +0700
From: Sams <standard@jkt.mega.net.id>
To: apakabar@radix.net
Subject: Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (1)
Prabowo dan Kerusuhan Mei 1998 (1)
Siapa Biang Kerok Sesungguhnya ?
Oleh : Jose Manuel Tesoro *)
Anggota Komnas HAM Saparinah Sadli berada dalam tim gabungan pencari
fakta atas kerusuhan bulan Mei 1998, yang mengkaitkan peran mantan
Pangkostrad Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto. Saparinah secara terus
terang mengakui bahwa pihak TGPF tanpa sadar telah terpengaruh pada
cerita-cerita seputar peran Prabowo. Dia mengakui tak satupun bukti yang
ditemukan TGPF mengarah kepada Prabowo. Saparinah mengakui bahwa mungkin
saja Prabowo cuma korban.

Ia juga mengungkapkan bahwa tekanan yang serupa dapat dialami pada
penyelidikan mengenai kekacauan Timor Timur tahun lalu yang juga
dikait-kaitkan dengan Prabowo. Sebenarnya, katanya, sebagai anggota TGPF
dia kini terpengaruh untuk berfikir bahwa bagaimanapun Wiranto berada di
belakangnya. Dan apakah mantan Pangab itu sesungguhnya berada di
belakang tragedi kerusuhan Mei 1998 ? Tentu semua perlu bukti.
KAMBING HITAM
Versi yang beredar di Internet (baca : opini publik) : Malam hari
tanggal 21 Mei, 1998, ratusan tentara bersiap-siaga di sekeliling Istana
Merdeka Jakarta dan kediaman BJ Habibie di tengah kota. B.J. Habibie
kurang dari 24 jam sebelumnya telah menjadi presiden Indonesia yang ke
tiga. Komandan pasukan ini adalah si kejam Letnan Jenderal Prabowo
Subianto.
Seminggu sebelumnya, ia menyusun kekuatan terselubung untuk keperluannya
-- orang-orang pasukan khusus, penjahat-penjahat perkotaan, kaum radikal
tertentu -- untuk membunuh, memperkosa, menjarah dan menebarkan
kebencian etnis di tengah Jakarta.
Tujuannya : untuk menggoyahkan saingannya, Panglima ABRI Jenderal
Wiranto, dan memaksa bapak mertuanya, Soeharto, untuk menjadikannya
Panglima ABRI-selangkah lebih dekat, pada saat kerusuhan, bagi Prabowo
sendiri untuk menjadi seorang presiden.
Pengunduran diri Suharto yang terlalu dini sebagai presiden merupakan
halangan bagi ambisi Prabowo. Maka ia melampiaskan kekecewaannya pada
Habibie. Malapetaka bagi Indonesia -- dan sebuah mimpi buruk bagi Asia
Tenggara -- mungkin akan terjadi, bila tidak karena sebuah perintah dari
Wiranto yang mencopot jenderal yang sudah tak terkendalikan dan
berbahaya ini dari posisinya sebagai komandan.
Dengan kemarahan, Prabowo membawa pasukannya ke istana dan mencoba
menerobos dengan bersenjata ke ruangan Habibie. Tetapi ia pada akhirnya
dapat dikalahkan. Percobaan kudetanya ini merupakan puncak dari drama 10
hari yang melingkup jatuhnya Suharto, pemimpin Indonesia selama tiga
dekade. Masalahnya tidak semua dari cerita tersebut benar. Mungkin
bahkan tidak ada kebenarannya sama sekali.
Dan ini versi yang sama sekali berbeda, dan kini mulai diyakini banyak
orang, bahkan Presiden Gus Dur percaya bahwa versi ini lebih mendekati
kebenaran : Sangat dapat dipercaya bahwa Prabowo tidak pernah mengancam
Habibie. Apakah Prabowo merencanakan kerusuhan Mei terhadap etnis Cina
di Indonesia untuk menjatuhkan Wiranto atau Suharto? "Saya percaya dia
tidak berada di balik kerusuhan tersebut. Itu kebohongan besar," kata
seorang petinggi politik di Jakarta.
Dan jawaban Prabowo pribadi kepada saya juga menyatakan begitu. Dia
menjawab dengan tegas, lantang dan tanpa ragu-ragu. "Saya tidak pernah
mengkhianati Pak Harto. Saya tidak pernah mengkhianati Habibie. Saya
tidak pernah mengkhianati negara saya, karena saya adalah seorang
patriot. Dan saya siap diadili untuk itu," tukas Prabowo.
Prabowo, 48 tahun, bukan seorang suci. Selama 24 tahun, ia merupakan
bagian militer Indonesia, yang dengan setianya mengikuti
perintah-perintah presiden. Ia membangun pasukan khususnya yang elit -
Kopassus -untuk melawan pemberontakan dan terorisme internal.
Prabowo juga menikahi putri ke dua Suharto dan menikmati kekayaan,
kekuasaan dan kebebasan dari tanggung jawab hukum yang diberikan oleh
keluarga negara (Keluarga Cendana). Ia mengakui bertanggung jawab atas
penculikan sembilan aktivis yang dilakukan anak buahnya di Kopassus di
awal tahun 1998, beberapa diantaranya mengalami penyiksaan.
Kira-kira selusin lainnya yang diyakini diculik dalam operasi yang sama
masih tetap tidak diketahui keberadaannya. Tetapi apakah Prabowo
merupakan seorang iblis? Bulan Agustus 1998, pengadilan kehormatan
militer mendakwanya bersalah karena salah mengartikan perintah dan
diberikan sanksi-sanksi atau pengadilan militer.
Prabowo kemudian dibebaskan. Dalam laporan bulan Oktober 1998, Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pemerintah atas kerusuhan bulan Mei
meminta penyelidikan terhadap Prabowo atas kerusuhan tersebut.
Media nasional di Indonesia dan asing sejak saat itu menghubungkan
namanya dengan kata-kata seperti "dalang," "kejam dan liar," "fanatik
yang haus kekuasaan."
Sebuah harian Asia bahkan tega menulis: "Menurut kabarnya ia membenci
bangsa Cina." Entah kabarnya siapa ? Tetapi banyak orang di dunia
apalagi lewat tulisan bias yang tersebar via internet percaya kisah ini
dan menelannya mentah-mentah tanpa merasa perlu mencek lagi. Alasannya
hanya karena Prabowo menantu Soeharto, musuh semua orang.
Keyakinan bahwa ia memulai kerusuhan tersebut dan tidak berhasil
mengendalikannya telah tercatat dalam buku-buku sejarah. "Saya monster
dibalik segalanya, begitulah yang ada di benak semua orang. Dan saya
hanya bisa menangis karena tak punya kesempatan membela diri di
Pengadilan yang fair," kata Prabowo, getir.
Walaupun demikian hampir dua tahun sejak pengunduran diri Suharto, tak
ada bukti ditampilkan yang menghubungkannya dengan kerusuhan-kerusuhan
tersebut yang memicu pengunduran diri Suharto. Aneh tetapi nyata.
Prabowo memang cuma sekedar kambing hitam dari mereka yang sesungguhnya
bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan itu.
Gambaran utuh mengenai hari-hari itu tetap tidak jelas dengan
cerita-cerita yang bertentangan dan sumber-sumber yang tidak dijelaskan.
Bulan September 1998, Marzuki Darusman, yang saat itu merupakan ketua
TGPF dan sekarang menjadi Jaksa Agung, mengungkapkan pikirannya pada
para reporter : "Saya rasa bukan hanya Prabowo saja yang terkait dengan
kejadian tersebut. Menurut saya ia memegang rahasia. Dan ia dapat
didorong untuk mengungkapkannya bila terpaksa."
Prabowo telah dihakimi oleh pendapat umum dan didakwa bersalah. Sesuatu
yang sebetulnya sungguh tidak adil. Dan dia tidak pernah mendapat
kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Dia sekarang menghabiskan
seluruh waktunya di luar negeri, walaupun suratkabar-suratkabar lokal
mengatakan ia melakukan perjalanan singkat kembali pada bulan Januari,
pertama kalinya dalam 15 bulan. (Istrinya tetap berada di Indonesia,
sementara anak laki-laki mereka belajar di Amerika Serikat)
Kini, banyak pemikir-pemikir Indonesia mengakui bahwa Prabowo barangkali
merupakan sasaran yang mudah tetapi bukan merupakan sasaran penting.
Aristides Katoppo, seorang jurnalis kawakan mengatakan: "Ia dijadikan
kambing hitam bagi banyak kesalahan yang tidak dilakukannya. Dia mungkin
menuntut banyak hal. Tetapi melakukan kudeta? Tidak benar. Itu merupakan
suatu pengingkaran penerangan (disinformasi)."
Prabowo sendiri percaya bahwa tuntutan atas dirinya mempunyai suatu
alasan. Ada sekelompok orang tertentu dengan ambisi politik tertentu
pula yang ingin menjadikan dirinya sebagai kambing hitam, mungkin untuk
menyembunyikan keterlibatan mereka. Dan Prabowo percaya bahwa semua itu
telah dilakukan secara tidak adil.
Apa yang timbul dari cerita Prabowo sendiri, bersama dengan penyelidikan
mandiri yang dilakukan oleh majalah ini, merupakan suatu cerita yang
jauh berbeda, lebih bernuansa dari penilaian yang telah diterima bahwa
kejatuhan Suharto merupakan akibat pertentangan antara kebaikan dan
kejahatan-dan bahwa Prabowo merupakan pihak yang jahat. Kisah ini
merupakan laporan dari dan mengenai jangkauan-jangkauan tertinggi dari
politik Indonesia, pengungkapan sifatnya yang berubah-ubah secara tak
terduga dan kekompleksan para pelakunya. (bersambung)
*) Jose Manuel Tesoro, Wartawan Asia Week yang mewawancarai mantan
Pangkostrad Prabowo akhir Februari lalu
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/22/0016.html

Silahkan baca juga:
Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (1)

Subject: Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (2)

Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (3)

Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (4)

Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (5-Habis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar