Sedih juga melihat Faisal Basri terkesan sangat pro Pasar. Lihat pernyataannya:
==
FB: Tak seorang pun bisa melawan hukum pasar.
==
Adakah kalau pasar sekarang dipermainkan spekulan pasar hingga minyak meroket dari US$ 20 jadi US$200 pemerintah harus diam saja dan mengikuti pasar sehingga rakyat harus beli premium sampai Rp 20 ribu/liter? Lihat di www.infoindonesia.wordpress.com bagaimana harga minyak meroket melebihi kewajaran akibat ulah spekulan.
Nabi Muhammad ketika ada orang Yahudi yang menjual harga air dengan harta tinggi kepada rakyat bukannya mengikuti "pasar" Yahudi, tapi meminta sahabat membeli sumur air sehingga rakyat bisa menikmati air secara gratis.
Jadi ada yang bisa melawan pasar. Nabi Muhammad pernah melakukannya.
Di Kompas diberitakan bagaimana Cina yang merupakan importir ke-3 terbesar di dunia justru mensubsidi BBM sehingga para petani bisa menjalankan traktornya, pabrik-pabrik bisa berjalan dan mengekspor barang ke seluruh dunia. Sebagai ganti, rakyat jadi makmur dan pajak yang diterima pemerintah meningkat.
==
FB:
Tanpa kenaikan harga BBM, subsidi energi melonjak dari Rp 187 triliun menjadi hampir Rp 250 triliun. Kalau harga merangkak naik hingga 150 dollar AS, subsidi bisa menggelembung ke sekitar Rp 300 triliun.
===
Dari Data Statistik Energi Resmi milik Pemerintah AS menyatakan Produksi minyak Indonesia 1,1 juta bph (2006) dan konsumsi 1,2 juta bph.
http://www.eia.doe.gov/emeu/cabs/Indonesia/Oil.html
90% minyak Indonesia dikelola perusahaan asing (sebagian besar perusahaan AS) dan pemerintah AS sangat tegas jika ada pemalsuan data jadi cukup dipercaya.
Dengan angka tersebut dan biaya pengolahan minyak sampai US$ 15/barrel dan penjualan US$ 77/barrel (Rp 4500/liter) Indonesia sudah untung Rp 165 trilyun. Kecuali Faisal Basri menganggap kalau harga di luar US$ 200/barrel sementara Indonesia menjualnya US$ 77/barrel maka Indonesia rugi US$ 123/barrel meski biaya produksi berikut keuntungan kontraktor hanya US$ 15/barrel dan impor hanya 0,2 juta bph (kurang dari 20%).
==
Faisal Basri:
Tak pernah ada rencana yang dilaksanakan dengan konsisten untuk mengakhiri rezim subsidi BBM sehingga persoalan ini menjadi langgeng dan membelenggu diri kita sendiri.
===
Apakah Faisal Basri membela ulah para spekulan minyak di NYMEX yang merekayasa kenaikan harga minyak dari US$20/barrel hingga US$ 200/barrel? Sehingga rakyat mungkin bisa mati kelaparan karena berbagai harga termasuk pangan meroket naik karena semua didistribusikan dengan kendaraan/BBM? Bukan digemblok dengan jalan kaki?
==
Faisal Basri:
Konsumen Indonesia tak peduli sekalipun harga minyak dunia meroket karena harga yang mereka bayar di Indonesia bergeming. Maka, jadilah Indonesia sebagai negara yang tergolong paling boros di dunia dalam hal penggunaan energi.
===
Apa Faisal Basri tak pernah menonton TV atau Baca Koran? Rakyat Indonesia banyak yang demo menentang kenaikan harga BBM. Saya sendiri meski tidak demo, tidak berarti saya setuju harga BBM naik. Saya yakin banyak yang begitu. Kecuali beberapa gelintir orang yang justru untung/dapat "rezeki" ketika harga BBM naik saja yang setuju.
Faisal mengatakan Indonesia negara paling boros di dunia dalam penggunaan energi? Apa betul?
Data statistik justru menunjukkan untuk konsumsi minyak per kapita di Indonesia menempati urutan 116 di bawah negara Afrika seperti Namibia dan Botswana dengan 1,7 barrel per tahun (0,7 liter per hari).
Ini di bawah konsumsi BBM/kapita rakyat Singapura sebesar 59,5 barrel/tahun (26 liter/hari) atau Amerika 25,8 barrel/tahun (11 liter/hari). Rakyat AS memakai mobil yang boros bensin serta rumahnya rata2 memakai AC/Heater. Sementara rakyat Indonesia yang miskin paling cuma naik motor (1:40) dan kipas angin.
Untuk jumlah keseluruhan, Indonesia yang jumlah penduduknya terbesar ke 4 di dunia hanya menempati peringkat 17. Padahal wajar untuk penggunaan energi juga rangking 4. Jadi bohong besar jika ada yang mengatakan Indonesia negara terboros dalam penggunaan energi.
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/rankorder/2174rank.html
Lihat Venezuela dan juga beberapa negara lainnya. Meski harga bensin cuma Rp 460/liter, tapi tidak ada disparitas harga, penyelundupan, dsb. Indonesia harus belajar pada Venezuela dan negara-negar lain yang bisa menyediakan BBM murah bagi rakyatnya.
Bukan mencekik rakyat dengan harga BBM yang tinggi mengikuti ulah spekulan pasar minyak.
Kita butuh intelektual yang pro rakyat. Bukan yang pro pasar.
--- On Sat, 5/17/08, Dodik <kidod25@yahoo.com> wrote:
From: Dodik <kidod25@yahoo.com>
Subject: [ekonomi-syariah] Terbelenggu Mitos Bahan Bakar Minyak
To: beniko@yahoo.com
Date: Saturday, May 17, 2008, 12:08 AM
Terbelenggu Mitos Bahan Bakar Minyak Jumat, 16 Mei 2008 | 00:28 WIB
Oleh Faisal Basri
Akhir pekan lalu, harga minyak mentah di pasar berjangka New York untuk penyerahan Juni sudah mencapai 126 dollar AS. Itu adalah harga nominal. Hasil kajian yang dimuat majalah Economist, 17 April 2008, memaparkan bahwa dengan menggunakan ukuran lain, tampaknya harga minyak saat ini belum tergolong mahal.
Dengan menggunakan acuan perkembangan pendapatan konsumen tahunan negara-negara kaya yang tergabung di dalam G-7 sejak 1981, harga minyak seharusnya naik menjadi 134 dollar AS. Apabila dipadankan dengan perkembangan pendapatan siap belanja (disposable income) penduduk AS, harga minyak bisa bertengger setinggi 145 dollar AS. Dan seandainya diselaraskan dengan pangsa belanja minyak terhadap output global, harga minyak berpotensi mencapai 150 dollar AS. Jadi, harga minyak dewasa ini belum tergolong tinggi. Harga pada masa lalu itu, sebetulnya, yang relatif terlalu murah.
Pada awal Mei, Goldman Sachs mengeluarkan prediksi terbaru bahwa harga minyak dapat mencapai 200 dollar AS sebelum akhir tahun ini. Sebetulnya, Goldman Sachs bukan yang pertama keluar dengan angka itu. Jauh hari sebelumnya, Stephen Leeb dan Glen Strathy lebih dulu mengingatkan kemungkinan ini di dalam bukunya yang diterbitkan tahun 2006: The Coming Economic Collapse: How You Can Thrive when Oil Costs $$200 a Barrel.
Asumsi harga minyak yang tercantum di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan yang baru saja ditetapkan April lalu adalah 95 dollar AS.
Dengan harga sekarang, acuan tersebut sudah meleset lebih dari 30 dollar AS. Tanpa kenaikan harga BBM, subsidi energi melonjak dari Rp 187 triliun menjadi hampir Rp 250 triliun. Kalau harga merangkak naik hingga 150 dollar AS, subsidi bisa menggelembung ke sekitar Rp 300 triliun.
Sampai kapan harga BBM bersubsidi dibiarkan ”anteng” pada tingkat sekarang ini? Tentu ada batasnya.
Sejatinya, persoalan utama bukanlah subsidi yang menggelembung. Karena, ada 1.001 cara untuk menekan subsidi: penjadwalan hingga kemplang utang luar negeri maupun dalam negeri, penghematan departemen dan lembaga negara, penerapan pajak progresif atas komoditas yang sedang booming, jual BUMN, pemotongan gaji, peningkatan produksi minyak, dan lain-lain.
Problem disparitas harga
Katakanlah langkah-langkah spektakuler tersebut berhasil secara maksimal. Apakah lantas inti masalah terpecahkan? Tidak sama sekali. Karena, persoalan akan azali sepanjang terjadi disparitas harga, yakni antara harga yang ditetapkan pemerintah dan harga keekonomian.
Tak seorang pun bisa melawan hukum pasar. Piuh (distortions) akan kian merajalela kalau harga yang ditetapkan pemerintah semakin jauh (lebih rendah) dari harga keekonomian. Pertama, peningkatan konsumsi akan tak terkendali karena harga relatif BBM di mata konsumen sangat rendah. Peningkatan konsumsi ini sudah terjadi. Konsumen Indonesia tak peduli sekalipun harga
minyak dunia meroket karena harga yang mereka bayar di Indonesia bergeming. Maka, jadilah Indonesia sebagai negara yang tergolong paling boros di dunia dalam hal penggunaan energi. Begitukah cara kita mengelola sumber daya alam yang langka dan tak terbarukan?
Cadangan minyak akan makin cepat susut sehingga generasi mendatang tak bisa lagi mencicipi rezeki emas hitam. Selain itu, kita pun secara sadar menambah intensitas produksi racun ke udara sehingga memperburuk pemanasan global dan menurunkan kualitas hidup.
Bagaimana dengan mitos bahwa kita merupakan negara produsen dan pengekspor minyak? Ternyata, dalam satu dasawarsa terakhir produksi minyak kita melorot terus, dari sekitar 1,5 juta barrel per hari pada tahun 1997 menjadi hanya 910.000 barrel per hari pada tahun 2007.
Karena tingkat konsumsi selalu naik, kita mengalami defisit yang bertambah besar.
Keadaan semakin memprihatinkan karena kapasitas pengilangan minyak tak kunjung bertambah sehingga defisit perdagangan BBM membubung. Pada tahun 2002, defisit perdagangan BBM baru 2 miliar dollar AS, lalu naik lebih dua kali lipat menjadi 4,2 miliar dollar AS, dan melonjak lebih tajam lagi menjadi 9,8 miliar dollar AS pada tahun 2007.
Sekadar gambaran, ekspor dan impor BBM tahun 2007 masing-masing 2,9 miliar dollar AS dan 12,7 miliar dollar AS. Maka, sebetulnya BBM yang kita ”hambur-hamburkan” itu makin banyak yang kita beli dari luar negeri.
Apakah pola konsumsi yang boros itu bisa ditoleransikan apabila kita dapat mukjizat mampu meningkatkan produksi, katakanlah, menjadi dua kali lipat, sehingga kembali menikmati surplus produksi dan menjadi mengekspor neto? Tentu saja, tidak. Karena, lebih baik sebagian besar peningkatan produksi kita jual pada harga internasional atau harga keekonomian, lantas dana yang kita peroleh puluhan triliun rupiah dialokasikan bagi pengentasan penduduk miskin dan belanja modal sehingga kita juga bisa mewariskannya kepada anak dan cucu.
Pengalokasian dana untuk kegiatan-kegiatan produktif dan peningkatan akumulasi modal jauh lebih bermakna ketimbang untuk mempertahankan subsidi yang kian menggelembung. Apatah lagi mengingat bahwa sebagian besar subsidi dinikmati oleh kelompok berpendapatan menengah ke atas. Data versi pemerintah menunjukkan bahwa 20 persen penduduk terkaya menikmati 43 persen subsidi, sedangkan kelompok 20 persen penduduk termiskin hanya memperoleh 7 persen saja.
Data dalam publikasi Bank Dunia terakhir lebih parah lagi: 10 persen terkaya menikmati sekitar 45 persen, sedangkan 10 persen termiskin hanya sekitar 1 persen saja.
Bukankah menaikkan harga BBM hanya akan menambah derita penduduk yang sudah miskin? Betul, jika pemerintah tak berbuat apa-apa terhadap mereka. Dilema yang muskil ini tak cuma dialami Indonesia. Di Kamboja, yang rata-rata penduduknya jauh lebih miskin dari Indonesia, harga premium 2,5 kali lebih mahal dari Indonesia. Di Timor Leste, yang ketika masih bergabung dengan Indonesia adalah provinsi termiskin, harga premium 1,8 kali dari Indonesia. Di kedua negara
ini, kenaikan harga minyak dunia tak memicu demonstrasi, apalagi chaos. Kenapa kita harus berbeda sendiri dan terbelenggu oleh BBM?
Keluar dari pusaran masalah
Kita harus keluar dari pusaran masalah. Selama 30 tahun kita jadikan persoalan harga BBM sebagai ”ritual tahunan”, yang ditandai dengan: sikap ragu pemerintah, demonstrasi, pembahasan alot di DPR, kelangkaan pasokan, oplosan, penyelundupan, dan ekses-ekses lain.
Setiap penguasa berusaha menghindari risiko menaikkan harga BBM dan sedapat mungkin mengalihkan risiko itu kepada penguasa berikutnya, kecuali kalau tak ada pilihan lain atau merupakan pilihan terakhir.
Penundaan demi penundaan menyebabkan ongkos bagi perekonomian bertambah mahal dan kontraproduktif. Karena, ketika sudah terjepit, penyesuaian harga harus dilakukan secara drastik sehingga perekonomian selalu ramai guncangan.
Tak pernah ada rencana yang dilaksanakan dengan konsisten untuk mengakhiri rezim subsidi BBM sehingga persoalan ini menjadi langgeng dan membelenggu diri kita sendiri. Apakah kita akan biarkan terus persoalan BBM menjadi duri di dalam daging perekonomian?
Kita sungguh sangat mendambakan kehadiran sosok negarawan yang mumpuni dalam memacu negeri ini untuk maju, bukan yang justru kerap menghambat kemajuan. Pemimpin yang mampu mengelola dan memobilisasikan seluruh sumber daya secara efektif bagi sebesar- besar kemakmuran rakyat. Pemerintahan yang senantiasa peka terhadap setiap ancaman yang menghadang rakyatnya serta menyiapkan dan mengoperasikan sekoci penyelamat apabila terjadi mara bahaya.
Inilah inti persoalan yang tak kunjung disentuh pemerintah. Sangat kuat kesan, daya dengus pemerintah tumpul dalam mengantisipasi persoalan. Segala upaya untuk mengamankan kebijakan menaikkan harga BBM terkesan serba dadakan. Dulu BLT, sekarang BLT.
Sementara, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sudah diundangkan tak kunjung dihidangkan untuk disantap oleh warga miskin yang terempas oleh mekanisme pasar bebas. Mengapa harus menunggu sampai batas akhir pemberlakuan efektif SJSN? Mengapa tak ada upaya mempercepat kehadirannya?
Kalau pengelolaan negara dengan cara seperti itu terus berlanjut, sebaik apa pun niatan dan tindakan pemerintah akan dipandang sebelah mata oleh rakyatnya.
Kalau sudah begitu, sumber masalah terletak pada pemerintah sendiri. Jangan berharap pemerintah mampu menolong rakyat jikalau menolong diri sendiri saja tak mampu.
Faisal Basri Pengamat Ekonomi
bukan terkesan pro pasar...tapi sudah menjadi agen kapitalis
BalasHapus