Meski harga minyak naik hingga US$ 100 per barrel, dengan harga BBM yang sekarang Indonesia akan tetap untung sebesar US$ 18 milyar atau rp 168 trilyun per tahun. Kenapa? Karena produksi minyak dalam negeri jauh lebih besar ketimbang impor. Berikut datanya.
Kebutuhan Dalam Negeri : 377,045,000 barrel/tahun
Produksi Dalam Negeri : 350,400,000 barrel/tahun
Ekspor: 234,000,000 barrel/tahun
Impor : 278,000,000 barrel/tahun
Harga minyak LN: 100 US$/barrel
Harga premium DN: 4,500 Rp/liter
Harga premium DN (dollar/barrel) : 78 US$/barrel
Biaya pengolahan minyak/brl : 15 US$/barrel
Catatan: 1 barrel = 159 liter, dan kurs 1 USD=Rp 9.200
Tabel Hasil Simulasi
Anda juga bisa mendownload file xls untuk mensimulasikan kenaikan harga minyak dengan merubah variabel harga minyak LN (warna kuning) dari 100 menjadi 80 atau 200 (terserah anda). Pada semua angka di atas Indonesia tetap untung. Bahkan pada harga US$ 200/barrel pun Indonesia tetap untung US$ 13,9 milyar (Rp 127 trilyun). Untuk mendownload klik:
http://www.mediafire.com/?4gtgahbae4j
Jika perhitungan di atas cukup rumit. Bisa download simulasi di mana ekspor dihilangkan dan perhitungan berdasarkan hari (bukan tahun). Jadi yang dipakai adalah produksi dalam negeri 1 juta bph (bisa dirubah sesuai update data terakhir), kebutuhan dalam negeri 1,2 juta bph (barrel per hari), dan impor 200 ribu bph.
http://www.mediafire.com/?4gdbwgez1gd
Jadi sikap pemerintah Indonesia yang mempertahankan harga minyak seperti sekarang meski ahli minyak seperti Kurtubi mengkritik cukup beralasan.
Referensi:
Kebutuhan Dalam Negeri : 377,045,000 barrel/tahun
BalasHapusProduksi Dalam Negeri : 350,400,000 barrel/tahun
Ekspor: 234,000,000 barrel/tahun
Impor : 278,000,000 barrel/tahun
Kalau boleh tahu data dari mana ???????
Bung Nizami, saya cukup terkesan dengan tulisan Anda... namun saya masih memerlukan beberapa penjelasan:
BalasHapus1. Kebutuhan minyak, apakah kebutuhan minyak mentah atau sulingan (bensin, solar, dsb.)?
2. Biaya, apakah biaya pengolahan dari minyak mentah sampai barang jadi atau sampai ke tingkat distribusinya?
3. Adakah komparasi biaya di Indonesia dengan biaya di negara lain?
4. Terakhir, Anda dapat datanya dari mana?
Saya juga pernah membaca tulisan Kwik Kian Gie dengan topik yang sama pada saat kenaikan BBM tahun 2005.
Terima kasih
Terimakasih pak Gonang atas pertanyaannya.
BalasHapusBiasanya kutipan artikel selalu saya sertakan berikut link. Di beberapa milis saya sudah kutip tapi kali ini saya lupa. Padahal data tanpa sumber tidak ada artinya.
Data di atas dari berbagai kompilasi:
http://www.freelists.org/archives/nasional_list/10-2005/msg00551.html
===
Angka:
Ekspor: 234,000,000 barrel/tahun
Impor : 278,000,000 barrel/tahun
Didapat dari:
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0502/24/sh01.html
Soal Kenaikan Harga BBM
DPR Tolak Bertanggung Jawab
Di tingkat makro, sumber SH menyatakan, pada tahun 2004, Indonesia sebenarnya sudah menjadi negara pengimpor minyak. Ini dibuktikan dengan jumlah ekspor minyak Indonesia sebesar 234 juta barel sementara impornya (minyak mentah dan BBM) sebanyak 278 juta barel.
===
Angka:
Kebutuhan Dalam Negeri : 377,045,000 barrel/tahun (1.033.000 bph)
Produksi Dalam Negeri : 350,400,000 barrel/tahun (960 ribu bph)
Akan saya google lagi sumbernya. Tapi harap diingat. Angka2 tsb sangat fluktuatif dari tahun ke tahun. Sebagai contoh produksi dalam negeri berubah2 dari 1,3 juta bph, 1,1 juta bph, hingga terakhir 977 ribu bph.
Maklum ini sambil kerja jadi tak bisa cepat...:)
Ini tambahan angka produksi. Beda karena sumbernya lain dengan tanggal beda (1,1 juta bph / 401 juta barrel/tahun):
===
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0401/27/ekonomi/821924.htm
Cadangan minyak nasional yang ada saat ini diperkirakan mencapai 9 miliar barrel dengan tingkat produksi 1,1 juta barrel per hari.
===
Untuk minyak itu setahu saya sudah mencakup segala jenis minyak. Ada pun untuk komponen biaya proses minyak (dari pemompaan hingga jadi bensin di pom bensin) saya dapat justru dari sumber di luar negeri. Kelihatannya Indonesia tidak transparan soal ini.
Salam
BalasHapusIntinya pemerintah ga jujur kali ya :) Jadi kenapa mesti dinaikan ya kalau perhitungan harga sekarang pada kenyataannya sudah untung, dan untuk kepentingan siapa keuntungan ini sementara rakyat makin sulit??. Triams sekali informasinya Pa, btw salam kenal
Padahal di media malah heboh soal konsumsi BBM Indonesia yang KATANYA lebih besar dari produksi dalam negeri. Itu bagaimana pak? Lalu secara penghitungan, berarti BBM tidak perlu naik begitu?
BalasHapusintinya biar makin kenceng korupsinya. sekarang kita bisa mengekspor minyak 234 juta barel, kenapa minyak tersebut tidak kita gunakan untuk rakyat sendiri. inikan menjadi tanda tanya besar ???????????
BalasHapusterima kasih infonya......
BalasHapushal yang aneh bagi indonesia yang punya banyak minyak mentah tapi melarat karna kekurangan minyak. itulah salah satu kesalahan SBY, melakukan ekspor minyak mentah tanpa memperhatikan kebutuhan negara dan kerugian yang harus di tanggung sebagai konsekuensi ekspor minyak.
BalasHapusYang kedua, pemerintah tidak mengembangkan teknologi untuk menciptakan sumber energi alternatif.
..impor makin banyak...karena kebutuhan makin besar gara2 harganya terlalu murah ( ingat : subsidi, ingat ya, bener lho.. sub-si-di ).. disuruh hemat, malah demo.. kayak UAN itu lho, gara2 takut gak lulus ujian, malah demo ujiannya minta dihapus..
BalasHapuskalo menurut gwa sih, kekurangan negeri kita ( kita, ya kita.. ), dalam hal per- BBM an ini, adalah EFISIENSI dan EFEKTIFITAS.... terlalu banyak "alur" dalam urusan sejak produksi maupun hal ekspor-impor minyak itu.. bener2 cape deh..
minyak.....!!!
BalasHapusteriakan tukang minyak keliling yang dulu terdengar nyaring di depan kos, kini tak lagi terdengar, sekarang mereka ngapain ya? terus kalo harga minyak terus naik, berapa lagi ya 'tukang minyak2' yang beralih kerja...yah mudah2an mereka bisa bekerja yang laen..amin
Karena itulah saya memuat berbagai artikel seperti perbandingan harga minyak dan juga presentasi "Tidak Ada Subsidi BBM" karena adanya disinformasi sehingga banyak orang tertipu dan tanpa sadar ikut menipu orang lain.
BalasHapusDari informasi di sini didapat bahwa kita impor karena pemerintah mengekspor minyak 500 ribu barrel/hari ke luar negeri (separuh produksi minyak Indonesia). Kalau pemerintah tidak mengekspor, niscaya impor tidak akan besar.
Harga minyak kita juga tidak murah2 amat. Di Venezuela harganya hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, di Mesir Rp 2.300/liter, dan di Malaysia Rp 4.876/liter. Rata-rata pendapatan per kapita di negara-negara tersebut lebih tinggi dari kita. Sebagai contoh Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita.
Indonesia itu konsumsinya sudah sangat rendah. Pemerintah selalu menganggap rakyat Indonesia boros BBM. Berbagai iklan di televisi selalu menyuruh rakyat hemat. Kenyatannya pemakaian BBM di Indonesia menempati urutan 116 di bawah negara Afrika seperti Namibia dan Botswana.
Justru pejabat yang tiap bepergian pakai voor rijders (pengiring) sampai 10 kendaraan lebih dan menyalakan sampai 20 AC itu yang boros.
Indonesia bisa hemat kalau pabrik2 dan kantor2 ditutup karena bangkrut.
Walah datanya koq rada rancu ya...
BalasHapusProduksi dalam negeri 950.000 Barrel per hari...
Konsumsi BBM dalam negeru 1.200.000 Barrel per hari.... artinya devisit 350.000 Barrel
Begitu yang saya dengar dari Pertamini.
Para spekulan dunia sedang bermain lewat minyak, korban nya tentu negara2 lemah ekonominya seperti Indonesia, diantara pilihan yang sulit, kita berharap SBY tidak menaikkan harga minyak sampai tahun 2009, semoga
BalasHapusDari situ tertulis :
BalasHapusEkspor: 234,000,000 barrel/tahun
Impor : 278,000,000 barrel/tahun
Lah kita kan menganut PSC - Production Sharing Contract. Artinya ada share minyak yang diambil oleh kontraktor. Mudahnya kita menganut 85-15 atau ada juga yang 70-30. Dimana itu diambil dari keuntungan “bersih” sehingga actual split bisa jadi 20-80 dimana Indonesia hanya dapat keuntungan 20% dari total keuntungan karena dipotong COST. Katakanlah harga jual 100USD/barel dan cost hanya 30$/bbl, maka yang displit hanya 70% saja.
Kalau produksinya 100 barrel, costnya setara 30 barrel, maka yang di split 70 barrel. Kalau splitnya 85-15, yang menjadi hak pemerintah adalah 59.5 Barrel saja !!! Atau sakjane kita (pemerintah) hanya terima sekitar 60% saja dari smua minyak yang diproduksi !! Nah itu kalau costnya segitu, lah kalau costnya membengkak tentunya splitnya menjadi semakin kecil untuk negara (host country)?
Itulah sebabnya "Cost Recovery" juga harus dipikirin, dan selalu menjadi momok bagi siapa saja yang "memegang" permigasan di Indonesia.
Jadi itungannya kudu direvisi tuh !
Kalau kebijakan keliru, ya kita harus koreksi. Bukan ikut-ikutan keliru. Ibaratnya kalau ada sopir nyasar harus diberitahu yang sebenarnya. Bukan ikut-ikutan tersasar.
BalasHapusDengan asumsi kebutuhan minyak 1,2 juta bph, produksi 1 juta bph, dan impor 0,2 juta bph dan biaya produksi BBM US$ 15/barrel dan jual Rp 4.500/liter (US$ 78 ) memang pemerintah untung Rp 165 trilyun. Kalau rugi, berarti itu adalah salah urus yang harus diperbaiki.
Biaya pengolahan BBM sebesar US$ 15/barel yang saya pakai sudah cukup tinggi mengingat Kwik Kian Gie menghitung hanya US$ 10/barrel sementara Ihsanuddin Noorsy US$ 2-12/barrel.
Jadi kalau Indonesia harus mendapat 70:30 setelah dipotong "Cost Recovery" yang besarnya mencapai lebih dari US$ 5,5 milyar (Rp 50 trilyun) berarti kebijakan keliru tersebut harus dikoreksi.
Negara Barat sudah mengolah minyak dari tahun 1800-an, di Indonesia banyak ahli minyak dari ITB, Trisakti hingga level Doktor, serta mayoritas karyawan di perusahaan asing juga orang Indonesia. Jadi sudah saatnya penjajahan ekonomi oleh Neo Kompeni macam Chevron, Exxon, dsb dihentikan.
Pada harga Premium Rp 4.500/liter saja Indonesia dengan bagi hasil 70:30 harus merelakan Rp 78 trilyun lebih untuk perusahaan2 asing. Ditambah dengan "Cost Recovery" akhirnya Rp 128 trilyun lebih jatuh ke tangan asing. Mendingan uang itu untuk rakyat Indonesia yang miskin.
http://www.mail-archive.com/ekonomi-nasional@yahoogroups.com/msg06637.html
Kompas, Rabu, 24 Januari 2007
Cost Recovery Digelembungkan
Didi mengatakan praktek penggelembungan cost recovery tersebut menjadi salah
satu penyebab tingginya biaya produksi minyak di Indonesia. "Biaya produksi
minyak Indonesia per barrel mencapai 9 dollar AS per barrel. Bandingkan
dengan di Malaysia yang hanya sekitar 3,7 dollar AS per barrel, atau di North Sea yang paling sulit pun juga hanya sekitar 3 dollar AS per barrel,"
papar Didi.
Padahal, apabila biaya produksi minyak bisa diturunkan 1 dollar AS per
barrel, sektor migas bisa menghemat 2,5 miliar dollar AS per tahun. Diakui
Didi, pihaknya hanya bisa menyampaikan temuan ke BP Migas. Meskipun begitu,
ia menjanjikan akan merekomendasikan proses ke pengadilan jika terbukti ada
penggelembungan.
Sementara Kepala BP Migas Kardaya Warnika menilai perbandingan cost recovery
yang dilakukan BPKP tidak sebanding. "Kalau mau membandingkan, harus apple
to apple, produksi dengan produksi," kata Kardaya.
Menurutnya, biaya produksi minyak di Indonesia justru lebih murah. Biaya
produksi di lapangan Chevron Pacific Indonesia hanya sekitar 1 dollar AS per
barrel. (DOT)
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0603/24/ekonomi/2536799.htm
Demikian hasil pengkajian peneliti LP3ES Pri Agung Rakhmanto yang dipaparkan di Jakarta, Kamis (23/3). Pada tahun 2002 cost recovery yang ditanggung pemerintah sebesar 3,418 miliar dollar AS, tahun 2003 naik menjadi 5,305 miliar dollar AS, dan tahun 2004 menjadi 5,558 miliar dollar AS. Adapun produksi minyak nasional tahun 2002 sebesar 1,252 juta barrel per hari, tahun 2003 turun menjadi 1,147 juta barrel per hari, dan tahun 2004 semakin turun dan tinggal 1,094 juta barrel per hari.
pak bos , kalau perusahaan minyak di nasionalisi, kita rakyat biasa untung, rugi atau sama saja bos takutnya makin susah(kalau pengusaha pasti untung.
BalasHapusSepertinya minyak mentah/Crude Oil Indonesia tidak bisa dipakai untuk spek kilang yang ada di Indonesia, makanya mereka harus import Crude Oil dan crude oil indonesia di ekspor keluar.
BalasHapus[...] Indonesia yang diasuh oleh Agus Nizami memberikan perhitungan yang serupa. Tabel simulasi yang diberikan berkesimpulan bahwa berapa pun harga minyak dunia, pemerintah akan untung. Data [...]
BalasHapusTelinga penyelenggara negara ini sudah tertutup rapat, dengan demo saja sulit memperoleh tanggapan, apalagi dengan presentasi melalui internet/ blog rasanya jauh dari sasaran. Kita cuma bisa ngedumeldan ngomel sendiiri .... tak apalah, semoga....
BalasHapusklo ngga salah, pa Kwik juga mengungkapkan perhitungan yang serupa,tapi kok pas jamannya Pa Kwik jadi menteri Bapenas, hal ini ngga diterapkan dan saat itu terjadi juga kenaikan harga BBM dengan dalih harga minyak dunia yang meningkat...
BalasHapusbuat A Schu ::
BalasHapusItulah hebatnya birokrat/politisi negara kita. Ngomong kerasnya pada saat tidak menjabat, tetapi pada saat menjabat ternyata SAMA SAJA!
Sekarang pan lagi rame tuh, Mega, Gusdur, dll mengkritik sana/sini... tetapi dulu pada saat menjabat juga "sepertinya" tak ada bedanya(?)
Saya tidak pro SBY, tetapi lebih setuju harga BBM naik (supaya tidak diselundupkan ke LN), TETAPI dengan catatan pemerintah juga harus mengimbangi dengan penghasilan yang memadai untuk rakyat ALIAS tersedianya lapangan pekerjaan yang layak dan banyak.
Harga barang (termasuk BBM) mahal tidak apa² ASAL terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Atau dengan kata lain, pendapatan masing² rakyat juga besar.
Pak, itu perhitungannya musti dikurangi lagi buat jatah perusahaan asing. Kalo cuma gitu doang kok rasanya data anda gak valid.
BalasHapusGa ada yang valid datanya.
BalasHapusItu adalah rumus tabel simulasi.
BalasHapusAngkanya bisa anda rubah-rubah sendiri sesuai data terkini.
Memang sih ada yang bilang jatah pemerintah:kps 60:40 hingga akhirnya rugi.
Tapi kok bisa ya untuk kontraktor sampai 40% sehingga kalau sehari 400 ribu barrel maka setahun dengan harga minyak US$ 100/barrel saja kontraktor asing dapat Rp 134 trilyun lebih. Kalau biaya bikin satu perusahaan minyak rp 30 trilyun, berarti pemerintah bisa buat 4 perusahaan lebih.
Bisa juga uang itu untuk bayar hutang. Padahal ketua BP Migas (Kompas, Rabu, 24 Januari 2007) bilang ongkos memompa minyak dari bumi ke atas tanah hanya US$ 1/barrel atau kalau cuma 365 juta barrel/tahun harusnya mereka cuma dapat US$ 365 juta (rp 3,3 trilyun) saja. Ada selisih Rp 130 trilyun lebih / tahun yang harusnya bisa dipakai mensejahterakan rakyat Indonesia.
sekalipun saya tidak punya data empiris untuk menghitung harga jual yang pantas untuk BBM di indonesia, saya amat yakin kalau minyak itu memang harus dijual dengan harga lebih tinggi (artinya saya pro kenaikan harga jual BBM), cuma seberapa tepatnya harga jual BBM itu perlu kalkulasi matang dengan banyak komponen. simulasi yang sekarang lagi boom beredar di berbagai milis terlalu prematur untuk mendorong pada kesimpulan bahwa harga BBM tidak seharusnya naik.
BalasHapuskenapa di malaysia, di nigeria,apalagi di iran atau srab saudi harga jual BBM murah ? setahu saya disana pemerintahnya mensubsidi harga jual ( artinya harga jual adalah dibawah biaya produksi), dan itu bisa mereka lakukan karena mereka memproduksi minyak dalam jumlah sangat besar dan mendapat keuntungan sangat besar dari ekspor minyak. keuntungan dari ekspor itu yang digunakan untuk mensubsidi harga jual di dalam negeri.
kenapa pemegang KPS bisa dapat share besar dari produksi minyak dari bumi indonesia ? itulah bisnis, mereka mampu dan kita tidak mampu menyedot minyak sehingga mereka punya posisi tawar besar ketika membuat kontrak. sekalipun tidak pula menghalangi kecurigaan kita bahwa sebagian dari kontrak KPS itu dibuat dengan semangat korupsi di masa lalu. kenapa kita terus sibuk menyalahkan masa lalu ? kalau memang ada kesempatan saat ini untuk memperbaiki kesalahan masa lalu itu, mulailah berusaha. bukan terus sibuk bertengkar dan menyebutkan dan mencari kesalahan masa lalu yang sudah terjadi.
Mantaps!!!!! salut untuk upaya pengumpulan datanya serta simulasinya... kalo gw liat, emang sih ada beberapa bagian data yang harus dikoreksi. Tapi, secara global, tulisan ini cukup valid dan bisa diterima secara ilmiah dan akal sehat.
BalasHapusSedih gw liat banyaknya orang Indonesia yang kemakan gitu aja ama cuci otak pemerintah yang selalu menyebutkan bahwa defisit minyak berarti indonesia rugi. Nyatanya, dari selisih ekspor-impor aja kita sebenernya udah dapet untung tanpa perlu naekin harga... Belum lagi kalo pemerintah bisa nge-cut "pengeluaran gak jelas" ama oknum2 yang bermain disana...
Lebih luar biasa lagi kalo pemerintah bisa nge-negosiasi ulang KPS dengan perusahaan2 asing. Gak perlu terlalu brutal kayak Venezuela, gw rasa udah sangat luar biasa hasilnya...
SBY oh SBY....
Kalau soal itung-itungan untung-rugi kayaknya kita nggak rugi tapi juga nggak untung banyak. Makanya zaman Mbah Harto dulu selalu gembar-gembor "kita harus meningkatken ekspor daripada sektor non-migas".
BalasHapusIni adalah gejala bahwa migas kita sudah lebih banyak dikonsumsi sendiri dan keuntungan daripada negara mangkin menipis. Kalau kita ekspor itu karena sudah ketentuan dari OPEC yang mewajibkan negara anggotanya untuk meng-ekspornya. Jadi dikonsumsi sendiri saja kurang, kita masih harus ekspor dan kekurangannya kita impor lagi lebih banyak dan lebih mahal. Saya sendiri setuju dengan kenaikan harga BBM terbukti dengan surutnya penyelundupan BBM keluar negeri. Saya tidak tahu itu karena yang menyelundupkan makin pinter atau penyelundupan itu sudah tidak menguntungkan lagi. Hanya saja untuk solar lebih baik jangan dinaikkan karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Angkutan massal, nelayan, petani dan industri.
sepertinya terlalu sederhana deh.
BalasHapusdulu saya hitung juga dengan data yang lebih detail. tapi hasilnya Indonesia ga mungkin seuntung itu.. :(
Hitung2an saya dulu :
http://dimasu.wordpress.com/2008/05/13/hitung-hitung-harga-bbm/
sekedar sharing saja tanpa maksud menghasut..