Sebaiknya ibukota baru jangan di Jonggol. Tapi di Kalimantan.
Kenapa?
Karena pemindahan ibukota ke Jonggol justru akan menambah masalah.
Pertama Jonggol yang saat ini hijau dengan sawah dan kebunnya merupakan satu pemasok udara bersih bagi kota Jakarta. Jika kita lihat peta kota Jakarta dari Google Map, kita lihat Jakarta sudah berubah jadi hutan beton dan aspal. Area coklat/merah keputihan menandakan tanah tersebut sudah jadi hutan beton dan aspal. Sementara area yang hijau masih didominasi kebun/sawah.
Hanya asap kendaraan yang dihasilkan untuk mengisi udara Jakarta. Jika Jonggol berubah jadi seperti Jakarta, bagaimana lagi penduduk Jakarta bisa menghirup udara segar? Saat ini Jakarta sudah menjadi kota ke 3 terkotor udaranya di dunia setelah kota Meksiko dan Bangkok (Indosiar.com).
Dari peta satelit di atas, untuk wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, 50% sudah berubah jadi hutan beton dan aspal. Sawah dan Kebun yang hijau tinggal 50% lagi. Jika ibukota tetap di daerah tersebut, maka arus urbanisasi ke Jabotabek dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dsb tetap tidak terbendung.
Kedua, orang-orang kaya sudah berspekulasi membeli tanah puluhan bahkan ratusan hektar di Jonggol. Jika saat ini harga tanah di Jonggol sekitar Rp 100 ribu/m2, jika sudah diumumkan ibukota dipindah ke Jonggol, maka harganya bisa naik hingga Rp 1 juta lebih per m2! Artinya jika ibukota baru ini luasnya 500 km2 atau 500 juta m2, maka pemerintah harus menyediakan uang Rp 500 trilyun hanya untuk pembelian tanah. Terlalu mahal.
Sebaliknya jika di Kalimantan, pemerintah bisa menggunakan lahan milik negara eks HPH yang harganya paling-paling cuma Rp 10 ribu/m2. Modal yang diperlukan untuk pembebasan tanah paling cuma Rp 5 trilyun. Ini cuma 0,5% dari dana APBN.
Setelah jadi ibukota, pemerintah bisa menjual 100 juta m2 tanah seharga Rp 100 trilyun yang bisa dipakai untuk mendanai pembangunan ibukota.
Ketiga, dengan memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Jonggol yang relatif dekat, maka kemacetan tidak berkurang. Bahkan bisa bertambah.
Saat ini saja banyak orang Bogor, Bekasi, dan Tangerang yang hilir mudik ke Jakarta untuk bekerja. Jadi jika ibukota dipindah ke Jonggol, arus transportasi bertambah dari Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi ke Jonggol. Jarak yang terlalu dekat membuat orang malas untuk pindah rumah.
Keempat, boleh dikata di Jakarta sudah nyaris tidak ada resapan air. Air hujan yang ada menggenang jadi banjir dan segera terbuang ke laut melalui kali, kanal, dan sungai yang ada. Dari wilayah seperti Jonggol itulah Jakarta dapat rembesan/pasokan air tanah yang bersih.
Jika Jonggol juga jadi hutan beton seperti Jakarta, maka air Jakarta semakin sulit dan kotor. Saat ini saja terjadi penurunan tanah 10-20 cm/tahun akibat rumah dan gedung-gedung yang ada menyedot air tanah di Jakarta untuk kemudian terbuang ke laut. Jika Jonggol tidak memasok air tanah lagi ke Jakarta, tentu Jakarta bertambah amblas.
Lihat peta di bawah di mana daerah merah merupakan hutan beton dan aspal yang sudah ada. Ada pun daerah kuning yang meliputi Jonggol adalah calon hutan beton dan aspal baru jika Jonggol jadi ibukota. Wilayah hijau yang jadi sumber air tanah dan udara bersih bagi penduduk Jakarta makin kecil.
Selain itu, kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan kemacetan yang parah. Sebagai contoh perjalanan dari Kampung Melayu ke Blok M yang hanya 30 km pulang-pergi rata-rata ditempuh 4 jam pp. Padahal harusnya cuma 0,5 jam saja jika lancar. Bahkan dengan kondisi hujan lebat bahkan banjir, sekali jalan saja bisa 4,5 jam lamanya!
Bayangkan jika 2 juta orang yang bepergian, maka kerugian waktu 7 juta jam/orang/hari. Setahun 2,1 milyar jam lebih terbuang percuma.
Bensin yang harusnya cuma 3 liter/hari bisa bengkak jadi 12 liter/hari atau boros 9 liter/hari. Jika 2 juta orang, maka pemborosan BBM adalah 18 juta liter/hari atau 4,8 milyar liter/tahun. Artinya Rp 21,6 trilyun/tahun hilang akibat pemborosan BBM karena kemacetan. Belum lagi kerugian kerusakan mesin yang panas akibat kemacetan sehingga mogok.
Jadi pemindahan ibukota dari Jakarta justru akan menghemat keuangan rakyat dan negara.
Jakarta Kota Terkotor No. 3 di Dunia
indosiar.com, Jakarta - Jakarta menduduki peringkat ke 3 sebagai kota paling buruk kualitas udaranya di dunia setelah Mesiko City dan Bangkok.
http://www.indosiar.com/fokus/27433/jakarta-kota-terkotor-no-3-di-dunia
Udara Jakarta Terkotor ke-3 di Dunia
Rabu, 09 Juli 2008, 18:04 WIB
Berdasarkan penelitian Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP) Jakarta menduduki urutan ke-3 sebagai kota terpolusi di dunia.
Kondisi ini membuat Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) khawatir. Mereka mendesak Pemrov Jakarta memperbaiki kondisi udara Ibu kota.
'Jika kondisi udara tidak diubah dan dibuat kebijakan lingkungan yang tepat, saya khawatir Jakarta akan menduduki urutan pertama sebagai kota terpolusi di dunia,' ujar Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Slamet Daroyni, Rabu (9/7).
Slamet memaparkan, ada tiga indikator yang menjadikan Jakarta sebagai kota terpolusi. Pertama, emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bergerak yang sangat tinggi. Kedua, hari baik yang memiliki udara bersih dan sehat masih kecil. Ketiga, penderita penyakit inpeksi saluran pernapasan akut (Ispa) masih tinggi. (Bm/Btt)
http://www.lintasberita.com/go/125974
Tanah Amblas, Pembangunan yang Mengabaikan Lingkungan ?
indosiar.com, Jakarta - Amblasnya Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara, membuat masyarakat terperangah. Benarkah peristiwa ini gambaran situasi tanah di Jakarta, karena efek pembangunan?. Masih amankan Jakarta sebagai tempat tinggal ?. Begitu banyak pertanyaan tentunya. Namun satu hal yang jelas, amblasnya Jalan RE Martadinata karena dampak dari pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Kasus ini harus dijadikan pelajaran, jika tak ingin Jakarta amblas ditelan bumi.
Beberapa hari lalu, masyarakat Jakarta dikejutkan satu peristiwa penting, Jalan RE Martadinata di Jakarta Utara, tak jauh dari pelabuhan petikemas Tanjung Priok, amblas ke perut bumi sedalam sekitar tujuh meter, dengan panjang sekitar 103 meter. Jalan beton yang baru dibangun sebulan lalu inipun amblas.
Benarkah ini isyarat tanah Jakarta sudah keropos dan tak aman lagi ditempati, atau berpotensi amblas ditelan bumi, sebagaimana diprediksi beberapa kalangan?. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo tak sependapat dengan analisa itu.
Ketika datang mengunjungi lokasi tanah amblas tiga hari lalu, gubernur menerima penjelasan langsung dari pejabat teknis kantor Kementerian Pekerjaan Umum, soal apa sebenarnya yang terjadi. Perkiraan sementara, ada gerusan air di bawah jalan ini, sementara di sekitarnya juga terjadi pengerukan tanah.
Tapi menurut pihak PU, penyebab pastinya masih diselidiki.
Sejumlah pakar dan aktivis lingkungan, kabarnya jauh hari sudah memperingatkan Pemprof DKI Jakarta, akan potensi ancaman di jalan ini. Bahkan disebut, 30 tahun yang akan datag Jakarta akan tenggelam jika Pemda Jakarta tidak peduli dengan pembangunan yang mengabaikan lingkungan.
Penyebabnya, permukaan tanah terus menurun, banjir rob dan bandang yang rutin datang, menimbulkan proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut.
Menteri PU Joko Kirmanto mengaku, dugaan sementara amblasnya jalan ini karena longsoran tanah akibat pengaruh olakan air dari waduk Sunter yang menggerogoti tanah dibawah jalan yang amblas.
Menurut Joko, selain di lokasi terjadinya amblas ini, masih ada tiga lokasi lain di Jalan RE Martadinata yang berpotensi sama, dan sewaktu-waktu bisa terjadi amblas lagi. Yakni di sebelah timur dan sebelah barat Jalan RE Martadinata, dan Jalan RE Martadinata arah Ancol. Untuk memperbaikinya, sudah dilakukan perbaikan konstruksi jalan dengan mendirikan tiang pancang.
Tetapi menurut Yayat Supriyatna, seorang pengamat tata kota, faktor kelalaian teknis tidak bisa diabaikan, karena tidak adanya kajian mendalam sebelum melakukan peningian jalan. Begitupun dengan perubahan tanah, tidak diantisipasi.
Menurut Yayat, selain di Jakarta Utara, tanah yang rawan penurunan juga terdapat di beberapa lokasi di Jakarta, yakni di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Setiap tahun terjadi penurunan antara 10 hingga 20 sentimeter. Pemerintah perlu mewaspadai, misalnya mulai membatasi pembangunan gedung-gedung di seputar wilayah itu.
Walhi, lembaga swadaya masyarakat yang konsen dengan masalah lingkungan hidup, juga menilai sama. Bahwa potensi tanah amblas di wilayah DKI Jakarta bukan hanya di Jalan RE Martadinata, tapi juga di beberapa tempat lain, dan harus diantisipasi oleh pemerintah propinsi DKI Jakarta.
Dalam melakukan pembangunan, pemerintah perlu memperhtikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Jika tidak, mungkin benar kata banyak pengamat, tiga puluh tahun mendatang, Jakarta akan amblas ditelan bumi. (Tim Liputan/Sup)
http://www.indosiar.com/fokus/87520/tanah-amblas-pembangunan-yang-mengabaikan-lingkungan-
Betul sekali, saya setuju kalau dipindah ke Kalimantan, Ir Sukarno pasti telah melakukan pertimbangan yang sangat matang sehingga beliau memilih Kalimantan sebagai calon ibukota RI, harap kita ingat, presiden Sukarno juga seorang insinyur jadi pasti pertimbangan yang beliau ambil pasti dapat dipertanggungjawabkan secara teknis dan ilmiah
BalasHapusmasalah penanganan jakarta yg tidak baik, ya itu masalah pemilihan pemimpin. Kalo cara memilih pemimpin seperti gaya sekarang, kan lebih ditentukan oleh adanya calon dari partai yang memiliki dukungan kuat, punya dana yang banyak untuk team sukses dan kampanye, mengenai uji kecakapan, kan bisa diatur melalui mas media mana yang dibelakangnya dgn dana kuat dan jaringan kuat.
BalasHapusSaya pikir, dulu wkt ali sadikin membangun jakarta dan memimpim jakarta, walaupun dgn dana yang relatif cukupan saja, tetapi tepat sasaran, yi jalan2 dan jembatan, sarana pendidikan dan kebudayaan, gedung pemerintahan, transportasi publik diperbanyak dan dan diperbaharui dengan dukungan sistem keuangan yang baik, pom2 bensin nasional ditempat strategis agar lancar dan memberikan ruang lapangan pekerjaan rakyat. penghijauan dilaksanakan dimana-mana, sarana pelabuhan dan lain2. para pejabatnya diharuskan memberikan contoh2 yg baik kepada masyarakat, dekat dan komunikatif dgn tokoh masyarakat, kalau ada perselisihan dgn warga, pengadilan sbg jalan keluar, tidak diintervensi. kalau DKI kalah ya ganti rugi kepada masyarakat dll.Padahal waktu itu Ali Sadikin kurang didukung pak Harto, karena ... sepertinya pak Harto takut disaingi anak bangsanya sendiri.. maklum aja.. rada2... serakah gitu...Tapi yg sekarang... setelah bang Ali... kagak ada lagi seperti dia.... yah... gak ngerti... padahal.. jendralnya... juga ada dan banyak, juga ... sarjana... dan pendukungnya... juga gak beda2 amat. kalau tidak bisa disebut ... sekarang2 ini lebih baik..dan banyak... tapi hasilnya... kurang.. Yang beda moral dan cita2nya...
Mari cari pemimpin atau gubernur yang benar2 mau untuk rakyat...bukan yang harus cari... dana untuk ngembaliin uang tim sukses dan kampanye.!!.. apa ada yah.??.. Zaman gini... jadi pemimpin harus banyak duit... utk kampanye... dan tim sukses... walah... belajar ke daerah baduy... aja yuk..Pemimpin itu yang bermoral tinggi... dan berjiwa... kerakyatan....
Terimakasih pak Arifin.
BalasHapusSiapa pun pemimpinnya, sulit untuk membuat Jakarta lebih baik karena memang penduduk Jakarta sudah terlampau padat.
saya bukannya tidak setuju ibukota di alihkan......... tapi.... aklao pun itu terjadi.... saya pun ngak setuju di pindahkan kemana2,,,,, selain ketempat dimana dulu ibukota kita ini dalam status darurat.. di pindahkah sementara...... ke bukit tinggi....... jadi kalo ke bukit tinggi sumatera barat saya setuju.... karena dilihat dari perkembangan bukit tinggi pantas tingkat pertumbuhan perekonomian masarat sangat bagus...... dan juga salah satu objeck wisata yang strategis...... jadi saya ngak setuju kalo ibukota ini... di pindahkan ke sembarang tempat........ kalo ngak saya setuju ke perbatasan anata malaisia dan indonesi... pas di garis batas negara.........
BalasHapusasik dong w jadi deket kekota...?
BalasHapuskapan tuh rencananya.....?
emmaakkkk kita jadi orang kota makkkkk......!!!! hiiiiiiiiiiiiii