Di Ensiklopedi MS Encarta dengan topik “Saudi Arabia” dan “Venezuela” dijelaskan bahwa kedua negara tersebut Menasionalisasi perusahaan minyak yang ada di sana. Pengambil-alihan perusahaan ARAMCO (Arabian American Oil Company) oleh pemerintah Saudi terbukti meningkatkan pendapatan negara sangat besar. Begitu pula Venezuela. Padahal SDM di kedua negara tersebut sangat terbatas. Arab Saudi bahkan kerap meminta tenaga kerja dan juga tenaga ahli ke Indonesia.
Nah kapan pemerintah Indonesia punya nyali untuk mandiri dan menasionalisasi perusahaan Migas yang ada di negara ini? Pendapatan Migas lebih dari RP 300 trilyun/tahun harusnya cukup untuk itu.
Berikut tulisan dari Ensiklopedi MS Encarta:
Saudi Arabia
The latter development, along with Saudi Arabia’s 1974 takeover of controlling interest in the huge oil company Aramco, greatly increased government revenue, thus providing funds for another massive economic development plan.
The oil industry is the most important sector of the Saudi economy. Saudi Arabia’s proven petroleum reserves amount to one-fourth of the world total. The major oil fields are in the eastern part of the country and offshore in the Persian Gulf. Because the country has relatively small internal demand for oil, it exports most of its production. It is the largest exporter of petroleum in the world—in 2001 Saudi Arabia exported about 6.3 million barrels per day—and has the power to influence world oil prices.
Commercial quantities of oil were discovered in Saudi Arabia in 1938, but World War II (1939-1945) delayed large-scale exports until the 1950s. Initial exploration and drilling were carried out by the Arabian American Oil Company (Aramco), the operating company of Standard Oil of California (Socal). Several other U.S. oil companies acquired shares in Aramco in 1948. The Saudi government bought a 25 percent share of the company in 1973, then took complete control in 1980, after which the company was called Saudi Aramco. Production rose steadily from about 1.3 million barrels per day in 1960 to 3.8 million barrels per day in 1970. The increased production coupled with rising oil prices, especially in 1973 and 1974, brought huge revenues to the Saudi government. Another rapid increase in revenues followed the Islamic Revolution of Iran (1978-1979), when Saudi Arabia increased production to compensate for the drop in Iranian production, and prices rose due to the uncertain market. Oil prices declined along with world demand for oil during the worldwide economic recession of the early 1980s. In 2002 Saudi Arabia produced 7.6 million barrels of oil per day.
Saudi Arabia began producing natural gas liquids in 1962. In 1982 the first phase of the so-called Master Gas System was put in place. This system was built to capture the natural gas that was released as a by-product of oil production and distribute it to power petrochemical plants, steel factories, and other manufacturing enterprises. By the late 1990s plans were put forward to exploit the kingdom’s other gas fields. In June 2001 Saudi Arabia awarded concessions for the projects to several foreign companies, marking the return of foreign companies for the first time since 1975. In 2002 Saudi Arabia produced 57 billion cu m (2 trillion cu ft) of natural gas.
The state-owned Saudi Arabian Mining Company controls Saudi Arabia’s significant nonpetrochemical mineral resources. These other mineral products include limestone, gypsum, marble, clay, and salt. In addition, smaller mining operations extract gold, silver, bauxite, copper, zinc, and iron ore
http://encarta.msn.com/encyclopedia_761575422_10/saudi_arabia.html
VENEZUELA
Petroleum, located in the Maracaibo Basin and in the eastern part of the country, dominates the Venezuelan economy. Crude and refined oil are the main source of government revenue and account for about one-third of the GDP. In 2002 Venezuela produced almost 1 billion barrels. Much of its oil is exported to the Netherlands Antilles for refining. Venezuela is a founding member of the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC).
The Venezuelan government nationalized the petroleum industry in 1976, although private investment and foreign participation has been permitted since 1992. In 2003 the country had petroleum reserves estimated at 78 billion barrels.
http://encarta.msn.com/text_761560608__1/venezuela.html
Baru lalu Bolivia juga menasionalisasi
BalasHapuscmco
Iya pak Teguh. Harusnya kita bisa mandiri.
BalasHapusPerusahaan migas Qatar saja berusaha merekrut tenaga ahli kita lewat iklan lowongan kerja di harian Kompas via PT Guna Mandiri
http://gunamandiri.com
Kita mampu kok mengelola sendiri.
Jangan mau jadi sapi perahan terus.
Bukankan Nasionalisasi itu sama saja dengan mencuri / mengambil hak milik orang lain secara paksa, tanpa mempedulikan hukum dan perjanjian yang sudah ditetapkan.
BalasHapusKalau memang tidak puas dengan sesuatu, sebaiknya diluruskan di meja perundingan dan kemudian dibeberkan lewat perjanjian secara hukum.
Selain haram, Nasionalisasi itu seperti main preman... sudah bukan jamannya lagi. In the long-run, akan merugikan negara kita sendiri karena PMA tidak ada lagi yg tertarik.
Sangat setuju sekali Indonesia secepatnya nasionalisasikan semua perusahaan minyak yang selama ini mengambil keuntungan yang berlimpah dari bumi kita sementara rakyat kita menderita dan sengsara.
BalasHapusHai para pengambil kebijakan kapan anda akan lakukan ini.....?Kalau anda tidak ambil langkah dari sekarang jangan berharap kami akan memilih anda lagi.
Seperti komentar sdr nizamins : bangsa kita sangat mampu untuk mengelola ini semua, bangsa lain aja minta bantuan dari bangsa kita
Majulah Indonesia!!!!!
Mas Irfan,
BalasHapusJustru perusahaan MIGAS asing itulah yang mencuri kekayaan alam kita...:)
Anggaplah produksi minyak kita 1 juta bph. Setahun 365 juta barrel. Dengan harga minyak US$ 40/brl didapat Rp 160 trilyun dari minyak. Jika gas nilainya sebesar itu, total minyak+gas kita yang diambil RP 320 trilyun.
Nah mereka dapat 40% atau sekitar Rp 128 trilyun/tahun. Mereka beroperasi di Indonesia sejak tahun 1900-an. Artinya 100 tahun lebih. Jadi total mungkin sekitar 12 ribu trilyun rupiah yang mereka dapat. Padahal biaya investasi dan operasional tidak segitu.
Harusnya uang puluhan ribu trilyun itu milik rakyat Indonesia yang mayoritas miskin dan sebagian ada yang mati kelaparan.
Namun uang itu "dicuri" perusahaan Migas tsb hingga rakyat Indonesia mati kelaparan. Jadi anda jangan ngomong soal "haram" di sini.
Kalau Arab Saudi dan Venezuela bisa menasionalisasi perusahaan migas asing di sana dengan prosedur yang benar dan kompensasi wajar hingga tidak dituntut Mahkamah Internasional, harusnya Indonesia bisa seperti itu.
Soal preman, justru perusahaan migas asing itu preman. Mereka bantai ratusan ribu rakyat Iraq hanya untuk mendapatkan minyak. War for Oil kata media massa.
Anda sebut-sebut soal Islam. Ummat Islam itu tidak akan membiarkan orang2 kafir merampas SDA mereka. Lebih baik SDA untuk rakyat sendiri apa pun agamanya.
BTW, anda ini dari kelompok mana?
Kalau yang dimaksud mas irfan privatisasi(menjual SDA kpd asing)jelas haram.Pemerintah indonesia dari dulu sdh menjual aset neg ini kpd asing,maka lihatlah bgm potret kemiskinan rakyat ini,jd kita harus nasionalisasi SDA dan aset2 kekayaan alam kaum muslimin
BalasHapusSambil memikirkan nasionalisasi, baiklah kita melihat big picture nya dan berpikir sebetulnya bagaimana sektor Migas dapat memberi kontribusi riil kepada kesejahteraan rakyat? Tujuan sektor Migas seharusnya adalah:
BalasHapus1. Penyaluran produk migas kepada konsumer dengan kualitas, kuantitas dan harga memadai.
2. Explorasi dan produksi cadangan migas nasional dengan cara yg optimal dalam jangka panjang.
3. Hasil produksi migas disalurkan kepada daerah2 lokal dan lainnya secara pantas dan merata.
Caranya bagaimana untuk meng-golkan tujuan2 tsb sekaligus mengembangkan Pertamina?
1. Promosikan iklim PMA yang sehat. Keahlian dan kapital dari PMA masih dibutuhkan untuk sekarang ini, mengingat keahlian dan kapital Pertamina masih kurang memadai untuk jalan 100% sendiri, terutama untuk membangun proyek2 skala besar.
Saya sangat anti-nasionalisasi, karena buat saya itu adalah tindakan yg sangat myopic / jangka pendek. Lihat saja Venezuela & Chavez: mereka sekarang di cap sebagai negara bengal dan dijauhi oleh PMA. Bukan saja PMA sektor Migas yg hengkang, sektor2 lain nya pun kena. Jadi hal ini sebetulnya merugikan negara dalam jangka menengah & panjang.
Selain itu, perusahaan2 yg di nasionalisasi pada umumnya jadi merugi besar dan tingkat efisiensi sangat rendah, karena kehilangan manajemen PMA yg profesional. Lihat saja PdVSa (BUMN migas nya Venezuela) yg terus merugi.
Selain itu secara moral dan etika, nasionalisasi sama saja dengan mencuri / mengambil secara paksa, haram! Saya kira tidak ada agama apapun yg menyuruh kita mencuri / mengambil scr paksa. Kalau tidak puas dengan sistim bagi hasil nya, sebaiknya dirundingkan secara baik2 di meja perundingan, kalau perlu dimeja hijau. Paling tidak ada dasar yuridis nya. Kita negara beradab, bukan negara barbar, bukan?
2. BP Migas pun harus terus mendukung supaya Pertamina diikutsertakan paling tidak sebagai major shareholder dalam tiap proyek. Ini sebagai satu katalis untuk menyalurkan sebagian hasil produksi kepada rakyat dan juga untuk membina Pertamina supaya terus berkembang.
3. Pertamina harus di kelola secara sangat profesional. Pertama, bangun SDM. Management harus profesional dan berpengalaman. Kirim lebih banyak lagi engineers2 untuk ambil S3 di universitas luar negeri. Contoh Petronas dan Petrobras (Brazil), dimana SDM mereka sangat kuat.
4. Pertamina harus punya ambisi untuk terjun ke manca buana: coba explorasi di Afrika dan Amerika Selatan. Petronas sudah terjun ke Afrika loh!
5. Bersihkan pemerintah dan BP Migas dari korupsi, supaya sektor migas bisa di kelola secara maksimal, perjanjian dgn PMA bisa berimbang dan adil, dan juga supaya hasilnya bisa di salurkan secara merata tanpa bolong2.
Mas Irfan Anti Nasionalisasi berarti mas Irfan ini tidak Nasionalis dan lebih senang jadi budak asing begitu?
BalasHapusKalau PMA yang mengelola, mereka menikmati bagian terbesar. Untuk migas mereka dapat 40% dari hasil Migas. Ini jika kita tidak ditipu mereka. Sebagai contoh 6 perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia tercatat sebagai 10 perusahaan dengan pendapatan terbesar versi Forbes 500 (misalnya pendapatan Exxon tahun 2007 US$ 452 Milyar/Rp 5.240 Trilyun). Sementara untuk pertambangan emas, perak, tembaga, dsb, asing dapat 85% sementara kita cuma dapat 15% saja. Akibatnya, perusahaan2 asing tsb kaya raya sementara rakyat Indonesia miskin.
Lihat Arab Saudi makmur karena menasionalisasi perusahaan migas mereka tahun 1973. Hasilnya mereka nikmati sendiri. Bukan dinikmati perusahaan asing. Ketika saya ke sana tahun 1983, Listrik, Rumah Sakit gratis. Sekolah bukan hanya gratis hingga perguruan Tinggi, tapi juga diberi uang saku. Venezuela juga makmur.
===
http://encarta.msn.com/encyclopedia_761575422_5/saudi_arabia.html
Several other U.S. oil companies acquired shares in Aramco in 1948. The Saudi government bought a 25 percent share of the company in 1973, then took complete control in 1980, after which the company was called Saudi Aramco. Production rose steadily from about 1.3 million barrels per day in 1960 to 3.8 million barrels per day in 1970. The increased production coupled with rising oil prices, especially in 1973 and 1974, brought huge revenues to the Saudi government. Another rapid increase in revenues followed the Islamic Revolution of Iran (1978-1979)
===
Selama Kekayaan Alam Indonesia diperah oleh asing dan Indonesia tidak mandiri, Indonesia tidak akan makmur. Toh mayoritas pekerja di perusahaan asing adalah putera2 Indonesia. Jadi Indonesia sebenarnya mampu menguasai teknologi migas yang sudah berumur ratusan tahun dari abad 18.
Mungkin Arab Saudi minyaknya banyak. Tapi Indonesia bukan hanya punya migas, tapi emas, tembaga, perak, hutan, sawah, dsb. Laut Indonesia yang luasnya 5 juta km2 (2 x luas Arab Saudi) mengandung banyak ikan dan kekayaan alam lainnya.
Arab makmur karena mereka mandiri. Indonesia miskin karena hanya jadi sapi perahan AS dan sekutunya.
Setuju.
BalasHapusTidak hanya Migas, tapi tambang emas, nikel dan tambang strategis lainnya. Membatalkan perjanjian penjualan gas paling bodoh sejagat. Yang di jual pemerintah Megawati ke Cina dengan sistem flat selama 25 tahun. Ah jadi ingat jadi kesal deh. Bagaimana perjanjian bodoh ini bisa terjadi? Apa ada udang di balik bakwan? He he he,
Allahu A'lam
Apa sih yg dimaksud hak milik orang lain? Begitu banyak pencurian dilakukan negara maju atas aset ekonomi negara miskin. Kita nggak merasa kecurian karena pencurian dan bahkan perampokan itu dilakukan secara legal. Hutang kita banyak, kita kemudian dipaksa menjual aset-aset ekonomi. Apa ini bukan pencurian atau perampokan? Jangan terkecoh!
BalasHapus