Janji pendidikan murah atau gratis bagi yang tidak mampu, tak pernah terlaksana, atau tak bisa dinikmati oleh seluruh rakyat miskin. Akibatnya, banyak anak SD dan juga orang tua yang bunuh diri karena tak mampu membayar SPP.
Inilah akibat privatisasi pendidikan yang kebablasan. Semua harus mendatangkan uang, tak peduli rakyat miskin bunuh diri karenanya.
RADAR SIDOARJO Kamis, 24 Feb 2005
Selasa, 15 Juni 2004
Bocah SD Gantung Diri Gara-Gara Tak Mampu Bayar SPP
SURABAYA - Gara -gara tidak mampu membayar SPP, Miftahul Jannah nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Selepas magrib, bocah 13 tahun yang tinggal di Kelurahan Karang Semande, Kecamatan Karang Malang, Balong Panggang, Gresik, itu menggantungkan setagen sepanjang 395 cm warna putih di lehernya.
Kejadian yang berlangsung di kamar korban itu diketahui kali pertama oleh Selimah, bibi korban. Saat itu Selimah baru saja datang dari sawah bersama Weni dan Sami, kakek dan nenek korban. "Saya panggil namanya, tapi kok tidak ada jawaban. Makanya saya lihat kamarnya," tutur Selimah.
Dia sangat terkejut saat menemukan anak pasangan Sutik-Supriyono (sudah cerai) itu tergantung pada setagen yang diikatkan di plafon rumah itu. Tanpa berpikir panjang, perempuan 24 tahun ini langsung menurunkan korban. Lalu didudukkan serta diberi minum. Maksudnya agar dia sadar.
"Waktu saya turunkan, korban masih hidup. Tapi napasnya sudah tersengal-sengal," ungkapnya. Hanya tindakan itu membuat bocah kelas 6 SDN Karang Semande ini malah menemui ajalnya dengan cepat. Mita -nama panggilan Miftahun Jannah- mati di pangkuan Sami, neneknya.
Tangis mengiba dari rumah keluarga tersebut menimbulkan kecurigaan warga setempat. Para tetangga segera berdatangan ke rumah korban. Sementara itu, warga yang lain berinisitif melaporkan kejadian itu ke polisi.
Tak lama kemudian, aparat dari Polsek Balong Panggang datang dan mengevakuasi serta melakukan olah TKP. Mayat korban dibawa ke RSU dr Soetomo. Sebelumnya, jenazah Mita sempat dibawa ke RSU Bunder Gresik. Hanya, keluarganya lalu disarankan untuk membawanya ke RSU dr Soetomo untuk otopsi.
Menurut dr Eddy Soeyanto SpF, otopsi dilaksanakan sekitar pukul 09.00 Senin. Dari hasil otopsi diketahui bahwa korban dinyatakan bunuh diri. Hanya, tidak terlihat adanya luka iris di leher atau perdarahan di alat kelamin korban. Sebaliknya, ada beberapa luka memar di dada kanan dan kiri korban.
"Luka di leher hanya tampak bila menggunakan tali tampar atau rafia yang tajam. Kalau pakai setagen, lukanya tidak tampak," tuturnya. Sedangkan luka memar di dada korban adalah hasil tindakan menggoyang-goyangkan dan memukul tubuh korban oleh salah satu keluarga. "Maksudnya untuk menyadarkan korban," imbuhnya.
Sama halnya dengan pemberian air untuk menyadarkan korban. "Tindakan tersebut malah menutup jalan napas yang telah kurang oksigen," ucap dokter forensik RSU dr Soetomo ini.
Mengapa Mita bunuh diri? Atun, adik Sami, mengatakan, korban stres dan bingung karena tidak punya uang biaya tur yang akan diadakan sekolahnya. "Kalau tidak bisa bayar, katanya tidak boleh ikut rekreasi dan ambil ijazah," tuturnya.
Ini diketahui dari surat terakhir yang akan dikirim korban ke orang tuanya di Bali. Surat tersebut ditemukan di tumpukan lemari pakaian korban.
Orang tua korban saat ini memang berada di Bali sebagai penjual sayuran di pasar. Mita yang sehari-hari diasuh oleh Weni-Sami mendapat kiriman uang dari Bali. "Hampir dua tahun orang tuanya tidak ke Gresik," ucapnya.
Dari surat itu diketahui bahwa Mita minta kiriman uang Rp 25.000-50.000 karena uang yang dikirim sebelumnya sudah habis. Mita minta ibunya segera mengirimkan uang tersebut atau kembali ke Jawa pada bulan 6 (Juni).
Mita juga bilang, dia tidak mau kalau harus minta ke Pak De Katiran lagi karena dia bilang tidak punya uang. Mita juga berkeluh kesah kalau sudah tidak kerasan lagi karena sering dimarahi emak embah (Wani).
Bahkan, Mita juga sempat marah dan sakit hati ketika emak embahnya berkata bahwa dirinya makan dan tidur tidak membayar. Jadi, Mita minta tidak sah minta macam-macam. Hal tersebut membuat Mita sakit hati. (ai)
http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_radar&id=52959&c=90
Senin, 30 September 2002
Data dan Fakta Kasus Bunuh Diri di Sumsel Januari 2002 Sampai September 2002
1. Seorang ibu muda bernama Mira (37) menenggak racun Senin (7/1) di kamar rumahnya di Jalan Jenderal Urip Sumaharjo RT 28 No 93 Kelurahan 2 Ilir, Sekojo Palembang. Karena anak sulungnya dua bulan tidak bayar SPP.
http://www.indomedia.com/sripo/2002/09/30/3009fok2.htm
Anak SD itu Mencoba Bunuh Diri
Artikel - Opini & Aspirasi Oleh : Redaksi 06 Sep 2003 - 6:53 pm
Oleh: Adian Husaini
Ada berita menarik yang kelihatannya tidak banyak menjadi sorotan penting media massa di Indonesia, yaitu kasus bunuh diri seorang anak Sekolah Dasar di Garut. Namanya Heryanto, dipanggil Yanto, umur 13 tahun. GATRA edisi 29 Agustus mengangkat berita ini pada rubrik kesehatan. Ceritanya, Yanto melakukan aksi gantung diri, dengan seutas kabel yang dililitkan di lehernya. Yanto memang bisa diselamatkan dan dirawat di RS Hasan Sadikin Bandung. Namun, gara-gara belitan kabel selama sekitar 10 menit, sel-sel otaknya mengalami kerusakan. Dokter memperkirakan, jika kembali sadar, kemungkinan Yanto bisa mengalami kerusakan ingatan, bisu, atau lumpuh.
Tragisnya, Yanto berusaha bunuh diri hanya gara-gara uang Rp 2500 (dua ribu lima ratus rupiah). Ia malu kepada guru dan teman-temannya, karena tidak dapat membayar iuran kegiatan ekstra kurikuler di sekolahnya. Orang tuanya yang miskin tidak dapat memenuhi kebutuhan uang Rp 2500 itu.
Ketika itu, ibunya baru saja meminjam uang Rp 2000 untuk membeli minyak tanah. Maka tanpa diduga, Yanto yang malu dan kecewa, mencoba bunuh diri dengan cara menggantung diri.
Syukurlah, nyawanya masih tertolong. Setelah kejadian itu, sejumlah pejabat –termasuk Gubernur Jawa Barat-- berdatangan memberikan bantuan, bahkan ada yang menanggung biaya Yanto sampai kuliah.
Begitulah cerita Yanto dari Garut. Apakah yang bisa kita ambil pelajaran dari kisah semacam ini? Kita yakin, ada banyak anak-anak bernasib seperti Yanto, yang orang tuanya terbelit kemiskinan yang parah. Bahkan, kita yakin, banyak anak yang nasibnya lebih buruk dari Yanto, yang untuk bersekolah saja tidak ada kesempatan, sehingga mereka harus hidup menggelandang di kota-kota besar. Kisah Yanto ini juga sekaligus membuka kembali borok-borok kondisi sosial, ekonomi, dan bahkan politik negara kita. Wajib belajar yang digembar-gemborkan ternyata masih merupakan impian indah. Sekolah gratis –meskipun SD milik pemerintah –masih merupakan impian. Padahal, pendidikan adalah termasuk kebutuhan pokok yang harusnya dipenuhi oleh negara. Negara kita bukan tidak punya uang untuk melaksanakan pendidikan gratis setingkat SD, tetapi uang yang ada tidaklah dialokasikan dengan baik dan adil, bahkan anggaran yang ada di bidang pendidikan sekali pun.
Dalam seminar tentang Refleksi Kemerdekaan RI ke-58 di KBRI Kuala Lumpur, 31 Agustus 2003 yang lalu, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di Kuala Lumpur, Dr. Mukhlis R. Luddin, memaparkan data-data alokasi anggaran pendidikan nasional tahun 2003 yang mengejutkan. Dana yang dialokasikan untuk pendidikan kedinasan – bisanya dikelola oleh departemen atau instansi non Depdiknas – adalah sebesar Rp 39,6 trilyun. Sedang untuk pendidikan non-kedinasan (sekolah-sekolah umum dan universitas) hanya Rp 0,4 trilyun. Untuk belanja barang yang dialokasikan pada pendidikan kedinasan, jumlahnya mencapai Rp 9,9 trilyun, sedangkan untuk pendidikan non-kedinasan hanya sebesar Rp 0,1 trilyun.
Dari segi alokasi anggaran APBN yang jumlahnya Rp 370,7 trilyun, pendidikan baru menduduki 17,9 % dari pengeluaran negara. Jika dikurangi gaji akan lebih rendah lagi, yaitu hanya 7,1% dari belanja negara. Jika dikyrangi lagi dengan belanja barang, maka baru mencapai 4,4% dari APBN. Ini berarti bahwa anggaran yang digunakan untuk pembangunan dalam arti kualitas secara langsung hanya 4,4 persen.
Dalam UU Sisdiknas (UU No 20 tahun 2003) yang banyak ditentang kalangan tertentu di tanah air, disebutkan, bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sector pendidikan dan 20% dari APBD.” Ini sesuai dengan UUD 1945 yang menetapkan anggaran pendidikan harus disediakan pemerintah paling tidak 20% dari APBN.
Jadi, secara normatif, ada harapan alokasi anggaran pendidikan akan lebih besar di waktu-waktu mendatang. Namun, alokasi seperti itu, bukan hal yang mudah. Kita tahu, banyak aturan yang bagus dan indah di tas kertas, tetapi pelaksanaannya di lapangan bisa berbeda sama sekali. Adalah mengerikan jika suatu UU di buat sebagus dan seideal mungkin, tetapi pada saat yang sama pejabat dan masyarakat manyadari bahwa semua itu “bisa diatur”. Perjudian, korupsi, suap, hadiah untuk pejabat, dan sebagainya, jelas-jelas barang terlarang di negara ini, tetapi semua tahu, bagaimana praktiknya di lapangan. Dalam seminar di KBRI hari itu, misalnya terungkap, salah satu kesulitan KBRI untuk mengatasi masalah TKI di Malaysia adalah soal pemalsuan data TKI. Banyak sekali TKI yang datanya palsu. Umur 15 tahun ditulis 20 tahun. Namanya Siti bisa menjadi Rita. Semua itu sudah menjadi rahasia umum. Begitu mudahnya membuat identitas palsu di Indonesia.
Adalah satu hal yang sangat mengerikan, jika pada saat yang sama, banyak pejabat dan elite nasional bicara tentang kesejahteraan rakyat, bicara tentang cara memajukan pendidikan, membuat UU yang bagus-bagus, tetapi pada saat yang sama juga melakukan tindakan yang menghancurkan semua cita-cita ideal itu.
Ambillah contoh di bidang pendidikan? Seriuskah para pemimpin kita ingin memajukan pendidikan nasional? Untuk menjawabnya, lihatlah apa yang dilakukan, jangan hanya melihat apa yang diucapkan, atau apa yang tertulis di atas kertas. Ketika UU No 20 tahun 2003 ini disahkan dan disosialisasikan, terpikirkah oleh para aktivis dan tokoh-tokoh Islam yang mendukung RUU Sisdiknas ketika itu, bagaimana cara pemerintah memenuhi alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen? Ketika bangsa ini masih dalam situasi kemerdekaan, terpetik berita, bahwa Pemda DKI akan merenovasi “Patung Arjuna Wijaya” yang menelan dana Rp 4 Miliar.
Patung ini terletak di Bundaran Air Mancur dekat Bank Indonesia. Rincian biaya renovasi patung itu adalah Rp 1,5 miliar untuk pemugaran patung, Rp 1,3 miliar untuk perbaikan, penambahan lampu, dan air mancur, serta Rp 1,2 miliar untuk biaya perawatan selama sepuluh tahun.
Beberapa hari sebelumnya, patung Sudirman diresmikan. Kita ingat, tahun sebelumnya, biaya untuk perbaikan air mancur Bunderan HI mencapai Rp 14 milyar. Bayangkan, jika di seluruh Indonesia ada 1000 patung saja, dengan rata-rata biaya pembangunan dan perawatannya adalah Rp 2 milyar, maka ada alokasi dana Rp 2 trilyun milyar untuk proyek perpatungan ini.
Padahal, kemungkinan besar bisa lebih. Karena kita sudah dan sedang membangun banyak sekali patung-patung yang sangat mahal, seperti Patung Kristus Raja di Dili, Patung Garuda Wisnu Kencana, dan sebagainya.
Jika uang Rp 2 trilyun itu diberikan kepada 1.000.000 siswa yang bernasib seperti Yanto, maka masing-masing akan mendapat jatah beasiswa Rp 2 juta. Tentu ini akan sangat menolong mereka untuk menyelesaikan sekolah mereka. Penting manakah membuat dan memelihara patung-patung dengan menyelamatkan pendidikan jutaan siswa sekolah dasar? Mengapa orang tidak kapok membangun patung, meskipun patung Stalin, Saddam, Cusesco, dan lain-lain ditumbangkan?
Bahkan, dalam al-Quran surat al-Shaffat ayat 83-99, diceritakan keberanian Nabi Ibrahim a.s. dalam merobohkan patung-patung yang menjadi alat ritualitas kaumnya ketika itu. Dalam surat Ibrahim ayat 35-36 disebutkan doa Nabi Ibrahim, agar ia dan anak keturunannya dijauhkan dari menyembah patung. Sesungguhnya, kata Ibrahim a.s., patung-patung itu telah menyesatkan sebagian besar daripada manusia. Berangkat dari sinilah, Islam sangat ketat dalam soal patung ini.
Bahkan, tradisi peradaban Islam menunjukkan, tidak ada tradisi patung-mematung dalam Islam. Gambar menggambar makhluk hidup pun tidak terlalu berkembang dalam tradisi kesenian Islam.
Tradisi patung-mematung sebenarnya sangat erat kaitannya cara pandang suatu bangsa dan suatu peradaban. Dalam seminar di KBRI Kuala Lumpur hari itu, saya sampaikan satu paper tentang Refleksi Peran Agama di Indonesia. Adalah menarik bahwa dalam sejarah peradaban manusia, agama selalu memainkan peran penting dalam kebangkitan suatu peradaban. Tepat atau tidaknya satu peradaban menempatkan agama dalam kehidupan masyarakat, akan menentukan jatuh atau bangkitnya peradaban itu. Banyak cendekiawan mengakui, bahwa unsur pokok suatu peradaban (civilization) adalah agama. Agama, kata mereka, adalah faktor terpenting yang menentukan karakteristik suatu peradaban. Bernard Lewis menyebut peradaban Barat dengan sebutan “Christian Civilization”, dengan unsur utama agama Kristen. Samuel P. Huntington juga menulis: “Religion is a central defining characteristic of civilizations.” Menurut Christopher Dawson, “The great religions are the foundations of which the great civilizations rest.” Di antara empat peradaban besar yang masih eksis – Islam, Barat, India, dan Cina, menurut Huntington, terkait dengan agama Islam, Kristian, Hindu, dan Konghucu.
Peradaban-peradaban kuno, seperti Mesopotamia dan Mesir Kuno juga menempatkan agama sebagai unsur utama peradaban mereka. Marvin Perry dalam bukunya Western Civilization, mencatat: “Religion lay at the center of mesopotamian life. Every human activity, political, military, social, legal, literary, artistic - was generally subordinated to an overriding religious purpose.
Begitu juga dalam tradisi peradaban Mesir Kuno, agama menempati peranan yang sangat penting: “Religion was omnipresent in Egyptian life and accounted for the outstanding achievements of Egyptian civilization. Religious beliefs were the basis of Egyptian art, medicine, astronomy, literature, and government.”
Pakar sejarah Arnold Toynbee juga menekankan peran agama dalam suatu peradaban. Tapi, berbeda dengan Huntington, Toynbee tidak menekankan pada wacana clash of civilizations, tetapi lebih menekankan pada aspek ‘peran dinamis agama dan spiritualitas dalam kelahiran dan kehancuran satu peradaban’. Ia menyimpulkan, bahwa banyak peradaban yang hancur (mati) karena ‘bunuh diri’ dan bukan karena benturan dengan kekuatan luar.
Dalam studi yang mendalam tentang kebangkitan dan kehancuran peradaban, Toynbee menemukan, bahwa agama dan spiritualitas memainkan peran sebagai ‘chrysalis’ (kepompong), yang merupakan cikal bakal tumbuhnya satu peradaban. Antara kematian dan kebangkitan satu peradaban baru, ada kelompok yang disebut Toynbee sebagai ‘creative minorities’ – yang dengan spiritual yang mendalam (deep spiritual) atau motivasi agama (religious motivation) – bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama. Kareba itu aspek spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang inti spiritualitasnya, maka ia akan mengalami penurunan (Civilizations that lost their spiritual core soon fell into decline).
Untuk Indonesia, bagaimanakah harusnya memandang agama ini? Pakar sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya Islam and Secularism, menyebutkan, bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago).
Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh lebih dari 100 juta jiwa.
Berdasarkan analisis Toynbee, bisa dipertanyakan, dimana posisi agama dalam upaya kebangkitan ‘peradaban Indonesia’? Indonesia perlu melihat secara cermat pada peradaban mana negara ini akan dikaitkan, baik pada masa lalu maupun masa kini dan mendatang? Apakah Indonesia mau mengkaitkan dirinya dengan peradaban Islam, Hindu, atau Barat? Indonesia perlu menelaah dengan cermat sejarah dan perjalanan berbagai peradaban dalam meraih kebangkitan. Selama ini, Indonesia banyak mengaitkan dirinya dengan peradaban Majapahit, yang hingga kini belum jelas benar, apa khazanah warisan intelektualnya. Bahkan, banyak pakar sejarah meragukan kejayaan Majapahit sehebat seperti digambarkan dalam Negarakertagama. Dari sinilah muncul tradisi patung-mematung dan kultur, istilah, serta mitos-mitos politik Majapahit. Gedung MPR pernah dipenuhi dengan istlah-istilah Sansekerta yang sulit dipahami oleh banyak anggota DPR sendiri.
Dengan mengaitkan dirinya dengan peradaban Majapahit, maka berarti bangsa Muslim terbesar di dunia ini telah memutuskan dirinya dengan khazanah intelektual dan peradaban yang sangat kaya dan tinggi dari sejarah peradaban Melayu Islam. Padahal, khazanah Melayu Islam sangat kaya dengan berbagai khazanah ilmu pengetahuan, terutama di bidang teologi, hukum, sejarah, sastra, dan sebagainya. Sejak sekitar abad ke-10 dan 11 M, Indonesia telah menjadi bagian dari keagungan peradaban Islam. Zaman itu adalah masa-masa dirumuskannya berbagai keilmuan Islam.
Al-Ghazali, misalnya, meninggal pada 1111 M. Ulama besar ini telah melahirkan sekitar 400 buku, yang sampai sekarang belum habis-habis juga dikaji diberbagai belahan bumi, meskipun ratusan disetasi doctoral telah ditulis tentang al-Ghazali. Hingga kini, umat Islam tidak perlu merasa membuat patung Imam Malik, Imam Hanafi, al-Syafii, Hanbali, Bukhari, Muslim, al-Ghazali dan sebagainya, untuk mengenang jasa-jasa mereka. Yang penting, bagaimana keilmuan mereka dikaji dengan serius. Dengan dikaitkannya Indonesia dengan peradaban Majapahit, maka Indonesia menjadi local, miskin sejarah intelektual, dan terputus dari khazanah intelaktual Muslim yang sangat kaya selama ratusan tahun. Contoh bangsa semacam ini adalah Turki di bawah Kemal Attaturk yang menjiplak segala sesuatu dari Barat, karena dianggapnya mampu memajukan bangsa Turki, seperti mengganti literasi Arab ke Latin, melarang jilbab, torbus. Dengan mengubah literasi Arab, bangsa Turki terputus dari akar sejarahnya yang dalam. Padahal, Imperium Uthmani yang bertahan selama 600 tahun telah mewariskan jutaan manuskrip dan literatur.
Maka, Indonesia perlu merenungkan ulang untuk merumuskan apa yang disebut sebagai “peradaban Indonesia baru”. Dan itu akan lebih mudah dicapai jika bangsa Muslim ini mengaitkan dirinya dengan peradaban Islam, dan bukan peradaban Kristen Barat atau peradaban Hindu. Ironisnya, terlepas dari belenggu peradaban “Gajah Mada”, “Ken Arok”, “Ken Dedes”, “Empu Gandring”, Indonesia justru di bawa untuk menjadi hamba peradaban Kristen Barat, yang berwujud secular-liberal. Jika proses ini tidak ditinjau ulang, maka yang akan terjadi bukanlah tinggal landas (dari krisis multidimensi) tetapi tinggal kandas, artinya, kandas terus di dasar kehinaan dan kesengsaraan. Wallahu a’lam. (Kuala Lumpur, 4 September 2003). (Hidayatullah)
http://swaramuslim.net/more.php?id=639_0_1_0_m
[...] sekali kalo saya liat fakta masih ada siswa bunuh diri karena ndak mampu bayar sekolah. Nangis saya kalo mengingat banyak kepala keluarga yang harus banting tulang untuk mendapatkan [...]
BalasHapus