Di MetroTV Rabu 3 September 2007 saya lihat bahwa Exxon berkeras menguasai 100% hasil gas di Natuna dengan alasan biaya operasionalnya tinggi sehingga rakyat Indonesia tidak dapat apa-apa. Padahal teman2 saya yang ke sana menyaksikan bagaimana fasilitas karyawan Exxon sangat mewah. Exxon sendiri mengantongi keuntungan hingga Rp 360 trilyun setiap tahun dari pengelolaan minyak dan gas di berbagai negara termasuk Indonesia.
Ini berlarut2 dari tahun 2006. Menurut saya, jika Exxon tidak mau memberi bagi hasil kepada Indonesia, lebih baik pemerintah segera menghentikan kontrak dan mengusir Exxon dari sana. Jika perlu dari Indonesia. Karena mengambil 100% dari pendapatan yang ada menurut saya adalah perampokan atau penjajahan ekonomi gaya baru. Harusnya hasilnya bisa dinikmati untuk memakmurkan 240 juta rakyat Indonesia.
Pemerintah harus mengadakan tender untuk pengelolaan Migas di Natuna. Perusahaan2 lain seperti Shell, BP, Amoco, Chevron, Petrochina tentu bersedia mengikuti tender tersebut.
Saya berharap pemerintah George W Bush tidak menjadi beking Exxon sehingga pemerintah jadi tidak berani bertindak tegas terhadap Exxon.
Nabi Muhammad SAW bersabda: ”An-Naas syurokaa fi tsalatsin, fil-maa wal-kalaa wan-naaro.” Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu air, rumput, dan api. (HR Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah). Dari situ jelas bahwa api, termasuk minyak dan gas, harusnya hasilnya bisa dinikmati 240 juta rakyat Indonesia. Bukan dimonopoli oleh perusahaan asing seperti Exxon. Saya berharap para ulama dan pegiat Ekonomi Syariah mengkritik hal ini dan memperjuangkan agar sumber daya alam Indonesia seperti minyak dan gas bisa dinikmati oleh rakyat Indonesia. Tidak dirampok oleh perusahaan asing.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0610/13/ekonomi/3023731.htm
Jumat, 13 Oktober 2006
ExxonMobil Tetap Ngotot
Pemerintah Hati-hati dalam Memberikan Persetujuan
Jakarta, kompas - Meskipun pemerintah menyatakan kontrak di Blok Natuna D Alfa diputus, namun ExxonMobil tetap bersikukuh pada persepsinya atas kontrak yang dibuat pada tahun 1995. ExxonMobil menyatakan perlu melakukan kajian lebih lanjut sebelum meneruskan pembicaraan soal kontrak.
Demikian disampaikan Presiden Direktur ExxonMobil Indonesia (EMOI) Peter J Coleman, Kamis (12/10) di Jakarta.
”Kami berpegang pada kontrak yang dibuat dulu (1995). Kami butuh waktu untuk memutuskan apa yang harus dilakukan untuk pembicaraan lebih lanjut dengan Pemerintah Indonesia,” ujarnya.
Coleman mengatakan, banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh ExxonMobil. Porsi bagi hasil 100:0 yang ditetapkan dalam kontrak tahun 1995 menjadi dasar bagi ExxonMobil untuk menilai kelayakan proyek tersebut.
”Kalau ada perubahan dalam porsi bagi hasil, tentu harus dilihat lagi apa yang membuat kami dulu mau mengupayakan produksi di Natuna,” ujarnya.
Coleman mengingatkan, posisi Natuna yang ada di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia sulit dijangkau dengan fasilitas yang sangat minim.
Menurut dia, investasi yang dibutuhkan untuk Natuna tidak sebesar yang diperkirakan semula. ”Setelah kami lakukan reevaluasi, biayanya tidak sampai 40 juta dollar AS,” katanya.
EMOI dan mitranya Pertamina perlu menyiapkan dana 10 miliar dollar AS untuk mengusahakan blok tersebut bisa berproduksi dalam lima tahun.
Bagian Indonesia dari hasil produksi gas Natuna 13 miliar-26 miliar dollar AS, dengan hitungan masa kontrak 20 tahun dan produksi 10 miliar kaki kubik.
http://batampos.co.id/index.php?Itemid=81&id=5975&option=com_content&task=view
Kontrak Exxon di Natuna Putus
Jumat, 13 Oktober 2006
Pemerintah Kecewa 21 Tahun Tak Berproduksi
JAKARTA (BP) - Pengelolaan blok Natuna D Alpha yang selama ini dipegang ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) dipastikan berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar