Berbagai kenaikan harga yang ditetapkan oleh pemerintah seperti kenaikan harga Elpiji, tarif Tol, Listrik, dan sebagainya akhirnya menyebabkan kenaikan harga barang lainnya seperti beras atau Sembako lainnya. Meski pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri, guru, polisi dan tentara, namun jumlah mereka cuma sekitar 5 juta atau kurang dari 2,5% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa.
Paling banter hanya 20% rakyat yang menikmati kenaikan harga tersebut. Sisanya 80% rakyat Indonesia atau sekitar 200 juta orang justru makin menderita atau makin miskin karena penghasilan mereka tidak naik sebesar kenaikan harga barang-barang kebutuhan rakyat. Bahkan sebagian bisa terkena PHK karena perusahaan tidak lagi kuat menanggung biaya operasional yang semakin tinggi sementara daya beli rakyat justru menurun. Mayoritas rakyat Indonesia miskin hingga 11,5 juta di antaranya menderita busung lapar/kurang gizi.
Terkadang kenaikan harga tersebut terjadi karena keserakahan. Bukan karena faktor rasional. Sebagai contoh, bagaimana mungkin DPR yang merupakan wakil rakyat mensahkan UU yang akhirnya menyebabkan tarif tol setiap 2 tahun dinaikkan. Padahal banyak jalan tol yang berusia 20 tahun lebih yang harusnya sudah mencapai titik impas atau BEP (Break Even Point). Mereka tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pembebasan lahan tanah, membangun jalan, dan sebagainya. Paling cuma sekedar pemeliharaan jalan. Jadi seharusnya tarif tol itu begitu sudah sampai titik BEP yang biasanya sekitar 5 tahun, harusnya justru turun.
Pemerintah telah memungut pajak dari rakyat yang besarnya 50% lebih dari APBN Indonesia. Harusnya pembangunan Jalan termasuk Jalan Tol itu adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan layanan bagi masyarakat yang telah membayar pajak seperti PPN, PPH, PBB, STNK, dan sebagainya.
Akibat berbagai kenaikan harga barang yang sudah jadi “Kebijakan” Pemerintah, maka nilai rupiah terus menurun. Jika sebelum Krisis Moneter tahun 1997-1998 nilai rupiah adalah sekitar Rp 2.200 per 1 US$, sekarang nilainya turun jadi Rp 9.500 per 1 US$. Ini adalah “Kebijakan Pemiskinan Massal” melalui kebijakan kenaikan harga yang mendorong turunnya nilai rupiah atau inflasi.
Tahun 1970 kita bisa naik haji dengan biaya Rp 182 ribu. Saat itu orang yang gajinya Rp 182 ribu/bulan adalah para direktur. Sekarang jangankan digaji Rp 182 ribu. Digaji Rp 400 ribu/bulan pun banyak pembantu yang ogah! Ini karena nilai rupiah yang terus turun.
Bandingkan dengan Arab Saudi yang boleh dikata tidak pernah menaikan harga barang seperti Bensin. Sementara Listrik dan RS di sana gratis. Harga satu kaleng minuman seperti Pepsi Cola atau Jeruk (Burtuqal) di tahun 1983 hingga 2009 tetap 1 real. Tidak berubah. Jadi meski gaji di sana nilainya tidak naik, mereka tetap bisa membeli barang kebutuhan mereka dengan jumlah yang sama.
Di Arab Saudi tidak ada “Kebijakan Pemiskinan Massal” melalui kebijakan kenaikan harga oleh pemerintah.
Kita berharap agar para pemimpin sadar dan menghentikan kenaikan harga barang semampu mereka. Lepaskan topeng pura-pura peduli tapi tangan mereka tetap menaikkan harga. Sebaliknya tulus hatilah untuk berjuang agar harga barang tidak naik. Jika perlu dengan mengurangi gaji mereka yang sangat besar.
Agar nilai rupiah stabil, jika perlu bisa diterapkan uang Rupiah Emas atau Perak (Seperti Dinar Emas) atau mematok nilai rupiah dengan emas sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah AS terhadap dollar sebelum tahun 1971.
Daftar Kenaikan Tarif Tol Mulai Hari Ini
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Senin, 28 September 2009 | 06:59 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah melalui Menteri Pekerjaan Umum akhirnya memberlakukan kenaikan tarif tol pada hari ini, Senin (28/9), untuk 10 ruas tol.
Ruas-ruas tol yang mengalami penyesuaian tarif, yaitu Jakarta-Bogor-Ciawi (59 km) untuk tarif terjauh golongan I berubah dari Rp 5.500 menjadi Rp 6.500, Dalam Kota Jakarta (23,55 km) dari Rp 5.500 menjadi Rp 6.500, Jakarta-Tangerang (33 km) dari Rp 3.500 menjadi Rp 4.000, Padalarang-Cileunyi (64,4 km) dari Rp 5.500 menjadi Rp 6.500, dan Palimanan-Kanci (26,3 km) dari Rp 7.000-Rp 8.000. Adapun Semarang Seksi A,B, dan C (24,75 km) dari Rp 1.500 tetap Rp 1.500.
Baca selengkapnya di:
Kenaikan Harga Elpiji 12 Kg Cemaskan Agen
Konsumen Rumah Tangga Akan Banyak Beralih ke Elpiji 3 Kg
KOMPAS/LASTI KURNIA
Minggu, 11 Oktober 2009 | 21:03 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Lukas Adi Prasetya
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kenaikan harga elpiji per kg Rp 100 untuk elpiji ukuran 12 kg, membuat cemas para agen. Sebelum ditetapkan kenaikan harga, penjualan elpiji 12 kg sudah anjlok, apalagi setelah kenaikan ditetapkan secara resmi, Sabtu lalu. Demi kelangsungan usaha, agen mulai mempertimbangkan berjualan elpiji 3 kg.
Bisma, Manajer Operasional PT Dian Paramita Utama, agen elpiji, mengatakan, sebulan terakhir, kasak-kusuk kenaikan harga elpiji 12 kg sudah membuat penjualannya anjlok 40 persen. Jika sehari biasanya mendistribusikan 700 tabung, menjadi hanya sekitar 400 tabung.
"Yang saya cemaskan, penjualan akan turun lagi. Sebab, kalangan rumah tangga, sebagai konsumen terbesar elpiji 12 kg, akan semakin banyak yang lari ke elpiji 3 kg. Lha itu sudah pasti karena harga elpiji tiga kg tidak naik. Sepertinya, kami mulai mempertimbangkan untuk juga menjual elpiji 3 kg," ujar Bisma, Minggu (11/10).
Dengan kenaikan harga Rp 100 per kg atau Rp 1.200 per tabung, harga elpiji ukuran 12 kg yang semula dijual Bisma Rp 69.000, kini menjadi Rp 70.200 per tabung. Sementara di toko-toko pengecer elpiji, harga bisa bervariasi, antara Rp 76.000-Rp 77.000.
Baca selengkapnya di:
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/10/11/21031780/kenaikan.harga.elpiji.12.kg.cemaskan.agen
PLN Kaji Kenaikan Tarif Listrik 30 Persen
28/09/2009 12:50
Liputan6.com, Jakarta: Perusahaan Listrik Negara (PLN) sedang mengkaji usulan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 20 hingga 30 persen, Senin (28/9). Apabila kajian ini disetujui, masyarakat harus bersiap dengan tarif baru yang mulai berlaku tahun depan.
Baca selengkapnya di:
http://berita.liputan6.com/ekbis/200909/245612/PLN.Kaji.Kenaikan.Tarif.Listrik.30.Persen
Sangat sepakat dinegara maju dan timur tengah tarif tol bahkan gratis ini sangat berguna mengurangi cost production dan distribution dalam masalah biaya transportasi. Tabung gas elpiji naik ini adalah dampak liberalisasi. Kenaikan tarif listrik 30% sangat tidak rasional
BalasHapusOrang Indonesia memang banyak yang punya penyakit senang jalan pintas, ingin cepat kaya, dsb. Tidak peduli jika pada akhirnya justru memelaratkan orang banyak.
BalasHapusSebagai contoh pendapatan PLN sekitar Rp 150 trilyun/tahun. Jika listrik naik 30%, diperkirakan pendapatan naik rp 45 trilyun/tahun. Tapi ini dengan catatan para pelanggannya tidak bangkrut karena biaya operasional makin meningkat...:) Jika banyak yang bangkrut atau mencuri listrik, maka PLN akhirnya justru merugi.
http://economy.okezone.com/read/2009/08/24/320/250945/pendapatan-pln-naik-rp1-3-triliun
PDB Indonesia tahun 2008 US$ 467 milyar atau sekitar Rp 4.500 trilyun. Jika karena kenaikan tarif PLN sebesar 30% yang bangkrut 10%, maka PDB turun sebesar Rp 450 trilyun. Jadi bisa tekor 10 x lipat ditambah dengan meningkatnya angka pengangguran, bertambahnya angka kejahatan, dan pendapatan pajak dari rakyat bisa berkurang.
http://id.wikipedia.org/wiki/Produk_domestik_bruto
Bagaimana pun juga berbagai kenaikan harga akan membuat biaya operasional makin tinggi, dan Indonesia tidak akan kompetitif lagi sehingga banyak industrinya yang bangkrut...
Diperkirakan kenaikan harga PLN ini untuk membuat "investor asing" tertarik berinvestasi (di bidang energi) di Indonesia sebagaimana dikemukakan SBY saat kampanye.
Pada akhirnya 5 tahun lagi rakyat (mudah2an) akan tahu apakah kebijakan itu berpihak pada rakyat atau investor asing.
Diperkirakan kenaikan harga PLN ini untuk membuat “investor asing” tertarik berinvestasi di Indonesia
BalasHapussebenernya saya agak bingung dengan kebijakan ini. Setau saya, banyak negara produsen mengalihkan assembly mereka ke Cina, karena disana ongkos produksi murah. Jika pemerintah justru menaikkan faktor harga produksi (seperti listrik, air, atau tol) bukankah biaya justru naik dan investor akan semakin menjauh?
Lalu mungkin sedikit OOT ya pak, juga agak bingung dengan intervensi BI dalam penguatan rupiah - tidak menguntungkan eksportir katanya. Tapi menurut pikiran saya (tidak ada data sich), Pertama: perekonomian global sedang turun drastis, sehingga permintaan ekspor menurun (jadi tidak terlalu efek juga); dan Kedua: jika nilai tukar rupiah naik, ini kesempatan untuk impor barang murah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (mis: jika PLN mau bangun pembangkit, siapa tau harga komponen mesinnya bisa beli lebih murah gitu).
Iya. Kenaikan tarif listrik memang menarik investor asing yang bergerak di bidang energi, tapi membuat kabur investor di bidang lainnya seperti industri otomotif, manufaktur, dsb. Padahal investor di bidang energi itu hanya segelintir saja, sementara yg lain lebih banyak.
BalasHapusHarusnya pemerintah memperhatikan kepentingan orang banyak ketimbang segelintir investor asing di bidang energi.
PDB berbeda dengan GNP pendapatan rata2 yaitu nilai output barang dan jasa yang dihasilkan baik oleh WNI maupun pihak asing (investor). 2 hal ini seringkali menjadi sangat kontroversial GDP misalnya lebih menitik beratkan pada investor asing saja tanpa melihat dampak besar lainnya sehingga yang terjadi adalah liberalisasi besar-besaran pada sektor publik dimiliki oleh asing.
BalasHapusJika melihat struktur APBN terlihat PDB sayangnya di kita terkadang tidak melihat kepemilikan, aset dan nilai startegis publik juga keuntungan yang diperoleh. Kasus UU Migas, UU PMA, Minerba,Ketenagalistrikan, Privatisasi Air, UU BHP dimana domain asing begitu sangat signifikan.Dan mungkin lebih besar lagi GDP kita dari 4500 T apabila hal ini direvisi karena GDP merupakan faktor indikator makro yang berpengaruh besar.
Saya sepakat dalam hal ini pemerintah kurang memperhatikan faktor strategis, sehingga berdampak besar secara stimultan pada perekonomian lainnya. Dalam hal ini pemerintah kurang berfikir secara jernih dan analisis, dalam hal menentukan kebijakan harga tarif dasar listrik yang menaik hingga 30%, tarif tol dan tabung gas elpizi 12 kg dimana dampaknya akan timbulkan efek bola salju. Benar kenaikan 30 % akan akibatkan secara stimultan dengan bangkrutnya industri sebesar 10% dan kehilangan pendapatan sebesar 450 trilyun.
Ini akan menambah deraan konflik horisontal antara pekerja dan majikan karena alasan krisis global keuangan. Beberapa waktu lalu saya sdr Bowo (alm)Ketua DPD SPN pernah berdiskusi masalah ini di Stasiun TV lokal Banten. Ternyata sebegitu jauh dampak ketakutan secara psikologis (atau hanya alasan pihak persahaan saja)hingga terjadi PHK (Di Banten diduga tercatat 5000 orang) .Padahal pabrik tersebut tidak menyentuh ekspor ke AS dan eropa, 80% lokal dan sisanya ketimur tengah. Sumber resmi pemerintah dan harian Kompas menyebutkan dampak krisis keuangan Global hanya 20 % saja di Indonesia. Sedangkan Indonesia adalah pasar dunia no 4 dan 5 terbesar.
Mengenai kasus ini tarif tol ini benar-benar keterlaluan dinegara maju dan negara timur tengah ini malah digratiskan. Di kita semestinya apabila nilai investasi sudah menuju recovery harusnya dibuat semakin murah dan gratis. Saya pikir pemerintah kurang memperhatikan biaya transportasi yang akan berpengaruh terhadap produksi dan distribusi semakin mahal bagi rakyat.
Mengenai Gas elpizi 12 kg yang naik lagi-lagi rakyat kecil yang menjerit setelah konversi berhasil memaksa mereka dari minyak tanah, kini mereka semakin terjepit dan terpaksa membeli elpiji ukuran 3kg.
Saya belum tahu argumentasi sesungguhnya apakah kenaikan gas ini juga merupakan dampak dari UU Migas kita yang dikuasai asing dari hasil teganya Purnomo dan SBY yang tidak mengerti apa-apa (atau pura-pura tidak mengerti). Wallahu alam
[...] Sumber : http://infoindonesia.wordpress.com/2009/10/12/kenaikan-harga-penyebab-turunnya-nilai-rupiah... Ditulis dalam Ekonomi Pembangunan. Leave a Comment » [...]
BalasHapusBetul pak Teguh. PDB beda dengan GNP. Pada PDB, perusahaan yang dikuasai asing juga dihitung. Padahal justru perusahaan2 asing yang menguasai perekonomian Indonesia. Sebagai contoh Migas 85% dikuasai asing. Perbankan Nasional 50% dikuasai asing. 75% transaksi di Bursa Efek Indonesia juga dikuasai asing. Jadi porsi Indonesia itu sangat sedikit.
BalasHapusSistem Ekonomi Neoliberalisme mengakibatkan Indonesia seperti dijual ke asing. Indonesia for sale! Padahal di Singapura yang makmur, 80% perekonomian ditopang BUMN. Malaysia yang jumlah/skill SDMnya di bawah Indonesia tidak menyerahkan migasnya ke asing. Tapi dikelola Petronas.
Di Indonesia UMR itu sekitar Rp 1 juta di Jakarta dan Rp 500 ribu di daerah seperti di Jawa Tengah/Jawa Timur. Jika kita anggap rata2 pendapatan rakyat Indonesia Rp 12 juta/tahun dan orang itu harus menghidupi keluarganya yang terdiri dari 4 orang, maka tiap orang hanya dapat Rp 3 juta atau sekitar US$ 300 per orang/tahun. Kurang dari 1 US$/hari di bawah garis kemiskinan Bank Dunia yang US$ 2/orang/hari.
Itulah pendapatan mayoritas rakyat Indonesia.
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/08/11/14445938/Hentikan.Menjual.BUMN.Strategis.kepada.Asing