Tak mampu membeli gas dan minyak tanah yang harganya terus meroket, nyonya Sawiyah 48 tahun dan anak bungsunya tewas tenggelam di kolam bekas galian usai mencari kayu bakar.
Tak seperti pemerintah Venezuela yang tidak tunduk pada "Pasar" dan menjual bensin hanya Rp 460/liter pada rakyatnya, Pemerintah Indonesia tak mampu menahan kenaikan harga minyak tanah dan gas. Akibatnya harganya terus meroket sehingga sebagian ibu tidak mampu lagi memasak dengan minyak tanah dan gas. Mereka terpaksa harus mencari kayu bakar meski dengan resiko kematian.
Demi Sekolah Anak, Sawiyah Tewas
KOMPAS/IWAN SANTOSA, Jumat, 8 Agustus 2008 | 03:00 WIB
Nyonya Sawiyah (48 ) dan anak bungsunya tewas tenggelam di kolam bekas galian usai mencari kayu bakar, Rabu (6/8) petang. Sawiyah tidak mampu lagi membeli minyak tanah yang makin mahal karena sebagian besar penghasilannya digunakan untuk membiayai sekolah keempat putrinya.
Sawiyah, istri Suharto (45) warga RT 05 RW 14 Duri Kosambi, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, diketahui hilang bersama putrinya pada Rabu petang.
Suharto menjelaskan, istri dan putri bungsunya, Mutaharah (13), diketahui berangkat mencari kayu bakar sekitar pukul 16.00.
”Saat dia (Sawiyah) mencari kayu bakar, saya masih berdagang keliling di daerah Kapuk Muara. Ketika pulang menjelang magrib, tidak biasanya istri saya belum ada di rumah. Tak diduga istri dan putri saya tenggelam di lubang bekas galian,” kata Suharto yang sehari-hari memanggul dagangan berjalan kaki dari kampung ke kampung di Jakarta Barat, Tangerang, hingga Merak, Provinsi Banten.
Setelah dicari ratusan warga semalaman, jenazah Sawiyah binti Sansuardi (48) dan Mutaharah (13) ditemukan, Kamis sekitar pukul 07.30, mengambang di kolam bekas galian sedalam tiga meter di lahan telantar di belakang rumah. Seikat kayu bakar dan golok yang dibawa Sawiyah tertinggal di dekat tempat mereka tenggelam.
Istri yang mencari kayu bakar dan suami yang berjalan kaki berjualan perlengkapan rumah tangga adalah potret kegigihan dan pantang menyerah sebuah keluarga marjinal di Jakarta.
Suharto mengaku, istrinya sangat bijak dalam mengelola keuangan mereka yang pas-pasan. Pasangan tersebut sudah bertekad menyekolahkan putri-putri mereka, Linda Dahlia (17), Lidya (15), Megawati (14), dan Mutaharah (13), setinggi mungkin.
Berhemat dan hidup prihatin jadi pilihan utama. Kayu bakar digunakan Sawiyah untuk memasak air bagi keperluan minum keluarga hingga dua hari atau tiga hari. Pasalnya, memasak air hingga mendidih membutuhkan waktu lama.
”Kalau pakai kompor gas tentu boros sekali. Itu sebabnya istri saya menggunakan kayu bakar. Ibu rumah tangga lain di lingkungan kami juga banyak yang memakai kayu bakar,” kata Suharto.
Latif (53), salah seorang tetangga Suharto, mengakui, banyak ibu rumah tangga di lingkungan tersebut menggunakan kayu bakar karena tidak mampu membeli minyak tanah dan gas untuk keperluan rumah tangga.
”Minyak tanah harganya bisa sampai Rp 10.000 per liter. Itu pun belum tentu ada. Gas tabung tiga kilogram juga harganya mencapai Rp 18.000. Barangnya juga gampang- gampang susah didapat,” kata Latif.
Iin (49), ibu rumah tangga, mengakui itu. ”Di sini kebanyakan orang susah yang tinggal. Kalau warga mencari kayu bakar, itu tidak aneh,” kata Iin.
Selalu berhemat
Setiap hari seusai berdagang sejak pagi buta hingga malam, dengan keuntungan bersih Rp 20.000 hingga Rp 30.000, Suharto menyerahkan uang itu kepada Sawiyah. Sebagian besar keuntungan habis dipakai untuk menutup biaya hidup.
Sebagian lagi keuntungan hasil berdagang ditabung oleh keempat anaknya sekitar Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per hari. Uang itu pada akhir bulan digunakan untuk membayar biaya sekolah. Pendidikan dasar keempat putri Sawiyah dimulai di madrasah ibtidaiyah. Langkah tersebut ditempuh Sawiyah agar dapat menghemat biaya dan anak mereka mendapat bekal ilmu agama.
Sekolah pun dipilih tidak jauh dari rumah milik yayasan Sirodjul agar tidak perlu mengeluarkan ongkos angkutan umum. Hari-hari keluarga itu pun dipenuhi dengan kegiatan belajar dan mengaji.
Hidup sederhana
Mereka berenam hidup hemat dan sederhana di rumah petak ukuran tiga meter kali sepuluh meter. Rumah petak itu dibeli Suharto pada awal tahun 1981 ketika pasangan asal Semarang dan Cilacap tersebut menikah.
Ruang tamu, dua kamar tidur mungil, dapur, dan kamar mandi berimpitan mengisi lahan tiga puluh meter persegi di perkampungan padat di Duri Kosambi yang kerap diterjang banjir tahunan. Garis setinggi 1,8 meter bekas banjir awal tahun 2008 masih menghiasi rumah mereka.
Rumah itu telah ditembok halus tanpa cat hasil perjuangan menabung bertahun-tahun. Bahan baku pasir diperoleh Suharto dari mengumpulkan pasir di lapangan terbuka dekat rumah.
Tidak ada kulkas melengkapi rumah, sebuah televisi yang jarang ditonton menjadi satu-satunya sarana hiburan keluarga mereka. Tidak ada telepon, apalagi telepon seluler, yang dimiliki keluarga tersebut.
Suharto-Sawiyah sangat tegas dalam mendidik anak. Mereka diajar untuk mencintai ilmu, hidup prihatin dan tidak gengsi ataupun minder dengan keadaan perekonomian keluarga.
”Anak sulung saya sempat demam hampir seminggu karena takut tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMA waktu lulus SMP tiga tahun lalu. Waktu itu keuangan keluarga sedang kritis. Saya juga menegaskan kepada anak dengan memberi pilihan mau sekolah atau senang-senang saja. Mereka memilih untuk tetap sekolah selagi memungkinkan,” kata Suharto.
Selepas kepergian Sadiyah, tungku dan kayu bakar masih disimpan di belakang rumah keluarga. Lepas zuhur Kamis siang, lantunan adzan mengiringi pemakaman Sawiyah dan Mutaharah di Kramat Semanan, Jakarta Barat. Jenazah mereka terkubur, tetapi semangat mereka tetap hidup di hati Suharto dan ketiga putrinya. Hidup adalah perjuangan...
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/08/01551255/demi.sekolah.anak.sawiyah.tewas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar