Jumat, 27 Juni 2008

Jalan Tol untuk Kapolres di Atas Rp 50 Juta

Minggu, 29 Februari 2004
Jalan Tol untuk Kapolres di Atas Rp 50 Juta
Heboh skripsi Mahasiswa PTIK soal KKN di Tubuh Polri

Jakarta,- Isu KKN paling hangat di korps polisi adalah soal jual beli jabatan. Ini pula yang mengilhami 147 mahasiswa angkatan 39-A PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) untuk melakukan penelitian skripsinya. Seperti apa?


Rizal Husen, Jakarta


PERTENGAHAN 2003, muncul surat kaleng tentang jual beli jabatan strategis di lingkungan Mabes Polri. Surat tanpa identitas pengirim itu membeberkan praktik suap-menyuap di kalangan internal polisi untuk menduduki pos “basah”. Surat kaleng tersebut memaparkan jalur-jalur menuju “kursi basah nan empuk”.


Munculnya surat kaleng itu benar-benar memukul Kapolri Da’i Bachtiar. Dengan lantang, jenderal polisi bintang empat itu menyebut para polisi yang menyebarkan surat kaleng itu sebagai pengecut. Sebab, mereka tidak mau mencantumkan nama.


Tak tanggung-tanggung, jumlahnya sampai 19 pucuk surat kaleng. Sebagian besar isinya seputar jual beli jabatan dan penempatan posisi basah. Penulisnya disebut-sebut sejumlah perwira reformis yang tidak senang dengan situasi lingkungan polisi yang dinilai korup dan penuh dengan nepotisme.


Da’i boleh saja menganggap surat kaleng itu ulah para pengecut. Namun, surat tanpa identitas yang membongkar borok polisi tersebut ternyata mengilhami para mahasiswa PTIK angkatan 39A. Dengan modal surat kaleng itu, beberapa mahasiswa melakukan penelusuran untuk dijadikan bahan skripsi. “Kami ingin membuktikan surat kaleng itu. Eh, ternyata ada benarnya,” ujar seorang mahasiswa PTIK berpangkat AKP (ajun komisaris polisi) yang tak mau disebutkan namanya.


Perwira muda itu pun lantas mengupas sebagian hasil penelitiannya itu. Menurut dia, yang disebut terminologi “posisi basah” adalah posisi yang memungkinkan menghasilkan uang banyak. Ada beberapa tingkatan “posisi basah” di kelas perwira menengah (pamen). Untuk level AKBP (ajun komisaris besar polisi), jabatan itu meliputi Kapolres, Kasatlantas, dan Kasatserse (sekarang Kasat Reskrim, Red) di lingkungan polwil.


Dalam level komisaris besar polisi (kombes), contohnya Kapolwil, direktur reserse, dan direktur lalu lintas di polda-polda. Agar bisa menduduki jabatan basah itu, tidak gratis -kecuali yang benar-benar dianggap berprestasi-, harus ada pelicinnya. Para perwira yang ingin menduduki jabatan “basah nan empuk” tersebut harus siap merogoh kocek dalam-dalam.


Berapa? Dalam skripsi itu, tidak ada mahasiswa yang berani menyebutkan nilai nominalnya secara rinci. Mereka hanya menyebut secara makro. Untuk level pamen, hanya disebutkan puluhan juta rupiah. “Kami tidak tahu pasti. Yang jelas, untuk level AKBP, nilainya di atas Rp 50 juta. Level kombes hampir mendekati Rp 100 juta. Hanya, itu tidak usah disebut agar tidak jadi masalah di kemudian hari,” jelas salah satu mahasiswa PTIK yang ditemui koran ini di kampusnya.


Untuk kelas perwira tinggi (pati), jabatan yang dianggap basah adalah Kapolda. “Kalau yang ini sudah tidak bisa dihitung lagi. Jumlahnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Apalagi daerah-daerah basah seperti Kapolda di Jawa,” imbuhnya, sembari menggeleng kepala.


Menurut mahasiswa itu, banyak pejabat Polri yang hidup mewah. Padahal, gaji mereka tak seberapa. Beberapa pejabat yang menempati pos basah itu bisa memiliki mobil mewah dan rumah-rumah berharga ratusan juta.


Dia pun lantas mengungkapkan sistem gaji di korpsnya itu. Menurut sistem penggajian di Polri, polisi berstatus lajang berpangkat bharada (bhayangkara dua, setingkat tamtama, Red) menerima gaji pokok (GP) sekitar Rp 800.000. Ditambah uang lauk-pauk sehari Rp 15.000 dan uang beras, dia bisa membawa pulang take home pay sekitar Rp 1,2 juta per bulan.


Bila sudah menikah, tambahannya berupa tunjangan istri sebesar 10 persen dari GP. Jika punya dua anak, masing-masing ditambah 10 persen. Seorang bharada yang telah beristri dan memiliki dua anak mendapat tunjangan 30 persen dari GP. Take home pay-nya dalam sebulan sekitar Rp 1,7 juta.


Polisi berpangkat kombes (setingkat kolonel di TNI) berpenghasilan bersih sekitar Rp 3 juta per bulan. Ada tambahan penghasilan seperti tunjangan jabatan jika dia menduduki pos tertentu, semisal Kapolwil, direktur reserse, atau direktur lalu lintas di polda-polda.


Kapolda yang berpangkat inspektur jenderal (irjen) atau golongan IV menerima GP Rp 2,7 juta. Berikut tunjangan-tunjangan, termasuk tunjangan jabatan, dalam sebulan seorang Kapolda bisa membawa pulang Rp 4 atau Rp 4,5 juta.


Data itu berbicara betapa kecil gaji polisi. Tapi, hebatnya, banyak perwira yang hidup berlimpah kemewahan dengan mobil dan rumah berharga ratusan juta. Dari mana uang itu? “Wallahu a’lam,” katanya.


Para mahasiswa angkatan 39A tidak hanya melulu meneliti jalan tol dalam lalu lintas jabatan. Ada juga yang meneliti dana operasional polda. Ternyata, setiap polda didukung dana operasional yang berbeda-beda. Besar kecilnya tergantung luas dan jumlah penduduk suatu provinsi. Dana tersebut selanjutnya disalurkan ke polwil, polres, dan polsek. Anggaran kebutuhan itu disusun dari bawah dan diterimakan pada awal tahun anggaran yang sedang berjalan.


“Dana operasional itu harus habis. Bisa untuk membiayai patroli rutin atau patroli yang digiatkan. Bila di suatu wilayah situasi aman-aman saja, bisa-bisa dana operasional tidak seluruhnya terpakai. Ini yang jadi bahan penelitian mahasiswa,” jelas mahasiswa berpangkat AKP itu.


Nah, daerah-daerah mendapatkan dana operasional besar itulah yang dianggap basah dan menjadi incaran. Para perwira polisi akan sangat bangga jika bisa menduduki jabatan tertentu di daerah yang mempunyai dana operasional berlimpah tersebut. Terutama wilayah di Pulau Jawa dan Sumatera.


Kendati lalu lintas jalan pelicin tersebut sudah menjadi bahan penelitian para perwira muda polisi di PTIK, Kabid Penum Humas Mabes Polri Kombes Pol Zaenuri Lubis tetap membantahnya. “Tidak ada praktik jual beli jabatan di korps Polri,” ujarnya dengan enteng.


Penunjukan seseorang untuk menempati suatu jabatan tertentu, kata Zaenuri, selalu dikaitkan dengan pendidikannya. Apakah yang bersangkutan pernah kursus di Lembaga Pertahanan Nasional, Sespim, dan kursus-kursus lain.


“Yang pintar dan berdedikasi tinggi akan menduduki jabatan penting, tidak peduli apakah dia sudah mengikuti kursus-kursus atau belum. Jadi, tidak ada itu istilah jual beli jabatan,” elak Zaenuri. Tapi, bukankah masuk Sespim juga pakai pelicin? (jpnn)


http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Box&id=50690



Dipertanyakan, Korupsi dan Primordialisme di Polri


Jakarta, Kompas - Beberapa anggota Komisi II DPR mempertanyakan praktik korupsi dan primordialisme dalam proses mutasi di Kepolisian Negara RI dalam rapat kerja dengan Kepala Polri Jenderal DaÆi Bachtiar, Rabu (25/2). Akibat budaya kurang baik itu, banyak perwira yang ditempatkan di posisi strategis berasal dari etnis tertentu, padahal mutunya pas-pasan. Di sisi lain, banyak yang dipromosikan di jabatan tertentu, setelah diduga menyetor uang kepada pejabat berwenang.



Anggota Komisi II Panda Nababan mengungkapkan kasuskasus masukan dari masyarakat. "Ada yang bilang, seorang yang tadinya Sekretaris Direktorat Lalu Lintas bisa dipromosikan menjadi Direktur Lalu Lintas hanya karena dari etnis tertentu. Ada juga yang dinaikkan jabatannya karena istrinya dari etnis itu," katanya.



Diungkapkan pula, dari percakapan dengan sejumlah sopir angkutan kota di Ciawi, Bogor, Nababan tahu para sopir menyetor Rp 130.000 per hari kepada polisi setempat. Dalam beberapa kasus, sopir-sopir juga sering dicari-cari kesalahannya, misalnya dianggap salah ambil jalur. Namun, setelah membayar Rp 30.000, habis perkara.




Ia juga mengaku tertarik dengan hasil penelitian mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), tentang budaya korupsi di Polri. Dari penelitian itu terungkap, banyak polisi melakukan korupsi di lingkungan internal dan eksternal.



Sebanyak Rp 20-30 juta


Tentang seleksi Sekolah Staf Pimpinan (Sespim) Polri, Nababan menyatakan, isu tentang uang yang harus dibayarkan agar seorang calon bisa lolos sangat kuat. Informasi yang ia terima, agar lolos seleksi sespim, seseorang harus mengucurkan Rp 20-30 juta kepada panitia. "Saya juga dimintai bantuan seorang calon peserta sespim yang meminta Rp 10 juta untuk tambahan setoran. Waktu saya bilang tak perlu bayar, dia bersikeras dengan mengatakan si A dan si B lolos setelah membayar," tanyanya.



Prof JE Sahetapy, anggota Komisi II lainnya, mengungkapkan, ia juga banyak mendengar tentang budaya "apa-apa harus bayar" di Polri. "Mau masuk polisi, bayar, naik pangkat, bayar. Masuk pendidikan, bayar juga. Ini masih sangat kuat saya dengar. Mengapa masih saja demikian," ujarnya.



Sahetapy juga memprihatinkan manipulasi dokumen di Markas Besar Polri. Buktinya, ia pernah diminta menandatangani kuitansi kosong saat hadir dalam pertemuan di Mabes Polri, dalam kapasitasnya sebagai anggota Partnership for Good Governance.



Pakai nota



Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, DaÆi Bachtiar menegaskan, tidak ada pengutamaan etnis tertentu dalam penempatan seorang pejabat di lingkungan Polri. Polri di bawah kepemimpinannya saat ini berkomitmen untuk mengutamakan kualitas seseorang, sebagai pertimbangan utama dalam pengisian jabatan tertentu. "Terlepas dari itu, masukan-masukan dari Komisi II, bagi kami tetap menjadi bahan penting untuk dikaji," katanya.



Sementara tentang pungutan-pungutan di lingkungan Polri, ia menjamin sekarang ini tidak perlu bayar untuk menjadi polisi. Yang jadi soal sekarang, masuk polisi dengan koneksi atau nota. "Banyak yang memasukkan polisi dengan tidak bayar, tetapi dengan nota. Itu jadi persoalan kami, tolong jangan menutup mata. Kenyataan serupa juga terjadi dalam seleksi sespim," ujarnya.



Yang menjadi penyebab, lanjut Kepala Polri, adalah budaya dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat kita masih memandang, untuk mencapai sesuatu harus memakai cantolan, padahal sistem perekrutan polisi tidak mengenal itu. "Jadi, ini masalah yang harus dibenahi bersama," kata Da'i Bachtiar.



Ia menandaskan, sudah banyak menyerahkan wewenang promosi jabatan kepada para Kepala Kepolisian Daerah agar tidak terkesan sentralistis seperti dulu. (ADP)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/26/metro/878536.htm



1

2 komentar:

  1. Jadi Kapolres saja Rp. 50 jt bahkan lebih dari itu, memangnya gajinya berapa ?
    Untuk menutupi/mengumpulkan sebanyak itu, berapa lama keluarga harus puasa, sedangkan dalam perhitungan penghasilan semua tahu, untuk memenuhi resiko kesehariannya saja masih banyak dikeluhkan.

    jadi apa yang dikejar ?

    BalasHapus
  2. coba bisa ngga indonesia tidak memapaki uang untuk jadi POLISI soalnya dam kerjanya hanya mencari uang untuk nyaur.dan ada ngga POLISI yang naik haji? mereka takut di tilang langsung oleh Alloh,mohon kepada pemerintah jangan membuat peraturan baru tapi peraturan yang ada di pake yang bener jangan pake uang beres kasian yang ngga punya uang?

    BalasHapus