Senin, 21 Juli 2008

Mahalnya Biaya Politik dan Perolehan Minimal Parpol Pendukung Calon Presiden

Saat ini di DPR sibuk diperbincangkan persentase suara minimal dari parpol/gabungan parpol yang bisa mendukung Calon Presiden Indonesia 2009 untuk maju.



Golkar mengusulkan angka 30%, PDIP mengusulkan 20%, sedang Parpol lain mengusulkan 15%, 10%, ada pula yang sebatas Electoral Threshold.



Pada angka 30%, maka para Capres jika bisa menggandeng Golkar juga harus mengandeng Parpol lain untuk maju. Kadang untuk “menggandeng” ini diperlukan banyak uang seperti kasus Pilkada di DKI baru-baru ini di mana seorang Calon Wakil Gubernur dimintai uang Rp 1,5 milyar hanya dari satu Parpol.



Jadi bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan oleh seorang Capres untuk mendapatkan suara Parpol sebesar 30%. Ini bisa menimbulkan biaya tinggi yang ujung-ujungnya jika terpilih Capres tersebut bukannya berbakti untuk rakyat justru sibuk memikirkan cara untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkannya.



Berdasarkan hasil perolehan suara pada tahun 2004 (lihat tabel di bawah) di mana Golkar memperoleh 21,62% suara disusul oleh PDIP (18,31%), dan PKB (10,61%) maka pada angka 30% jika hanya dari satu parpol saja tidak ada Capres yang bisa maju.



Jika 20%, hanya Capres dari Golkar saja yang lolos. Angka minimal yang terlalu besar mengakibatkan jumlah Capres terlalu sedikit dan rakyat tidak punya pilihan banyak.



Padahal Capres pilihan rakyat belum tentu dari parpol terbesar. Sebagai contoh meski Golkar dan PDIP merupakan 2 partai dengan perolehan suara terbesar, namun capres mereka ternyata dikalahkan oleh SBY yang diusung oleh parpol PD yang perolehan suaranya hanya 7,46% (urutan ke 5).



Jadi batas minimal suara parpol pendukung Capres yang terlalu besar justru akan mengebiri keinginan rakyat. Capres pilihan rakyat tidak bisa muncul.



Lihat tabel di bawah. Pada angka 30% tidak ada Capres yang bisa maju dari satu parpol. Pada angka 20% hanya satu yang bisa maju, yaitu dari Golkar. Pada angka 10% hanya 3 Capres yang bisa maju. Pada angka 5% ada 7 capres yang bisa maju.



Kalau kita menginginkan hanya 3-4 Capres saja yang bisa maju. Maka angka 10% sudah cukup. Jika terlalu besar kasihan Capresnya yang harus ”melobi” banyak partai agar bisa maju.



Ada baiknya juga ormas dengan jumlah anggota yang melebihi angka 10% seperti NU dan Muhammadiyah juga bisa mengajukan Capres, sehingga monopoli pencalonan Capres oleh partai politik bisa dikurangi.



Persentase Perolehan Suara tahun 2004






















































No



Partai



%Perolehan



1



Partai Golongan Karya



21,62



2



Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan



18,31



3



Partai Kebangkitan Bangsa



10,61



4



Partai Persatuan Pembangunan



8,16



5



Partai Demokrat



7,46



6



Partai Keadilan Sejahtera



7,20



7



Partai Amanat Nasional



6,41



8



Partai Bulan Bintang



2,62



9



Partai Bintang Reformasi



2,60





“Biaya Politik” Calon Wakil Gubernur milyaran rupiah:



Sabtu, 16/06/2007 05:00 WIB


PDIP: Dana Kirbi dan Djasri adalah Political Cost


Ramdhan Muhaimin - detikNews



Detik.com. Jakarta - Mayjen Purn Slamet Kirbiyantoro dan Mayjen Purn Djasri Marin kecewa karena gagal maju menjadi pendamping Fauzi Bowo. Mereka pun berencana menagih 'mahar' yang telah disetorkan ke sejumlah parpol, salah satunya PDIP.



PDIP membantah jika telah melakukan 'pemerasan' terhadap para kandidat tersebut dengan melakukan penipuan.



"Sejumlah uang yang dikeluarkan Pak Kirbi dan Pak Djasri itu political cost. Bukan money politics," kata Kepala Departemen Infokom DPD PDIP DKI Jakarta, Dhia Prekasha Yoedha pada detikcom, Jumat (15/6/2007).



Yoedha mengatakan, sejumlah dana yang dikeluarkan setiap kandidat cagub dan cawagub yang melamar ke PDIP merupakan dana lumrah. Sebab dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan dalam rangka sosialisasi yang merupakan bagian dari proses penjaringan dan seleksi.



Informasi yang diperoleh detikcom, Slamet Kirbiyantoro dikabarkan telah menyetorkan Rp 1,5 miliar ke PDIP selama proses penjaringan cawagub DKI.



Sedangkan Djasri Marin telah menghabiskan Rp 2 miliar selama mengikuti mekanisme penjaringan cawagub DKI di PDIP dan PPP. (rmd/nvt)



Baca artikel selengkapnya di:


http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/06/tgl/16/time/050036/idnews/794393/idkanal/10



Money Politics: 'Bisnis Suara Rakyat'



Adil News Online. Di beberapa media diberitakan bahwa beberapa mantan kandidat cawagub menagih uang 'mahar' yang telah di-setorkannya ke partai penjaringnya. Mayjen (purn) Slamet Kirbiantoro dikabar-kan telah menyetorkan 1,5 miliar rupiah ke PDIP selama proses penjaringan cawagub DKI. Sedangkan Mayjen (purn) Djasri Marin telah menghabiskan 2 miliar selama mengi-kuti mekanisme penjaringan cawagub DKI di PDIP dan PPP. Pengakuan yang sama juga disampaikan Mayjen (purn) Asril Tanjung. Ketiganya menyatakan akan menagih kembali dana yang telah dikeluarkannya ke PDIP dan parpol lain di Koalisi Jakarta. Tentu, partai yang ditagih membantah hal itu.



Baca artikel selengkapnya di:


http://www.adilnews.com/?q=en/money-politics-bisnis-suara-rakyat


1 komentar:

  1. Tidak usah pakai parpol daftar aje yang mau jadi caleg tanpa uang kordinasi parpol yang sampai ratusan juta rupiah soalnya nanti jadi harga pokok caleg yang pasti harga jualnya harus dibayar rakyat lebih mahal,biarin deh rakyat yang pilih calonnya kirim pake internet suara yang paling banyak.insya ALLOH amanah dan murah orangnya mau kerja bukan cari uang yang pake hitungan harga pokok.

    BalasHapus