Jaksa Agung Hendarman Supandji pada rapat DPR mengakui adanya “MARKUS” (Makelar Kasus) atau Mafia Peradilan yang tak jarang “menyulap” yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar.
Jaksa Agung mengakui ada “baunya”, tapi sulit membersihkannya. Untuk memberantas “Markus”, Jaksa Agung minta uang Rp 10 trilyun agar gaji para jaksa yang semula hanya Rp 3 juta bisa dinaikkan jadi Rp 12 juta. Dengan anggaran Rp 2 trilyun, sulit memberantas “Markus”, begitu kata Supandji.
Kenyataannya gaji tinggi tidak otomatis membuat koruptor jadi orang jujur. Buktinya banyak Gubernur BI yang gajinya di atas Rp 100 juta per bulan toh tetap dipenjara karena kasus korupsi. Seandainya gaji jaksa sudah Rp 12 juta per bulan, jika memang korup dan mata duitan tentu tetap akan menerima suap jika nilainya Rp 1 milyar atau lebih! Belum lagi jika disuguhi dengan “pijat” atau sex seperti yang tersirat dalam rekaman telepon Yuliana dengan Anggodo.
Sebagai contoh, Jaksa Urip menerima suap US$ 660 ribu (Rp 6,5 milyar). Apa iya jika gajinya sudah Rp 12 juta akan menolak uang sebesar itu?
Sebaliknya, betapa banyak buruh atau karyawan yang bergaji UMR (sekitar Rp 1 juta/bulan) atau kurang, namun karena memang orangnya jujur, mereka tetap bekerja dengan jujur. Jadi kejujuran dan keadilan lah faktor yang utama untuk menjadi penegak hukum termasuk Jaksa.
Sebetulnya jika Jaksa Agung rajin bertemu dengan anak buahnya atau main ke rumah anak buahnya, tentu dia bisa memakai “Pembuktian Terbalik” untuk memeriksa apakah anak buahnya korupsi atau tidak. Jika anak buahnya gajinya hanya Rp 3 juta/bulan, tapi rumahnya mewah, mobilnya mewah, dan hobi main golf, ini adalah satu “indikasi” korupsi. Dia bisa memeriksa apakah hartanya didapat dengan cara yang halal atau hasil korupsi.
Kemudian dengan mempelajari kasus, bukti, dan tuntutan jaksa, Jaksa Agung bisa melihat apakah ada keanehan dari kasus tersebut.
Jika memang anggaran Rp 2 trilyun untuk kejaksaan kurang, harusnya Jaksa Agung bisa merampingkan jumlah jaksa hingga sepertiga daripada yang sekarang.
Kita lihat kasus Prita, seorang konsumen yang mengeluh, kok bisa para jaksa meski hakim sudah memutuskan Prita bebas dan tidak bersalah, ngotot melanjutkan kasusnya hingga berpanjang-panjang? Belum lagi jaksa yang tetap memproses “kasus” pencurian 3 (baca: tiga) biji Kakao senilai Rp 2.100 (dua ribu seratus rupiah) oleh seorang nenek berumur 55 tahun yang bernama Minah. Apa para jaksa yang digaji dengan uang rakyat seperti kekurangan pekerjaan sehingga terus memperkarakan kasus kecil macam itu?
Pernah Khalifah Umar ra ketika ada seorang kaya yang menuntut orang miskin yang memungut buah yang berjatuhan di jalan akhirnya justru menghukum orang kaya tersebut karena tidak mau bersedekah sehingga tetangganya kelaparan dan harus “mencuri”. Keadilan dan sifat kasih sayang Khalifah Umar ra kepada rakyatnya yang miskin sehingga berani menghukum si kaya rasanya sulit didapati pada para “Penegak Hukum” di Indonesia.
Sebaliknya kasus Bank Century yang sudah lama terjadi, para aparat hukum seperti Polisi dan Jaksa bergerak lamban sekali. Bahkan justru memperkarakan dan memenjarakan KPK yang berusaha menangkap pemilik Bank tersebut.
Seorang anggota Komisi III asal Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, mempertanyakan “Rasa Keadilan” para jaksa kepada Jaksa Agung, Hendarman Supandji.
Jadi sebetulnya jika para jaksa selektif dan menolak kasus-kasus kecil yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan jalan damai atau di luar pengadilan, tentu jumlah jaksa bisa dipangkas sepertiga dari yang ada sekarang. Artinya para jaksa yang ada bisa menikmati gaji 2-3 kali lipat dari gaji yang sekarang.
Berantas "Markus", Jaksa Agung "Minta" Rp 10 Triliun
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO
Senin, 9 November 2009 | 15:05 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
JAKARTA, KOMPAS.com — Jaksa Agung Hendarman Supandji dicecar Komisi III mengenai maraknya "markus" alias makelar kasus di lingkungan Kejaksaan Agung. Hendarman mengungkapkan, selaku komandan di kejaksaan, ia sudah berupaya optimal untuk meminimalkan keberadaan para "calo" tersebut.
"Mengenai 'markus', saya ini pada prinsipnya di hati nurani ingin membersihkan 'markus' ini. Baunya ada, tapi sulit untuk membersihkan. Setiap ruangan saya tempeli, 'markus dilarang masuk'. Tapi tidak efektif karena pertemuan dengan 'markus' bisa dilakukan di luar kantor," kata Hendarman, Senin (9/11), dalam rapat kerja di Gedung DPR, Jakarta.
Menurut Hendarman, persoalan 'markus' berkaitan dengan sikap moral, kinerja, dan budaya kerja. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa pengungkapan sulit dilakukan sebelum peristiwa terjadi. Bagaimana solusinya? Hendarman mengatakan, salah satu solusinya adalah peningkatan kesejahteraan para pegawai di lingkungan kejaksaan.
"Solusinya, perbaikan kesejahteraan yang saya minta Rp 10 triliun untuk meminimalkan 'markus'. Tapi, minta Rp 5 triliun saja sulit. Dengan anggaran hanya Rp 2 triliun, sulit kami lakukan," ujarnya.
Hendarman Minta Gaji Jaksa Rp 10 Juta untuk Basmi Makelar Kasus
Senin, 09 November 2009 | 14:36 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan mengganyang makelar kasus di tubuh kejaksaan bukanlah persoalan mudah. Pasalnya, sebelum peristiwa terjadi, adanya praktek makelar kasus sulit diendus. Untuk mengenyahkan makelar kasus, Hendarman mengusulkan solusi menaikkan anggaran kejaksaan Rp 10 triliun.
"(Saya) ingin berantas markus. Tapi markus cuma baunya, sulit untuk dibuktikan," kata Hendarman dalam rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (9/11). Hendarman mengatakan selama ini upayanya untuk menghilangkan makelar kasus selalu dilakukan. Caranya adalah dengan menempeli kertas di tiap kantor kejaksaan makelar kasus dilarang masuk.
Tapi ternyata cara itu, kata Hendarman, tidak efektif. Sebab, interaksi antara makelar kasus dengan orang kejaksaan bisa terjadi di luar kantor.
Atas dasar itu, Hendarman mengusulkan solusi peningkatan gaji jaksa untuk mencegah praktek makelar kasus. Dia meminta anggaran kejaksaan dinaikan menjadi Rp 10 triliun. Jika tidak bisa Rp 10 triliun, Hendarman meminta paling tidak anggaran jadi Rp 5 triliun. Dengan anggaran sebesar itu, gaji tiap jaksa bisa mencapai Rp 11-12 juta. "Tidak seperti sekarang yang cuma Rp 3 juta," kata dia.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat tengah menggelar rapat dengar pendapat dengan Kejaksaan Agung terkait kasus yang menjerat pemimpin (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
AMIRULLAH
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2009/11/09/brk,20091109-207230,id.html
Rasa Keadilan antara Prita, Anggodo, Djoko Tjandra, dan Sopir Angkot
Kamis, 19 November 2009 | 11:47 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri ditanyakan mengenai rasa keadilan. Pertanyaan itu dilayangkan anggota Komisi III asal Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, Kamis (19/11), dalam rapat gabungan di Gedung DPR, Jakarta.
Martin memulakan pertanyaannya dengan mengambil contoh antara Prita dan Anggodo. Apa hubungannya? Ia mengungkapkan, Prita, seorang pasien rumah sakit yang telah membayar jasa layanan yang diterimanya, harus berhadapan dengan proses hukum hingga ke pengadilan. Tuduhan yang dilayangkan kepada Prita karena diduga mencemarkan nama baik rumah sakit melalui e-mail keluhan yang dibuatnya.
"Sedangkan Anggodo, begitu enaknya menyebut nama pemimpin negara kita kok belum diusut apa-apa. Ini rasa keadilan, Pak Kapolri. Meskipun, kita harus melihatnya dengan pendekatan hukum," kata Martin.
Anggodo adalah adik tersangka kasus SKRT Departemen Kehutanan, Anggoro Widjojo, buron KPK. Anggodo, dalam sadapan KPK, melakukan hubungan telepon dengan pejabat kepolisian dan kejaksaan, terkait kasus yang menjerat Anggoro.
Sebelumnya, Harry Wicaksono, anggota Komisi III asal Fraksi Demokrat, juga mempertanyakan aksi oknum polisi yang menembak seorang sopir angkot 102 di Limo, Depok, karena diduga berjudi. Subagyo, sang sopir angkot itu, akhirnya meregang nyawa saat dibawa ke RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, kemarin.
"Tapi buronan seperti Djoko Tjandra (terpidana kasus cessie Bank Bali, buron Kejaksaan Agung), yang kabur ke luar negeri, malah dibiarkan. Mohon ini diperhatikan, jangan sampai oknum polisi gampang melakukan tembak langsung," ujar Harry yang berasal dari daerah pemilihan Depok.
Tanggung jawab
Martin Hutabarat sebelumnya juga sempat mengutarakan kelanjutan kasus Bibit-Chandra yang sudah menarik perhatian publik. Menurut dia, apa pun rekomendasi yang diberikan Tim Delapan, keputusannya ada di tangan Presiden. Namun, ia meminta agar pihak kepolisian juga memerhatikan rasa keadilan masyarakat.
"Kalau Presiden memutuskan supaya rekomendasi Tim Delapan soal perkara ini dihentikan, bapak-bapak ini bisa terima asal sesuai dengan koridor hukum. Tapi kalau Presiden bilang mempersilakan sesuai proses hukum, baik juga. Karena masyarakat kita diberikan pendidikan kesadaran hukum," ujar Martin.
Namun, keyakinan Polri akan bukti kuat yang dimilikinya harus bisa dipertanggungjawabkan. Dalam beberapa kesempatan, Kapolri meyakinkan bahwa pihaknya memiliki bukti kuat yang menjerat dua pimpinan KPK tersebut sesuai yang disangkakan.
"Kalau memang ada bukti kuat, biar diproses di persidangan yang obyektif. Dan kita mengawal semua. Tapi, kalau hasilnya (putusan) bebas, rakyat akan bertanya, siapa yang tanggung jawab? Apakah ada yang berani tanggung jawab, baik dari Polri atau Kejaksaan untuk mundur dari jabatannya? Kita harus punya rasa kesadaran hukum, tapi juga harus punya tanggung jawab," kata Martin.
MA Akui "Markus" Merajalela
Perlu, Tim Reformasi Hukum
Kamis, 19 November 2009 | 06:38 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa mengakui bahwa makelar kasus atau ”markus” saat ini merajalela di mana-mana, mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan. Hal itu merupakan tantangan semua penegak hukum untuk memberantasnya.
Khusus untuk MA sendiri, keberadaan makelar kasus tersebut diakui Harifin sangat mengganggu independensi hakim dalam menangani perkara.
Terkait dengan hal tersebut, Harifin menjelaskan, Rabu (18/11) di Jakarta, pihaknya sudah mengeluarkan aturan seperti larangan bertemu pihak beperkara dan larangan menerima pemberian dari pihak beperkara. ”Pedoman Perilaku Hakim yang sudah ada akan ditegakkan sungguh-sungguh,” katanya.
Hingga Oktober 2009, MA sudah menjatuhkan sanksi kepada setidaknya 30 hakim. ”Ada hakim yang dipecat, ada hakim dinonpalukan selama satu dan dua tahun. Dalam waktu dekat ini, ada lagi hakim yang diadukan ke Majelis Kehormatan Hakim karena diduga melakukan pelanggaran berat. Dia diusulkan untuk dipecat,” tutur Harifin.
Secara terpisah, Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi Tumpak Hatorangan Panggabean dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, kemarin, menyatakan belum pernah mendengar tentang makelar kasus yang hilir mudik ke Kantor KPK.
”Di KPK, tiap orang yang datang dapat diidentifikasi,” katanya.
Di lingkungan kejaksaan, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan, sejak tahun 2007 kejaksaan sudah mengupayakan birokrasi bersih. Caranya, antara lain, dengan pembaruan kejaksaan.
Riset pola korupsi
Danang Widoyoko dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Darurat Keadilan mengungkapkan, Indonesian Corruption Watch pernah melakukan riset tentang mafia peradilan di Indonesia.
Riset menemukan banyaknya pola korupsi di tubuh kepolisian dalam bentuk permintaan uang jasa, penggelapan perkara dengan alasan tidak cukup bukti, negosiasi perkara saat penyusunan berita acara pemeriksaan, dan pemerasan dan pengaturan ruang tahanan.
Tidak jauh berbeda dengan itu, menurut Danang, catatan tentang kejaksaan juga sangat buruk. Terbongkarnya persekongkolan dan transaksi korup antara Jaksa UTG dan Artalyta Suryani adalah salah satu contohnya.
Untuk itu, pengamat masalah korupsi, Roby Arya Brata, mengusulkan agar pemerintah membentuk badan independen dengan kewenangan kuat untuk mengawasi aparat penegak hukum, terutama KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung.
Ahli hukum tata negara, Irman Putra Sidin, berpendapat, untuk menjaga kelanjutan dan arah dari reformasi hukum, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu membentuk tim khusus. Tugas tim adalah mengkaji dan memberikan masukan hal-hal yang perlu dilakukan dalam reformasi hukum. (IDR/ANA/NWO/AIK)
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/11/19/0638453/ma.akui.markus.merajalela
Tidak ada komentar:
Posting Komentar