92 orang mati kelaparan di Yakuhimo Papua VS Rp 46 Milyar biaya Pelantikan anggota DPR
Sering pemerintah menaikkan berbagai tarif/harga kebutuhan masyarakat seperti BBM, Listrik, PAM, biaya pendidikan di PTN dan SMUN dengan dalih tidak punya cukup uang. Padahal pemerintah menerima pajak dari rakyat seperti PPN, PPH, PBB, STNK, dsb yang besarnya mencapai lebih dari 50% APBN!
Pemerintah meminta rakyat untuk berhemat.
Harga-harga barang melonjak sehingga tidak terbeli rakyat. Ini beda dengan pemerintah Arab Saudi yang tidak pernah menaikkan harga barang seperti BBM sehingga harga sekaleng minuman (misalnya Pepsi Cola/Jeruk) dari tahun 1983 hingga 2009 tetap 1 real. Akibatnya rakyat Indonesia yang mayoritas bukan pegawai negeri yang gajinya tidak naik sebesar kenaikan harga barang hidup dalam kemiskinan. Sebagai contoh 92 orang mati kelaparan di Yakuhimo, Papua. Belum lagi berbagai kelaparan di daerah lainnya.
Di sisi lain tak jarang para pejabat begitu boros menghambur-hamburkan uang rakyat seperti biaya pelantikan anggota DPR dan DPD yang mencapai Rp 46 milyar lebih. Belum lagi berbagai studi banding yang nantinya dilakukan meski hasilnya tidak jelas. Untuk para pejabat, pemerintah seolah-olah punya dana yang tidak terhingga.
Seharusnya uang rakyat justru dipakai untuk membantu fakir miskin. Bukan untuk dihambur-hamburkan secara boros oleh para pejabat.
Kelaparan Yahukimo, Menkokesra Panggil Bupati
Rabu, 16 September 2009, 09.36 WIB
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Abu Rizal Bakrie memanggil Bupati Yahukimo Papua, Ones Pahabol untuk dimintai klarifikasi kasus kelaparan yang melanda sejumlah distrik di kabupaten Yahukimo. Kelaparan tersebut telah menyebabakan sekitar 92 orang meninggal selama periode Januari - Agustus 2009.
Baca selengkapnya di:
http://www.kompas-tv.com/content/view/21181/2/
Rakyat, Inilah Total Biaya Pelantikan Wakil Anda di Senayan!
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Selasa, 29 September 2009 | 15:04 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
JAKARTA, KOMPAS.com — Pelantikan anggota DPR dan DPD periode 2009-2014 pada 1 Oktober mendatang menjadi perhelatan tiga lembaga, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketiga lembaga itu menganggarkan biaya yang jumlahnya luar biasa besar.
Total biaya untuk pelantikan yang hanya akan berlangsung beberapa jam itu mencapai Rp 46,049 miliar. Berikut adalah rincian anggaran yang berasal dari keuangan negara tersebut, bersumber dari Indonesia Budget Centre (IBC):
1. Anggaran KPU: Rp 11 miliar
Angka ini jauh lebih besar dari pelantikan tahun 2004 sebesar Rp 7 miliar, naik sebesar 36 persen. Untuk pelantikan ini, setiap anggota DPR menelan biaya sebesar Rp 15,89 juta.
- Biaya menginap di Hotel Sultan selama 4 hari @Rp4,2 juta x 692 orang =Rp 2,9 miliar
- Sewa kendaraan @Rp 63 juta x 4 hari =Rp 252 juta
- Biaya beli tas @Rp 167.000 x 692 =Rp 115 ,5 juta
- Uang saku @Rp 2 juta x 692 =Rp 1,38 miliar
- Biaya pakaian penjemputan (jas, jaket, batik, hem) = Rp 149 ,9 juta
- Biaya lain-lain Rp 6,22 miliar guna membiayai konsumsi petugas lapangan, biaya transportasi anggota DPR dan DPD.
2. Anggaran DPR/Setjen: Rp 28, 504 miliar
- Perjalanan pindah ke Jakarta @Rp50,35 juta x 560 orang =Rp 28,2 miliar (dana ini dianggap tidak perlu, duplikasi)
- Bantuan logistik untuk petugas Polri selama 3 hari =Rp 138 juta (duplikasi dengan anggaran Polri)
- Biaya protokoler pelantikan = Rp 112 ,5 juta
- Honor rohaniawan = Rp 56,2 juta
3. Anggaran DPD/Setjen = Rp 6, 545 miliar (anggaran ini naik sekitar 17 persen atau Rp 949 juta dari DIPA awal sebesar Rp 5,6 miliar)
- Biaya pembuatan PIN @Rp 9 juta x 132 = Rp 1,2 miliar (dinilai terlalu mahal)
- Biaya orientasi sebelum dilantik @Rp 22,7 juta x 132 orang = Rp 3 miliar (duplikasi dengan orientasi KPU)
- Biaya purnatugas (transport dan akomodasi) @Rp 10,4 juta x 100 anggota =Rp 1,04 miliar
- Biaya pengambilan sumpah/janji @Rp 9,8 juta x 132 anggota = Rp 1,3 miliar
Dengan total anggaran Rp 46, 049 miliar, maka setiap anggota DPR dan DPD rata-rata menghabiskan Rp 66,54 juta.
Koordinator Indonesia Budget Centre (IBC) Arif Nur Alam mengatakan, dari puluhan miliar anggaran tersebut, terdapat beberapa pos yang seharusnya bisa dihemat. Ia mencontohkan, biaya penjemputan dan penginapan bisa dihemat ratusan juta rupiah jika 204 anggota yang berdomisili di Jakarta tak ikut diinapkan di hotel mewah.
"Pelantikan adalah tahap akhir pemilu sehingga alokasi di Setjen DPR dan DPD tidak perlu terlalu besar. Alokasi yang tinggi ini menunjukkan fungsi anggaran tidak baik dan menyakiti hati rakyat," kata Arif di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (29/9).
Baca selengkapnya di:
KPK Tangani Aliran Dana 13,5 M ke Jaksa |
Selasa, 12 Agustus 2008 | |||||||||||||||||||
Pelaku bisa dihukum lima tahun penjara. Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengusut dugaan suap dari Bank Indonesia kepada jaksa. "Mereka itu termasuk penegak hukum, tak ada salahnya ditangani KPK," kata M. Jasin, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Pencegahan, di Jakarta kemarin. Jasin mengutip sanksi pidana pada Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji berkaitan dengan jabatan mereka, kata Jasin, "Bisa dihukum lima tahun penjara."Dugaan adanya penyuapan ke kejaksaan mencuat di persidangan Rabu pekan lalu. Bendahara Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia, Ratnawati Priyono, mengungkapkan uang yayasan sekitar Rp 13,5 miliar juga dikirim ke Kejaksaan Agung. Ratna tak menyebut siapa saja jaksa yang menerima uang itu. Dia hanya menerangkan uang dikirim melalui Oey Hoey Tiong, mantan Direktur Hukum BI, yang kini ditahan. "Itu untuk diseminasi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan untuk menangkal isu negatif tentang BI," kata Ratna, yang diperiksa sebagai saksi kasus aliran dana BI dengan terdakwa Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin menyatakan belum akan menyelidiki siapa jaksa yang menerima dana BI. Alasan dia, kabar itu masih simpang-siur. “Biar orang BI yang menjelaskan di pengadilan siapa (jaksa) yang menerima.” Aliran dana BI ke jaksa juga terungkap dalam kesaksian para bekas pejabat BI saat diperiksa penyidik KPK. Pada 4 Februari lalu, bekas Deputi Gubernur BI Iwan R. Prawiranata mengaku pernah menyerahkan sejumlah uang tunai (dolar Amerika) kepada Salman Mahyadi, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Namun, dua pekan kemudian, Iwan mencabut pengakuannya. "Saat itu saya rancu atau salah dalam berpikir," kata Iwan dalam dokumen pemeriksaan. Kepada Tempo, Salman pun membantah jika dikatakan menerima duit suap itu. Kesaksian Oey di depan penyidik KPK memperkuat dugaan adanya dana BI kepada jaksa. Waktu lima mantan anggota Dewan Gubernur dan direksi BI meminta bantuan dana Rp 68,5 miliar kepada BI, menurut Oey, mereka antara lain beralasan untuk memuluskan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang disidik kejaksaan. Soedradjad Djiwandono, mantan Gubernur BI yang saat itu jadi tersangka, misalnya, menurut Oey, "Berupaya agar tidak langsung ditahan." Adapun Iwan R. Prawiranata, yang masih berstatus saksi, "Berusaha agar tidak dijadikan tersangka." Ali Mukartono, anggota tim jaksa yang menangani kasus BLBI, mengaku tak tahu-menahu soal dana dari BI. Ali pun mengaku hanya namanya yang tercatat dalam tim itu. Prakteknya, dia tak ikut menangani kasus BLBI karena sibuk menggarap kasus lain. Jadi, "Tanya saja kepada ketua tim." Bantahan jaksa tak menyurutkan langkah KPK. Menurut Jasin, Komisi bisa saja langsung meminta keterangan dari oknum jaksa yang diduga menerima duit BI. "Itu tidak tertutup kemungkinan." Tapi, untuk pengusutan lebih lanjut, KPK masih mengumpulkan bukti pendukung. "Bukti lain akan kami cermati, termasuk keterangan saksi," kata Jasin. Kemarin, persidangan kasus ini menghadirkan Analis Eksekutif Biro Gubernur Bank Indonesia Asnar Ashari dan mantan Direktur YPPI Baridjussalam Hadi. Para saksi menjelaskan pencairan Rp 100 miliar dari kas YPPI untuk Komisi IX DPR dan mantan pejabat BI atas persetujuan Aulia Pohan selaku pengawas yayasan. JAJANG | SUKMA | SUTARTO | EKO ARI | FAMEGA SYAFIRA KE MANA DUIT BANK INDONESIA Kejaksaan Agung “kecipratan” dana Bank Indonesia sebesar Rp 13,5 miliar. Kesaksian mantan bendahara Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), Ratnawati Priyono, menyebutkan uang YPPI senilai Rp 13,5 miliar diberikan ke lembaga itu. Kejaksaan, menurut salah satu petinggi Bank Indonesia, adalah “salah satu stakeholder” untuk diseminasi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan menangkal isu KATA JAKSA Muchtar Arifin, WAKIL JAKSA AGUNG, di kantornya kemarin. “Biar orang BI yang menyerahkan uang itu menjelaskan di pengadilan siapa (jaksa) yang menerima. Kalau ada yang menyebutkan nama, langsung kami periksa.” Ali Mukartono, SALAH SEORANG JAKSA, saat dihubungi Sabtu lalu. “Saya tidak tahu. Saat itu juga ada kasus Bulog dengan tersangka Akbar Tandjung, sehingga tidak lagi tangani kasus itu. Nama saya saja yang tercatat, tapi tidak ikut menangani.” Tony Sinay, SEORANG JAKSA, saat dihubungi kemarin. “Saya tidak tahu. Kasus itu kami fight sampai tingkat kasasi, yang memvonis mereka satu setengah tahun.” KATA KPK M. Jasin, WAKIL KETUA KPK, KEMARIN. “Informasi awal di persidangan. Tak tertutup kemungkinan akan dimintai keterangan. Kami masih lengkapi bukti.” Jaksa Kasus BI
NASKAH: SUKMA LOPPIES | ANTON SEPTIAN | EKO ARI WIBOWO | CHETA NILAWATY | BAHAN: KESAKSIAN DI PERSIDANGAN | BERBAGAI SUMBER YANG DIOLAH Sumber: Koran empo, 12 Agustus 2008 http://antikorupsi.org/indo/content/view/13148/ |
Sungguh suatu hal yang ironis, ketika rakyat banyak dirundung musibah dan bencana, para wakil rakyat justru asyik menikmati kemewahan. suatu kemewahan yang harus dibayar oleh uang rakyat. menurut hemat saya, hal ini kurang layak dilakukan, alangkah lebih baik apabila anggaran biaya yang ada digunakan untuk suatu hal yang lebih bermanfaat.
BalasHapusmudah-mudahan mereka sadar bahwa mereka adalah wakil rakyat bukan penikmat uang rakyat semata.
Dijual Rumah
Betul, betul sekali!! apa mungkin para pejabat kaya mampu mengambil keputusan bijaksana, sementara kehidupan dan gaya hidup mereka demikian mewah?? jaman kiwari emang aneh. Sepertinya akan sangat sulit bagaimana menyadarkan mereka, karena mereka menganggap dirinya benar, kekayaan dan fasilitas yang mereka terima itu adalah HAK nya dan stimpal dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya, dan semua itu telah diatur susuai dengan undang-undang... mereka cerdas, tetapi hatinya tidak peka. Mereka bunuh hati mereka. Atau mungkin Karena Allah sengaja menutup mata hatinya. Dan, kengerian akan terjadi, ketika Allah menurunkan ajab pada mereka. Bencana yang akhir-akhir ini terjadi, sebenarnya merupakan ajab dari Allah, namun hati dan pikiran mereka telah mati, sehingga tidak mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa... Semoga Alloh menyadarkan mereka, menyadarkan kita semua... serta membuka hati manusia-manusia yang sombong dan dungu..
BalasHapusapabila sejaka awal dimulai tugas nya anggota dpr yang ( mungkin ) terhormat..... di bius / fasilitasi dengan anggran yang nilainya berlebihan...maka saat bertugas dpr mutlak tidak bisa meng-evaluasi kebijakan yang tida pro-rakyat ( masyarakat )......
BalasHapusbagaimana solusinya.....???