Rencana Kenaikan tarif listrik sekitar 18% di bulan Juni ini terkesan pro rakyat kecil. Karena yang naik cuma 1300 watt ke atas. Untuk 450 dan 900 watt tetap. Sayangnya tidak demikian.
Pertama, tidak jarang rakyat sulit mendapat listrik 450 watt. Alasannya “kosong”/”habis”. Sulit dipercaya, tapi demikian adanya. Sehingga rakyat beli dengan daya lebih besar.
Kedua, dari berita di bawah ternyata tarif Kereta Api Listrik Ekonomi Jabodetabek dan Jawa pun ikut naik antara Rp 500 – Rp 2000 atau sekitar 33%!. Pemakai kereta listrik ini umumnya rakyat kecil. Jadi kalau sekiranya masyarakat mengeluarkan RP 3.000 pp atau Rp 75 ribu/bulan, kelak jadi Rp 100 ribu/bulan.
Kantor-kantor, toko-toko, dan Pabrik-pabrik pun biaya operasionalnya naik. Sehingga barang-barang kebutuhan rakyat seperti susu, mie instan, minyak goreng, dan sebagainya akan turut naik. Lambat laun akan banyak perusahaan yang gulung-tikar karena tidak bisa menanggung beban operasional. Ini mengakibatkan pengangguran meningkat. Belum lagi daya beli rakyat menurun karena kenaikan TDL memicu kenaikan harga-harga barangnya.
Ternyata dari berita di bawah diberitakan bahwa pembangunan tenaga listrik baru di Indonesia dibiayai oleh AS dan ADB (konco dari IMF dan World Bank). Bantuan ini tidak “gratis”. Oleh sebab itu pimpinan Malaysia yang jujur kepada rakyatnya memilih membiayai sendiri proyek listrik dengan uang pajak rakyatnya.
Sebagaimana disinyalir oleh ahli ekonomi pemenang Nobel yang juga mantan pimpinan ekonom Bank Dunia, Profesor Joseph Stiglitz, “Empat Langkah Strategi” World Bank untuk memperbudak negara demi keuntungan bankir di antaranya adalah menaikan harga barang-barang kebutuhan rakyat seperti listrik.
Kenaikan Listrik ini akan membuat harga-harga barang jadi naik. Daya beli rakyat turun. Orang jadi susah berbisnis/berdagang. Perusahaan-perusahaan banyak yang tutup karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan di luar negeri. Pengangguran dan kejahatan akan meningkat. Penerimaan pajak pemerintah pun bisa berkurang meski pemerintah dapat sedikit uang dari pengusaha listrik.
Semoga pemerintah bisa memberikan yang terbaik untuk rakyatnya.
Jumat, 18/06/2010 18:10 WIB
AS Ikut Bantu Pendanaan 10 Ribu MW Tahap II
Ramdhania El Hida - detikFinance
Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat (AS) berencana untuk memberikan pembiayaan untuk proyek listrik 10 ribu MW tahap II. Proyek ini merupakan kerjasama dengan PT PLN (Persero).
"Kami mendukung prospek kerjasama dengan Indonesia untuk energi terbarukan," ujar Presiden Exim Bank Fred P. Hochberg saat ditemui di Kantor Menko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (18/6/2010).
Menurut Fred, proyek kerjasamanya dalam sektor listrik dengan PLN adalah dalam pembangunan pembangkit listrik 10 ribu MW tahap II. Sebesar 5 ribu MW untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi dan sisanya pembangkit konvensional.
"Kami sangat tertarik. Indonesia punya potensi untuk menyuplai energi yang besar sehingga bakal menjadi leader untuk renewable energy," tandasnya.
Sebelumnya, PLN masih mencari pendanaan untuk menyukseskan pembangunan transmisi proyek percepatan 10.000 Megawatt (MW) tahap II senilai Rp 9 triliun dari total pendanaan sebesar Rp 19 triliun.
Sementara itu, untuk pendanaan pembangkitnya sudah rampung dengan total nilai US$ 5 miliar. Total kebutuhan investasi PLN pada 2010 diperkirakan mencapai Rp 21 triliun. Rencananya proyek ini akan dibiayai 50% oleh IPP (swasta) dan 50% dibiayai sendiri oleh PLN.
(nia/dnl)
Senin, 08/06/2009 18:16 WIB
ADB Danai Transmisi Listrik di Perbatasan RI-Malaysia
Angga Aliya ZRF - detikFinance
Foto: Dadan/detikFinance
Jakarta - Asian Development Bank (ADB) akan membantu pembiayaan untuk proyek pembangunan transmisi di sekitar perbatasan Malaysia dan Indonesia di Kalimantan.
Demikian hal itu disampaikan oleh Kepala Bappenas Paskah Suzetta di sela rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (8/6/2009).
"Dari pihak Indonesia pembiayaannya sebagian diambil dari ADB, sedangkan Malaysia oleh sendiri," katanya.
http://www.detikfinance.com/read/2009/06/08/181619/1144334/4/adb-danai-transmisi-listrik-di-perbatasan-ri-malaysia
===
Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits
http://media-islam.or.id
Milis Ekonomi Nasional: ekonomi-nasional-subscribe@yahoogroups.com
Belajar Islam via SMS:
http://media-islam.or.id/2008/01/14/dakwah-syiar-islam-lewat-sms-mobile-phone
Tarif KRL Diusulkan Naik Rp500-2.000
Jum'at, 18 Juni 2010 - 06:51 wib
JAKARTA - PT Kereta Api (KA) mengusulkan kenaikan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta, Bogor, Depok,Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sebesar Rp500 hingga Rp2.000. Usulan tarif baru ini menyusul kenaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk traksi KRL sebesar 9 persen.
Kepala Humas PT KA Daop I Jabotabek Sugeng Priyono mengatakan, usulan kenaikan tersebut disesuaikan kelas KRL. Untuk kelas ekonomi kenaikannya paling kecil. Sugeng menambahkan, usulan tersebut sudah disampaikan ke Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
”Kami hanya mengusulkan, keputusannya nanti ada di Kemenhub,” ujar Sugeng kepada Seputar Indonesia, Kamis (17/6/2010). Dia menambahkan, usulan ini sebenarnya sudah disampaikan sejak Maret lalu. Alasannya tarif KRL ekonomi sejak tahun 2004 belum naik. Bahkan, pada tahun 2008 terjadi penurunan tarif. ”Apalagi sekarang ada kenaikan TDL, jadi kami usulkan ada kenaikan,” tandasnya.
http://news.okezone.com/read/2010/06/18/338/344116/tarif-krl-diusulkan-naik-rp500-2-000
Kembali pada Jalan Ekonomi Konstitusi
Jumat, 11 Juni 2010 | 03:58 WIB
Oleh Hendri Saparini
Dalam sebuah seminar yang digelar minggu lalu, penulis diminta memberikan pandangan tentang pengelolaan ekonomi nasional menurut konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Seminar tersebut hanyalah satu dari sekian banyak forum yang digelar karena semakin banyak kalangan resah terhadap pembangunan ekonomi yang menghasilkan ketergantungan, ketertinggalan, kemiskinan, dan kesenjangan.
Bukankah dalam pembukaan Konstitusi UUD 1945 jelas disebutkan bahwa tujuan membentuk pemerintah negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa?
Setiap negara pasti akan mengelola ekonomi sesuai konstitusinya. Negara yang menekankan pada peran negara akan memiliki kebijakan ekonomi yang sejalan dengan paradigma tersebut. Negara yang memilih untuk mempercepat penyerahan peran negara kepada swasta juga akan tecermin pada pilihan kebijakan ekonominya.
Apabila pengelolaan ekonomi Indonesia semakin menyimpang dari tujuan konstitusi, mungkinkah karena tidak dijalankan sesuai konstitusi?
Jalan ekonomi konstitusi
Dalam Konstitusi UUD 1945, Indonesia memiliki Pasal (33) yang mengatur arah dan strategi kebijakan ekonomi. Dalam Pasal 33 Ayat (1) disebutkan bahwa pengaturan ekonomi seharusnya berbasis pada kekeluargaan dan kebersamaan. Adapun pada Ayat (2) ditegaskan bahwa seluruh rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi dan ikut menikmati hasilnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Dalam Ayat (3) diatur bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ini berarti konstitusi menjamin rakyatlah pemegang hak atas kekayaan sumber daya alam (SDA) tersebut.
Meskipun demikian, menurut penulis, pembahasan Pasal (33) yang mengatur pengelolaan ekonomi seharusnya tidak terlepas dari pembahasan pasal-pasal tentang tanggung jawab sosial negara terhadap warganya, baik kewajiban untuk menyediakan pendidikan, kesehatan, pangan, pekerjaan, serta dalam menjamin orang miskin. Dalam Pasal (27), misalnya, ditegaskan bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi hak rakyat atas penghidupan dan pekerjaan yang layak. Pada Pasal (28) c disebutkan bahwa rakyat memiliki hak untuk dipenuhi hak-hak dasarnya oleh negara. Sementara pada Pasal (31) dijelaskan negara bertanggung jawab atas hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.
Dalam Pasal (34) juga ditekankan bahwa fakir miskin dan anak telantar memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar dari negara. Pasal (23) Ayat 1 menegaskan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut, pengelolaan anggaran dan keuangan harus diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat.
Apabila pasal-pasal ekonomi dan sosial tersebut diyakini saling terkait, maka dalam UUD 1945 ada enam (6) pasal, yaitu Pasal (23), (27), (28), (31), (33) dan (34), yang keseluruhannya saling terkait dan harus dimaknai secara bersama-sama. Satu pasal mengatur paradigma pengelolaan ekonomi, sedangkan lima pasal lainnya mengatur paradigma kewajiban sosial negara terhadap rakyat.
Apabila keenam pasal ekonomi-sosial tersebut dimaknai secara bersama, menjadi jelas mengapa para pendiri bangsa menegaskan bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam (SDA) strategis. Tentu saja karena tugas sosial-ekonomi negara terhadap rakyat sangat berat sehingga akan mengandalkan SDA sebagai sumber pembiayaannya.
Mengaburkan jalan
Setelah sekian lama, kebijakan ekonomi Indonesia yang cenderung liberal telah mereduksi peran besar negara dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keenam pasal ekonomi-sosial bahkan telah dimaknai secara terpisah sehingga seolah tidak saling terkait. Akibatnya, meskipun Pasal (33) menegaskan bahwa seluruh rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi, tetapi konsekuensi dari amanah tersebut yang antara lain kewajiban untuk memberikan akses modal yang sama bagi seluruh warga negara, baik modal kapital maupun modal ilmu, tidak dijalankan.
Akan tetapi, Pasal (31) yang mewajibkan negara memberikan modal ilmu bagi seluruh rakyat telah digeser lewat liberalisasi pendidikan. Akibatnya, negara tidak lagi berkewajiban memberikan akses dan jaminan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat. Liberalisasi telah membeda-bedakan hak rakyat dalam mendapatkan pendidikan. Alasan klasik bahwa negara tidak memiliki cukup dana tak masuk akal karena Indonesia memiliki SDA yang melimpah. Seharusnya SDA dimanfaatkan sebagai modal dalam membangun bangsa, termasuk modal untuk menyediakan pendidikan setinggi-tingginya. Akan tetapi, liberalisasi pendidikan dan liberalisasi SDA telah memisahkan keterkaitan antara kewajiban untuk menjamin pendidikan dan kewajiban untuk menjadikan SDA sebagai modal pembangunan.
Tegas dinyatakan dalam Pasal (23) bahwa APBN adalah untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya kewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar, memberikan penghidupan yang layak lewat lapangan kerja, dan sebagainya seharusnya tecermin dalam alokasi APBN. Namun, saat ini APBN tidak lagi ”berkewajiban” mengalokasikan anggaran untuk memenuhi kewajiban tersebut karena kewajiban negara untuk menciptakan lapangan kerja, misalnya, telah disimpangkan menjadi sekadar menciptakan iklim usaha yang baik dan menyerahkan penciptaan lapangan kerja kepada swasta.
Padahal, apabila Pasal (27) diyakini sebagai amanah yang harus dilaksanakan, maka banyak jalan untuk menciptakan lapangan kerja. Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia, tetapi pemerintah memilih membebaskan ekspor rotan mentah. Seharusnya, melimpahnya rotan di Kalimantan menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk membangun industri pengolahan berbasis SDA rotan. Selain akan menciptakan lapangan kerja dan memberikan penghidupan yang lebih baik bagi masyarakat, juga akan mengurangi kesenjangan antara wilayah Jawa dan luar Jawa. Apabila kebijakan yang sama juga dilakukan untuk kekayaan SDA lainnya, seperti timah, coklat, kelapa sawit, dan SDA lainnya.
Pengelolaan SDA yang menyimpang dari Pasal (33) juga akan berpengaruh terhadap APBN. Apabila dilihat dari struktur APBN, pemerintah memang mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk subsidi BBM, listrik, dan pupuk sehingga seolah tepat untuk memotong segera dipangkas. Padahal, masalah sesungguhnya bukan pada besarnya alokasi subsidi, tetapi pada kesalahan pengelolaan SDA energi.
Untuk subsidi listrik, misalnya, tarif dasar listrik (TDL) cenderung meningkat karena bauran energi (energy mix) PLN dari BBM mencapai sekitar 85 persen. Biaya produksi dapat ditekan apabila energi yang digunakan adalah gas dan batu bara. Namun, liberalisasi SDA lewat berbagai undang-undang, mengakibatkan PLN tidak mendapatkan jaminan pasokan gas dan batu bara sehingga harus menggunakan BBM yang jauh lebih mahal.
Ternyata pengelolaan ekonomi yang semakin menyimpang dari tujuan pembentukan negara Republik Indonesia terjadi karena ekonomi tidak dijalankan sesuai jalan ekonomi konstitusi. Jadi, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan koreksi terhadap arah kebijakan ekonomi dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai referensi.
Hendri Saparini Pengamat Ekonomi, Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/11/03582949/kembali.pada.jalan.ekonomi.konstitusi
rakyat selalu dalam posisi sulit..
BalasHapus[...] here saying, “Rencana Kenaikan tarif listrik sekitar 18% di bula [...]
BalasHapus[...] here saying, “Rencana Kenaikan tarif listrik sekitar 18% di bula [...]
BalasHapus