Rabu, 25 Juni 2008

Artalyta - Kasus Penyuapan Jaksa dan Mafia Peradilan

Di bawah adalah artikel-artikel yang memuat berbagai kasus tentang Mafia Peradilan. Terdakwa bisa membayar sejumlah uang ke oknum polisi atau kejaksaan untuk keringanan hukuman.



Di Majalah Trust disebutkan bagaimana para jaksa hidup dengan mewah meski penghasilannya biasa-biasa saja. Pelataran Parkir Mabes Polri juga dipenuhi mobil mewah. Ada juga pengakuan seorang pengacara sebagai berikut:



Nyanyian lain tentang kemaruknya jaksa datang dari seorang pengacara. Katanya, untuk bisa negosiasi dengan jaksa, paling tidak harus menyiapkan dana Rp 500 juta.


Pembagian duitnya pun bervariasi sesuai kepangkatan. Kajati, misalnya, mendapat Rp 250 juta. Pejabat setingkat Asisten Jaksa Tinggi mendapat Rp 125 juta. Lalu, sisanya diberikan kepada jaksa cere yang mondar-mandir di pengadilan. “Kami membayar setelah putusan diketuk dan biasanya di Hotel Sahid dan Hotel Kartika Chandra,” tutur si pengacara.



Di Kompas ditulis cuplikan transkrip percakapan antara seorang jaksa dengan terdakwa. Jaksa tersebut mengatakan bahwa dia akan dicopot sambil tertawa ringan. Sepertinya dia tidak merasa takut sama sekali. Memang banyak aparat hukum yang dicopot dari jabatannya ketika melakukan pelanggaran hukum. Tapi setahun dua tahun kemudian kembali menduduki jabatan lagi. Oleh karena itu pencopotan jabatan bukanlah sesuatu hal yang harus ditakuti.



Harusnya jika ada Jaksa yang korup, bukan sekedar dicopot dari jabatannya. Tapi harta hasil korupsi harus disita. Dia harus dipecat dan diseret ke pengadilan untuk dihukum sebesar-besarnya. Ini agar timbul efek jera.



Andrinof A Chaniago dari CIRUS dalam makalahnya tentang “Reformasi Institusi Kejaksaan dan Kepolisian” mengungkap berbagai kasus suap terhadap polisi dan kejaksaan.


http://cirus.or.id/2008/06/19/membaca-arah-reformasi-institusi-kejaksaan-dan-kepolisian/#more-11



Sebagai aparat hukum, para polisi, jaksa, dan hakim seolah-olah bukan sekedar penegak hukum. Tapi memiliki hukum. Sehingga timbul kasus “jual-beli” hukum.



Pemerintah telah membentuk Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dsb namun gagal membersihkan lembaga tersebut. Untuk itu pemerintah perlu membentuk Lembaga yang tingkatnya di atas Jaksa Agung, Kapolri, dan Ketua MA, sehingga jika kesalahan melibatkan pejabat tertinggi, maka lembaga ini tetap mampu bertindak tegas. Jika masih di bawah, maka akan kembali lunglai. Tidak bergigi. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) semoga bisa bertindak seperti itu.



Berbagai pejabat tinggi yang ditaruh di posisi puncak seperti Baharuddin Lopa, Abdul Rahman Saleh, dan terakhir Hendarman Supandji tidak mampu membersihkan Kejaksaan Agung dari jaksa-jaksa yang korup. Untuk itu perlu direkrut orang-orang dari luar yang menguasai manajemen dan tahu mengenai masalah hukum. Bukan cuma ditaruh di posisi puncak sebagai Jaksa Agung, tapi di level bawahnya seperti Jaksa Agung Muda juga harus ditaruh orang luar yang benar-benar bersih. Mereka inilah yang mengatur para jaksa di bawahnya dan membersihkan jaksa-jaksa yang kotor. Di lembaga hukum lainnya seperti Polri dan MA hal ini juga harus diterapkan.



Semoga Lembaga-lembaga hukum kita bisa menjadi bersih sehingga benar-benar bisa menegakkan hukum dengan adil.


Lihat Rekaman KPK, Artalyta Tak Berkutik



Kompas.com, Senin, 2 Juni 2008


Laporan wartawan Persda Network, Yuli Sulistyawan


JAKARTA, SENIN - Artalyta Suryani alias Ayin tak bisa berkutik menghadapi jaksa KPK. Ayin hanya tertunduk lesu ketika jaksa KPK memperlihatkan gambar rekaman dan suara hasil penyadapan telepon Ayin dengan jaksa Urip sebelum transaksi suap sebesar 660.000 dolar AS.



Setidaknya, ada tiga potongan rekaman video yang memperlihatkan Ayin mendatangi Gedung Bundar tempat jaksa Urip berkantor, Ayin melakukan pertemuan dengan Urip di Hotel Milenium, Jakarta, dan gambar penangkapan Urip di depan rumah Artalyta di Jl Terusan Hang Lekir Blok WG nomor 9, Simprug, Jaksel.



KPK juga memutar enam hasil penyadapan yang dilakukan antara Ayin dengan Urip, dan percakapan antara Ayin dengan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Untung Udjie Santoso.



Di rekaman gambar pertemuan antara Urip dengan Ayin di Hotel Milenium pada 19 Desember, wajah Artalyta terlihat jelas. Sedangkan Urip, terlihat dari belakang. "Benar, laki-laki yang menghadap ke AS (Artalyta) adalah Urip," tegas Juliawan saat ditanya hakim ketua Mansyurdin Chaniago di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/6).



Dari enam percakapan melalui telepon yang disadap KPK, terungkap Ayin Memberikan uang untuk Urip agar penyelidikan yang dilakukan Kejagung terhadap Bank BDNI milik Sjamsul Nursalim hasilnya tidak memberatkan Sjamsul Nursalim.



Pada percakapan yang disadap KPK tanggal 27 Februari 2008, terungkap Urip menjelaskan kepada Ayin bahwa hasil penyeldikan BLBI tidak akan diketemukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan Sjamsul Nursalim.



"Nanti gini lho bunyinya, setelah dilakukan penyelidikan selama ini, nanti tidak ditemukan melawan hukum. Bahwa ini sesuai peraturan ini itu, kemudian telah dihitung appraisal, dan itu benar semua," ujar Urip.



Mendengar penjelasan Urip, Artalyta mengatakan dirinya sudah siap, "Saya tinggal tunggu waktu," tegas Ayin. Mendapatkan jawaban Ayin, Urip meminta supaya ditambahkan bonus dari janji uang sebesar 660.000 dolar AS. "Sesuai yang aku bilang kemarin, bonusnya ya. Tambahin ya," tegas Urip.



Namun Ayin mengatakan, bahwa 660.000 telah disetujui Istri Sjamsul Nursalim. "Aku dan commit dan itu telah disetuji Ibu (Itjhih Nursalim), jumlahnya sesuai yang diawal," ujar Ayin. Namun Urip menimpali lagi, "Tambahin dikit ya,".



Ayin yang ditanya hakim apakah suara tersebut adalah suaranya, Ayin membenarkan. "Iya pak," ujar Ayin dengan tertunduk.


http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/02/1732374/lihat.rekaman.kpk.artalyta.tak.berkutik.



Artalyta Tersenyum Dengar Rekaman Suapnya


THE JAKARTA POST/RICKY YUDHISTIRA


Senin, 2 Juni 2008 | 15:56 WIB



JAKARTA, SENIN - Bukti-bukti yang dihadirkan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, terutama bukti rekaman telepon, membuat terdakwa kasus dugaan suap jaksa Kejaksaan Agung, Artalyta Suryani, tak bisa berkata-kata. Artalyta alias Ayin hanya mampu tersenyum saat mendengarkan bukti rekaman tersebut.



Sebab, dalam rekaman itu Ayin terbukti melakukan dan merencanakan transaksi suap agar penyelidikan kasus BLBI dihentikan oleh Kejagung. Dia juga terbukti sering melakukan percakapan dengan Untung Puji Santoso yang saat itu menjabat sebagai jaksa muda perdata umum Kejagung.



Dalam rekaman itu, Artalyta (A) sering berkonsultasi dengan Untung (U), seperti dalam kutipan percakapan berikut ini:



U: Urip? Yo ndak mungkin Urip bisa.


A: 0813...


U: Siapa?


A: Urip. Soalnya sekarang orangnya ada di depan.


U: Siapa?


A: Orang KPK. 0813...


U: Sopo?


A: Urip.


U: Yo ndak mungkin bisa. Kau kasih berapa?


A: 6


U: 6?


A: 660.000.


U: Berarti sekitar Rp4 miliar?


A: Rp6 M


U: 6 M!? Lailahaillah!



Percakapan antara keduanya juga terekam saat Urip tertangkap oleh tim KPK.


A: Mas, ini aku, Ayin. Tapi sudah pake nomor lain. Aman. Ketangkep KPK mas.


U: Urip?


A: Ho'oh.


U: Di mana?


A: Kan dia mau eksekusi itu kan.


U: Eksekusi apa?


A: Ya itu, biasa tanda terima itu?


U: Masalah apa? Perkara apa?


A: Ya sebenernya enggak ada perkara apa-apa. Itu lho Urip kita! Nah, sekarang telepon dulu Antasari (ketua KPK.red). Bagaimana cara ngamaninnya itu.


U: Ntar aku telepon Ferry (direktur penuntutan KPK.red).


A: Ferry udah, aku suruh Joko. Antasari mas, si Ferry udah. Duitnya dari aku.


U: Lho, enggak ada kaitannya kok. Kan belum gratifikasi. Belum 1 bulan kok. Gitu lho caranya.


Baca artikel selengkapnya di:


http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/02/15564690/artalyta.tersenyum.dengar.rekaman.suapnya



Sumber: Kompas - Kamis, 12 Juni 2008


Artalyta Juga "Berkoordinasi" dengan Kemas dan Urip



Majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor yang mengadili terdakwa Artalyta Suryani dalam kasus dugaan penyuapan terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI, Rabu (11/6), meminta jaksa penuntut umum memperdengarkan rekaman pembicaraan antara terdakwa dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (saat itu) Kemas Yahya Rahman.



Percakapan Kemas dengan Artalyta terjadi pada 1 Maret 2008 pukul 13.00, sehari sebelum jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Percakapan itu juga sehari setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan penghentian penyelidikan perkara BLBI yang ditangani Kejagung pada 29 Februari 2008.



Berikut percakapan Kemas Yahya Rahman dan Artalyta.



Artalyta (A): Halo


Kemas (K): Halo


A: Yah, siap.


K, sambil tertawa: Sudah dengar pernyataan saya kan?


A: Good, very good.


K: Jadi, tugas saya sudah selesai kan?


A: Siap, tinggal....


K: Sudah jelas kan, itu gamblang. Sekarang tidak ada permasalahan lagi.


A: Bagus itu.


K: Tetapi saya dicaci maki. Sudah baca Rakyat Merdeka?


A: Aaah, Rakyat Merdeka gak usah dibaca.


K: Saya disebut mau dicopot. Ha-ha-ha.... Jadi gitu ya.


Baca artikel selengkapnya di:


http://www.transparansi.or.id/?pilih=lihatberita&id=5568



Pak Jaksa Bergaya 'WAH'


Tak Beda dengan Bosnya, Jaksa Agung, sejumlah jaksa hidup bak kaum jetset.



SEKILAS, bila menyimak penampilannya, orang-orang tak bakalan tahu kalau ia seorang jaksa. Gayanya lebih mirip pengusaha kelas kakap ketimbang seorang pegawai negeri sipil eselon IIA. Bajunya bermerek, lengkap dengan arloji Rolex di tangannya. Koleksinya yang lain pun tak kalah mentereng, mulai dari sejumlah mobil mewah—Mercy dan BMW seri terbaru—hingga beberapa rumah dan tanah. ”Ah, saya sih belum seberapa. Banyak kok jaksa yang lebih kaya,” ujarnya kepada TRUST.



Si jaksa itu mengaku memiliki dua rumah gedung di Surabaya dan Yogyakarta, serta lima kaveling tanah di berbagai kota. Ia mendapatkannya ketika menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Jaksa lain yang pernah menjabat Kajari Surabaya juga mengamini pengakuan koleganya itu.



Malah, kata jaksa yang kini sudah pensiun tersebut, ketika menjabat di Kejaksaan Agung, ia sering diperintah bosnya untuk membagikan uang kepada wartawan dan kolega si bos. ”Saya tidak tahu persis dari mana ia mendapatkan uang. Yang jelas, brankas uangnya itu selalu penuh dan tak pernah kosong,” kata mantan jaksa yang enggan disebut namanya itu.



Pengakuan Pak Jaksa yang kelewat berani itu rasanya bukan isapan jempol belaka. Lihat saja harta milik Jaksa Agung M.A. Rachman. Berdasarkan laporan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pekan lalu, M.A. Rachman memiliki deposito sekitar Rp 811 juta, yang terdiri dari Rp 545,6 juta dan US$ 26.600. Selain itu, ia juga mengoleksi enam rumah, yakni satu di Surabaya, satu di Sidoarjo, dua di Sumenep (Madura), dan dua di Bekasi. Itu pun belum termasuk rumah di Cinere (Depok) yang tidak dicantumkannya.



Hebatnya lagi, ketika menikahkan putrinya, tempo hari, kabarnya M.A. Rachman menghabiskan duit sampai Rp 500 juta. Tidak heran bila Presiden Megawati di Istana, menurut sumber TRUST, sempat marah mendengar hajatan megah si Jaksa Agung. Sebagai contoh, demi acara itu, ia sampai memesan beberapa kamar di Hotel Borobudur yang tarifnya per malam jutaan rupiah. ”Kok perlu bermewah-mewah?” tukas Presiden Megawati. Kritik itu ia lontarkan secara terbuka.



Akibat kemarahan Presiden itu, Mentamben Purnomo Yusgiantoro yang kebetulan hendak menikahkan anaknya tak lama setelah Jaksa Agung mantu, terpaksa mengurungkan niatnya untuk menggelar pesta. Ia memilih merayakannya dengan cara yang sangat bersahaja di gereja.



Gaya hidup bak kaum jetset yang dipertontonkan para jaksa tentu saja membuat banyak orang curiga. Sebab, jika menilik gaji mereka, meskipun eselon I, mustahil mereka bisa sekaya itu, kecuali bila mendapat harta karun. Menurut Soeparman, mantan Plh. Jaksa Agung, gaji bersih seorang Jaksa Agung tak lebih dari Rp 18 juta per bulan. Sementara untuk level Jaksa Agung Muda (JAM) sekitar Rp 8 juta, sedangkan eselon II sekitar Rp 5 juta.



Barman Zahir yang menjabat Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, mengaku hanya mendapat Rp 4,1 juta sebulan. Itu pun sudah termasuk tunjangan fungsional, beras, dan keluarga. ”Tapi harap dicatat, gaji itu saya dapat setelah kerja 34 tahun di kejaksaan,” ucap Barman dengan nada keras. Jumlah tunjangan itu bervariasi, mulai dari Rp 600 ribu hingga Rp 2,5 juta.



ORDER PERKARA SAMPAI MINTA PROYEK


Lalu, dari mana para jaksa yang kaya raya itu mendapat limpahan harta yang begitu besar? ”Jaksa kan punya jaringan. Banyak pengusaha yang sering memberi uang terima kasih,” tutur jaksa perlente tadi.



Nah, tentang daerah basah, ia menunjuk Surabaya dan Medan sebagai tanah impian jaksa. ”Sogokannya tak kalah dahsyat dengan di Jakarta,” ujarnya. Uniknya, M.A. Rachman juga pernah menikmati indahnya dua daerah itu. ”Makanya perutnya buncit, kantongnya tebal,” ucap jaksa itu dengan ketus.



Seorang jaksa lain yang masih aktif kemudian mengungkapkan pengalamannya selama bertugas di Kalimantan. Sebagai pimpinan di Kejaksaan Tinggi (Kejati), otomatis ia bisa berhubungan dengan sejumlah penggede daerah itu, mulai dari anggota Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) sampai pengusaha-pengusaha kakap. Nah, berkat hubungan baik itulah ia sering mendapat uang tambahan, terutama sumbangan dari para pengusaha yang menjadi kolega mereka. ”Hampir semua pejabat kejaksaan menerima uang siluman itu. Dari Muspida saja, yang notabene duit legal karena ada dalam APBD, saya terima Rp 2,5 juta sebulan,” kata jaksa yang juga enggan disebut namanya itu.



Jumlah sumbangan yang diterima jaksa bervariasi, tergantung jabatannya. Sekadar ilustrasi, sebagai orang nomor dua di Kejati, ia mendapat setoran Rp 6 juta per bulan dari bandar togel. Sementara pimpinannya mendapat Rp 20 juta. ”Tapi polisi malah lebih besar lagi, bisa Rp 100 juta,” ujarnya setengah membela diri. Jumlah itu hanya dari satu pengusaha, belum dari pengusaha lain yang mendapat proyek lewat kolusi jaksa dengan Muspida.



Nyanyian lain tentang kemaruknya jaksa datang dari seorang pengacara. Katanya, untuk bisa negosiasi dengan jaksa, paling tidak harus menyiapkan dana Rp 500 juta. “Ada yang minta mateng berupa barang seperti rumah atau jam tangan, misalnya Rolex. Tapi ada juga yang minta duit,” ungkapnya.



Pembagian duitnya pun bervariasi sesuai kepangkatan. Kajati, misalnya, mendapat Rp 250 juta. Pejabat setingkat Asisten Jaksa Tinggi mendapat Rp 125 juta. Lalu, sisanya diberikan kepada jaksa cere yang mondar-mandir di pengadilan. “Kami membayar setelah putusan diketuk dan biasanya di Hotel Sahid dan Hotel Kartika Chandra,” tutur si pengacara.



BOBROK DI DALAM


Melimpahnya harta di kalangan jaksa itu bukan berarti membuat pihak kejaksaan tutup mata. Malah, menurut Barman, sampai Juli 2002, pihak kejaksaan telah menjatuhkan hukuman disiplin kepada 155 orang, 44 orang di antaranya adalah jaksa. “Dari 44 jaksa itu, 21 orang dikenai hukuman ringan berupa teguran, 18 orang ditunda kenaikan pangkatnya, dan lima jaksa yang kena hukuman berat dipecat,” kata Barman.



Menurut sumber di Kejaksaan Agung, kalau kejaksaan mau menertibkan pasukannya, mestinya semua jaksa kena. Pasalnya, kebobrokan itu dimulai dari sistem yang amburadul di Kejaksaan. Misalnya, untuk menduduki kursi Kajari, seorang jaksa harus menyiapkan duit Rp 50 juta, sedangkan untuk Kajati Rp 300 juta. Bahkan, untuk ikut Pelatihan Staf dan Pimpinan Administrasi Tingkat Pertama (SPAMA) saja harus setor Rp 10 juta. “Makanya kalau sudah jadi pimpinan, mereka cepat-cepat cari duit. Ya biar balik modal-lah,” ujar sumber itu.


Baca artikel selengkapnya di:


http://www.majalahtrust.com/fokus/fokus/24.php




Majalah Trust/Fokus/1/2002


Selasa, 09 November 2004


Tarif Jaksa Kejati DKI US$ 100 ribu! - 'Nyanyian' para Terdakwa Kasus BNI



FAKTA yang terkuak di balik skandal BNI senilai Rp 1,3 triliun terus saja mengalir. Para terdakwa yang kini sedang dalam proses pengadilan 'bernyanyi' tentang persekongkolan antara polisi dan jaksa dengan para terdakwa.



Semula nyanyian tak sedap menimpa kalangan polisi dalam hubungan dengan Adrian Herling Waworuntu. Terdakwa yang sempat melarikan diri ke luar negeri itu disebut-sebut memberi sejumlah uang kepada polisi untuk kepentingannya. Tentu saja, tidak ada polisi yang mengaku. Adrian pun membantah telah menyogok.



Lalu nyanyian fals sekarang terlontar dari kalangan terdakwa ke alamat kejaksaan. Menurut pengakuan seorang terdakwa, Harris Is Artono, Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Marwan Effendi, memasang tarif US$100 ribu untuk bisa mengatur berkas perkara para terdakwa.



Sebagaimana nyanyian miring kepada polisi, nyanyian tak sedap ke alamat aparat kejaksaan juga dibantah para jaksa yang disebut. Dalam negara yang katanya sangat menjunjung supremasi hukum, seseorang tidak boleh dikatakan bersalah sebelum pengadilan mengetuk palu. Palu pengadilan adalah kata akhir tentang kebenaran dan kesalahan.



Apa yang menarik dari nyanyian para terdakwa itu? Yang menarik adalah kebenaran yang dipersengketakan antara fakta dan bukti hukum. Dan sengketa itulah yang selama ini menyelimuti kesuburan pelanggaran hukum di negeri ini.



Di depan mata kita menyaksikan dengan telanjang percaloan perkara. Ada orang tertentu yang menelepon dan menghubungi terdakwa. Mereka mengaku sebagai kaki tangan polisi dan jaksa untuk mengatur perkara. Ada perundingan, ada tawar-menawar dan tentu saja ada pembayaran.



Tetapi, fakta-fakta ini menjadi tidak bermanfaat sama sekali di depan pengadilan karena tidak menjadi fakta hukum. Fakta hukum membutuhkan saksi dan bukti pembayaran dan perundingan seperti kuitansi atau rekaman pembicaraan.



Mafia peradilan di negeri ini tidak akan bisa diberantas selama fakta tidak diakui sebagai bukti. Padahal, fakta yang selalu dikalahkan itu adalah bagian terpenting dari praktik mafia peradilan.



Di negara dengan tingkat korupsi yang demikian tinggi seperti Indonesia, dengan tingkat kecanggihan menghindari bukti yang demikian licin, keraguan terhadap fakta seharusnya bisa dipakai sebagai kebenaran. Artinya, pengakuan seorang terdakwa bisa dipakai sebagai alat bukti.



Tentu saja keinginan ini hanya bisa dilaksanakan kalau kita berani memakai asas pembuktian terbalik. Bukan saksi dan jaksa yang harus membuktikan seorang terdakwa bersalah, tetapi si terdakwa yang harus membuktikan bahwa tuduhan terhadapnya tidak berdasar. Dan, untuk memuluskan pembuktian terbalik harus ada undang-undang perlindungan saksi. Jangan sampai--dan ini sudah sering terjadi--seseorang yang melapor tentang penyelewengan orang lain malah dijadikan tersangka dan dijebloskan ke dalam penjara.


http://www.mediaindo.co.id/editorial.asp?id=2004110901071906



10/10/2002 05:18 Dialog Interaktif


Rachman, Jaksa Agung atau Juragan?


Liputan6.com, Jakarta: Borok Kejaksaan Agung terkuak sudah. Pemeriksaan terhadap Jaksa Agung M.A. Rachman menjadi gongnya. Rachman ketahuan memiliki rumah mewah tapi tak melapor ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Lantaran itu, kini, Rachman tengah disorot. Masalah ini juga diangkat dalam Debat Minggu Ini yang dipandu Rossiana Silalahi di Studio SCTV Jakarta, Rabu (9/10) malam. Hadir sebagai pembicara adalah Rudjuan Dartono, Ketua Tim Khusus Kasus A. Rachman dan Guru Besar Pidana Universitas Hasanuddin Prof. DR. M. Ali, plus Ketua Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Deddy Prihambudi.



Adalah Kito Irkhamni, mantan Kepala Seksi I Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung yang buka mulut. Rachman membeli rumah di kawasan Cinere dengan uangnya. Sebenarnya, jumlah total rumah megah di kawasan elite itu Rp 600 juta. Ketika menagih, Rachman mengajak dia ke luar ruangan dan mengatakan cuma mempunyai Rp 300 juta. "Tapi kamu senang tho, umpamanya kamu saya jadikan kepala. Saya jawab, waduh pak cita-cita saya cuma dua, kalau ndak kaya, ya, karier. Jadi saya terima Rp 300 juta tanpa kuitansi," ujar Kito.



Dia dijanjikan menjadi kepala di Sungai Liat, Bangka. Tapi, ketika berangkat ke sana, tempat tersebut sudah ditempati orang lain. "Dikerjain saya," ujar pemborong ini. Dia pun mencoba mencari jawaban ke kepala bagian personalia. Tapi, dia hanya mendapat komentar singkat: itu urusan Jaksa Agung. Kedongkolan Kito sampai ke ubun-ubun. Maklum, dia cukup banyak "berkorban" untuk sang bos.



Baca artikel selengkapnya di:


http://www.liputan6.com/news/?id=42939


6 komentar:

  1. -Sudah jelas masalahnya di kejaksaan, ambil tindakan sesuai hukum yang berlaku dan kembalikan uangnya pada negara, bersihkan kroninya. cukup
    -BBM, rakyat biasa menjerit/mengeluhkan pada siapa ?
    -120 ton/tahun narkoba masuk indonesia, kalau dirupiahkan berapa uang keluar negeri ?
    -5 jt orang tergantung narkoba, bagaimana nanti ditahun 2010 ?
    -Jumlah anggota kpk sedikit jumlahnya dibanding dengan pemberantas korupsi lainnya tapi temuannya banyak dilakukan oleh kpk terus kinerja yang lainnya apa ? banyak kasus terdahulu yang tak tersentuh dan tak terselesaikan ?
    -Partai2 harus mawas diri kemarin kemana saja ?

    BalasHapus
  2. Korupsi telah menyebar serta mengakar dan dipraktekkan secara sistemik dihampir seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali lembaga peradilan itu sendiri sehingga seringkali lembaga peradilan tidak mampu menegakkan hukum,karena dari setiap upaya akan menghadapi resistensi dari berbagai kepentingan??.

    critical point "mati surinya hukum di Indonesia,faktor utamanya disebabkan karena minimnya pendidikan moral disetiap disiplin ilmu pengetahuan".

    BalasHapus
  3. masyaallah
    orang kok gak takut dosa
    tinggal di dunia kan sementara
    kok ya bisa hidup sak enak e' udel le dewe!
    mbo' yo insyap loh
    usul saya si uangnya itu buat nutupin utang negARA AJA

    BalasHapus
  4. hebat...
    tapi lebih hebat lagi kalo duid yang diterima dibikin ujan duid di daerah slum...

    BalasHapus
  5. boleh dong minta putusan artalyta suryani no 07/Pid.B/TPK/2008 PN jakarta pusat. saya butuh tuk skripsi....

    BalasHapus
  6. It is online advertising among the most lucrative companies on-line,
    and veteran entrepreneurs know it. Article marketing
    is a relatively new comer to the online advertising use of 'viral advertising' and a form of 'crowd sourcing'.
    And New York publishing is really struggling with
    the Internet to advertise your business and free apps could be used.
    Make sure to take a bite out of The Big Apple- as New York City
    Mayor Michael Bloomberg will.

    BalasHapus