Senin, 21 Januari 2008

Ketika Negara Tak Berdaya Menghadapi Kegilaan Pelaku Pasar

Kaum Neoliberal beranggapan bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur dalam ekonomi Pasar. Biar Pasar yang “Rasional” bertindak. Pemerintah cukup membuat aturan.



Namun kenyataannya sering Negara tidak berdaya menghadapi kegilaan Pasar. Ketika harga minyak tanah meroket dari Rp 2.500 hingga 5.000 dan langka di pasar sehingga di TV-TV Nasional terpampang antrian rakyat kecil bawa jerigen untuk membeli tanah, pemerintah tak berdaya apa-apa. Pemerintah tak dapat bertindak dalam hitungan hari, bahkan minggu.



Demikian pula ketika harga kedelai yang 60% nya diimpor dari AS. Ketika harga meroket dari Rp 3.500/kg menjadi Rp 8.000/kg, Negara tak mampu bertindak dalam hitungan hari/minggu. Bahkan ketika 50% pengusaha tahu tempe sudah bangkrut yang tentunya menimbulkan banyak pengangguran, pemerintah belum bisa menormalkan harga.


http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2008/01/14/brk,20080114-115368,id.html



Begitu pula dengan kenaikan terigu yang sekarang sudah mencapai 30%.



Ketika harga minyak goreng membubung dari Rp 6.000/kg hingga Rp 11.000/kg, pemerintah perlu waktu berbulan-bulan untuk ”menstabilkan” harga. Itu pun turunnya bukan ke level sebelumnya, tapi naik menjadi Rp 8.500/kg pada Mei 2007 kemarin.



http://www.antara.co.id/arc/2007/5/8/produsen-jamin-harga-minyak-goreng-rp6500-minggu-depan/



Sekarang harga minyak goreng yang belum setahun penuh meroket lagi ke harga Rp 13.000/kg dari harga sebelumnya Rp 9.000/kg


(http://www.suarapembaruan.com/News/2008/01/18/Nusantar/nus01.htm )



Pagi ini, 22 Januari 2008, di Metro TV juga diberitakan bahwa beras naik 50% dari Rp 4000/kg menjadi Rp 6000/kg hanya dalam hitungan hari. Jelas angka inflasi yang umumnya ditetapkan kurang dari 10% per tahun jauh di bawah nilai yang sesungguhnya.



Itulah akibat negara terlalu dipinggirkan oleh sistem Ekonomi Pasar. Meski Negara bisa membuat aturan/UU, namun sering untuk membuat UU itu perlu ”biaya” dan para pelaku pasar itulah yang punya banyak uang untuk melobi sehingga UU bisa menguntungkan mereka.



Celakanya lagi memang banyak orang-orang pasar yang masuk ke dalam jajaran kabinet, sehingga bargaining power pemerintah untuk berpihak kepada rakyat sangat kurang. Apalagi dalam pemilu yang biayanya mencapai Rp 47 trilyun lebih itu, para kandidat pemilu memang butuh uang banyak yang hanya dimiliki oleh para pelaku pasar.



Para pendiri Bangsa Indonesia cukup arif dalam membuat UUD 45 pasal 33 ayat 2 sebagai berikut:



“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.



Jika negara menguasai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, tentu pemerintah tidak perlu menjerit-jerit selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan kepada para pelaku pasar yang menyengsarakan rakyat dengan berbagai kenaikan harga sehingga banyak pengusaha kecil bangkrut dan banyak rakyat jadi pengangguran.



Jika pemerintah bisa menguasai jalur distribusi, atau lebih baik lagi produksi (minimal 50%), maka lonjakan harga yang drastis seperti minyak goreng, kacang kedelai, minyak tanah, terigu, dsb tidak akan terjadi.



Sebagai contoh dengan PTPN (PT Perkebunan Nusantara) yang dikelola pemerintah yang bergerak di bidang teh, harga teh tidak bergejolak tinggi.



Dengan berbagai lonjakan harga para pelaku pasar yang menggila, ada baiknya kita merenungi kembali UUD 45 pasar 33 ayat 2 tempo dulu. Bisakah kita mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pelaku pasar atau investor?



Untuk apa investor datang jika harga minyak goreng, terigu, dsb menggila sehingga banyak pengusaha dalam negeri yang memakai produk tersebut (pengusaha gorengan, produsen mi, tahu tempe, dsb) akhirnya bangkrut dan karyawannya menganggur?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar