Nasabah CITIBANK TEWAS dihajar Debt Collector:
http://bisnis.vivanews.com/news/read/212608-bi--bank-harus-jalankan-prinsip-kehati-hatian
Harusnya Direktur dan Komisaris Bank turut dipenjara karena merekalah yang membayar para pembunuh tsb. Media Massa harus mengumumkan nama Bank tsb agar para nasabah Bank tidak memakai jasa Bank tsb. Karena tak semua kredit macet itu terjadi akibat nasabah nakal. Bisa saja karena usahanya bangkrut, dsb.
Membengkaknya tagihan dari pinjaman awal Rp 48 juta jadi Rp 100 juta, menunjukkan riba/bunga yang diambil terlampau mencekik leher. Lebih besar rente-nya daripada pinjamannya. Siapa pun juga malas membayar bunga sebesar itu!
Selain itu, Muji, juga nyaris buta karena dianiaya oleh Debt Collector Bank. Menkumham, Patrialis Akbar, cuma gara-gara telat bayar kredit Rp 2 juta saja dicaci-maki dan diancam oleh Debt Collector Citibank sehingga sakit hati. Sementara saat Meutia Hafidz disandera di Iraq, ibunya justru diteror Debt Collector Citibank karena Meutia Hafidz tidak bisa membayar cicilan kredit. Bayangkan jika ibunya meninggal karena stroke/stress akibat teror Debt Collector Citibank? Begitukah cara Debt Collector Citibank "melayani" nasabah Citibank?
Agresifnya para marketing Bank menawarkan KTA (Kredit Tanpa Agunan) via SMS, mal-mal segala macam tanpa prosedur Bank yang standar (penghasilan nasabah, harta nasabah) sehingga pengecekkan alamat nasabah (nomor telpon dan alamat rumah) mengakibatkan banyak kredit macet karena nasabah tidak mampu atau bangkrut. Para Debt Collector juga sering menelpon alamat yang salah sehingga justru orang lain yang kena teror berupa kata-kata kotor.
Gubernur Bank Indonesia (BI) harusnya juga melindungi nasabah Bank dari premanisme Bank karena belum tentu kredit macet karena nasabahnya nakal. Bisa jadi karena nasabah tsb sedang mengalami kesulitan ekonomi. Dan hal itu juga tak lepas dari kesalahan Bank sendiri yang tidak mensurvey kondisi ekonomi nasabahnya.
Hasil visum Sekjen Partai Pemersatu Bangsa (PPB) Irzen Octa yang dikantongi polisi juga aneh. Di situ disebut tidak ada tanda pukulan benda keras di tubuh pria 50 tahun itu. Debt collector Citibank menginterogasi dengan menendang kursi dan memukul tangan Irzen.
Tapi kenapa Irzen mengalami pecah di pembuluh darah di kepala. Hal itu mengakibatkan memar di batang otak dan ada luka lecet di tengah hidung?. Dan darahnya menempel di gorden dan dinding kamar di Citibank?
Lebih aneh lagi polisi tidak mengenakan pasal Pembunuhan meski korban tewas di depan kantor para tersangka dalam waktu kurang dari 1 jam setelah penyiksaan.
Bisa jadi kasus tewasnya Irzen oleh Debt Collector Bank ini cuma permukaan kecil dari Gunung Es yang muncul di permukaan. Nasabah yang tewas/cacat baik fisik mau pun psikis yang tidak ketahuan/diberitakan mungkin jauh lebih banyak lagi.
Citibank sangat berbahaya. Marketingnya kelewat agresif menawarkan kredit tanpa agunan kepada karyawan2 kecil dgn memalsu slip gaji. Yg penting dapat komisi. Riba dan Denda/penaltinya gila. Hingga jika telat, dalam 3 tahun saja pinjaman Rp 2 juta bisa jadi Rp 10 juta. Jika tak bayar, Debt Collectornya akan menteror secara fisik dan psikis sehingga korban meninggal. Saya yakin selain Irzen banyak nasabah Citibank yg meninggal karena teror tsb.
http://www.facebook.com/pages/Gerakan-Anti-Citibank-Debt-Collector/175114229205673
Protes Tagihan Kartu Kredit, Sekjen Partai Dibunuh Debt Collector Citibank KAMIS, 31 MARET 2011 | 12:36 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta -Kepolisian Resor Jakarta Selatan mengatakan pembunuhan terhadap Sekretaris Jenderal Partai Pemersatu Bangsa (PPB), Irzen Octa, 50 tahun, dipicu masalah tagihan kartu kredit yang tidak sesuai. Hal itu dikatakan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Selatan, Ajun Komisaris Besar Budi Irawan, Kamis 31 Maret 2011.
Berita terkaitMotif Pembunuh Amanda Diduga Bukan Dendam Enam Proyektil Ditubuh Dua korban Penembakan MedanTiga Saksi Penembakan Pengusaha IkanNasi Tumpeng Terakhir Amanda Amanda Telat Pulang Karena Dipanggil Guru"Motif pembunuhan karena utang. Tagihan kartu kredit yang tidak sesuai," kata Budi saat dihubungi.
Menurut polisi, korban tidak terima karena tagihan kartu kreditnya membengkak dari Rp 48 juta menjadi Rp 100 juta. Hal itu terjadi saat ia akan membayar tagihan kartu kredit di kantor Citibank Cabang Menara Jamsostek, Jakarta Selatan pada Selasa (29/3) lalu.Akibat kesal, pegawai Citibank berinisial A beserta dua rekannya H dan D menghabisi nyawa Irzen di salah satu ruang di lantai 5 gedung itu. Kami temukan barang bukti di TKP, berupa bercak darah yang menempel di gorden dan dinding ruangan di lantai lima," kata Budi lagi.
Polisi telah menetapkan tiga orang tersangka dalam peristiwa itu. Sejauh ini petugas juga sudah memeriksa lima orang, yaitu A yang merupakan pegawai Citibank, H dan D yang bertugas sebagai debt collector. Dari hasil visum terhadap korban, diketahui pembuluh darah pada otak korban pecah.
Ketiga tersangka, kata Budi, dijerat pasal berlapis yaitu pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dengan ancaman 2,8 tahun, pasal 170 tentang pengeroyokan dengan ancaman 5,5 tahun dan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman 1 tahun penjara. Irzen sendiri ditemukan meninggal Selasa 29 Maret 2011 pagi di gedung Menara Jamsostek, Jakarta Selatan.Belum ada penjelasan resmi mengenai kasus ini dari pihak Citibank.
ARIE FIRDAUS
http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2011/03/31/brk,20110331-324153,id.html
Jumat, 01/04/2011 13:48 WIB
Terteror Debt Collector Bank, dari Telepon Hingga Kata-kata Kasar
Nograhany Widhi K - detikNews
Jakarta - Aneka cara penagih utang (debt collector) menagih utang. Tak masalah bila caranya masih wajar. Namun terkadang dianggap berlebihan, bahkan menjurus ke arah premanisme.
Itulah yang diduga dialami oleh Sekjen Partai Pemersatu Bangsa (PPB) Irzen Octa, yang tewas tak lama setelah mengecek tagihan kartu kreditnya di Citibank. Diduga, sebelum tewas Octa dihajar oleh debt collector. Seorang nasabah bank lain, Muji Harjo yang utang Rp 12 juta nyaris buta akibat dianiaya oleh penagih utang.
Sejumlah pembaca detikcom membagikan pengalamannya berhadapan dengan pihak penagih utang dari bank. Seperti yang dituturkan Koko dalam emailnya pada detikcom, Jumat (1/4/2011).
Ceritanya, satu bulan setelah ayah Koko meninggal 6 Juli 1996, keluarganya mendapat penelepon dari penagih utang, untuk melunasi utang sepupu Koko sebesar Rp 4 juta. Rupanya, ayah Koko dijadikan penjamin oleh sepupunya tanpa sepengetahuan ayah dan keluarga Koko.
"Yang saya highlight bukan hanya debt collector yang ketika telepon dan ibu saya yang menerima, mengucapkan kata-kata sangat kasar," jelasnya.
Sempat si penagih mengancam akan datang ke rumah Koko dan menyita barang-barang. "Ancaman itu kami tanggapi dengan meminta mereka datang ke rumah. Tapi kenyataannya mereka tidak datang. Padahal kalau sampai datang, 'sambutan' dari kami akan sangat meriah," jelas Koko.
Lain lagi dengan yang dialami Tantri Papilaya, dia merasakan teror dari penagih utang melalui telepon rumah yang salah sambung. Saat itu dia memasang saluran telepon di rumah barunya di kawasan Serpong. Setelah terpasang, telepon tak berhenti berdering dari penagih utang dan mencari Fransiska. Padahal, tak ada nama Fransiska di rumahnya.
"Mereka menagih dan meneror dengan cara kasar terhadap anggota keluarga saya, walau sudah kita minta mereka datang untuk membuktikan bahwa tidak ada yang namanya Fransiska di rumah saya," ujar Tantri.
Akhirnya nomor telepon yang dimiliki Tantri memang bekas dipakai seseorang. Tantri akhirnya terpaksa mengurus ke Telkom untuk mengganti nomor telepon rumahnya, yang memakan waktu lama.
Apa yang dialami Tantri, serupa dengan yang dialami Jhon. Jhon yang menempati rumah bekas tetangganya menerima telepon berpuluh-puluh kali dari penagih utang dari satu bank internasional. Yang dicari penagih utang adalah tetangga Jhon, penghuni yang lama.
Jhon dan istrinya menjelaskan bahwa tetangganya itu sudah pindah. Bahkan tetangganya mengaku tidak merasa memiliki utang. Namun penagih utang itu tetap ngotot.
"Kita suruh kirim tagihan pun mereka tidak kirim. Disuruh datang pun mereka ngotot seolah-olah mengancam. Suatu ketika ada yang datang ngakunya tidak tahu padahal dari suara sepertinya yang biasa telpon, akhirnya telepon di rumah saya sekarang sudah tidak pernah kita angkat. Susah memang, semua sudah kita omong tapi tetap aja ndablek orangnya," jelas Jhon.
Namun yang lebih parah dialami Leonard, warga Bintaro, Tangerang Selatan. Tetangga Leonard yang berutang, Idris, namun penagih utang berulang kali menelepon ke rumahnya. Anak Leonard yang menerima sudah berkali-kali mengatakan telepon salah sambung, dan mengatakan Idris adalah tetangga sebelah rumahnya.
"Bohong! Bohong kamu! Kok kamu tahu kalau Pak Idris tidak ada di rumahnya? Dari mana kau tahu kalau Pak Idris tidak ada di rumahnya?" tulis Leonard menirukan anaknya yang saat itu ditelepon penagih utang.
Si penagih meminta nomor HP anak Leonard yang masih berusia 11 tahun. Kemudian mengirimkan SMS. "'Josua bilang ke Bapaknye abi si Idris buat beresin utangnye’. Anak saya juga menjelaskan bahwa hal yang sama juga diterima teman sebayanya tetangga depan rumah," jelas Leonard.
Dia pun mempertanyakan motif penagih utang dari bank yang memanfaatkan anak-anak itu.
"Debt collector jelas-jelas telah mengeksploitasi anak-anak demi mencapai tujuannya. Apakah ini strategi atau metode yang diinginkan oleh Bank untuk mendapatkan kembali kredit macetnya?" ujar Leonard gusar.
(nwk/nrl)
Debt Collector Sudah Makan Korban, BI Jangan Diam Saja
Herdaru Purnomo - detikFinance
Jakarta - Bank Indonesia (BI) dinilai lepas tangan terhadap perlakuan kasar debt collector. Karena perilaku debt collector seperti dalam kasus Citibank sudah kasar dan memakan korban, BI didesak ikut turun tangan menindak sebagai bentuk perlindungan nasabah.
"Debt collector kan merupakan special purpose vehicle (SPV) itu oke-oke saja, tapi kalau sudah kekerasan itu sudah kriminal BI harus proaktif. Ini BI seolah-olah melindungi bank saja. BI harus atur itu bank punya debt collector," tutur Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis kepada detikFinance, Jumat (1/4/2011).
Harry mengatakan, bukan hanya urusan perbankan saja yang harus diurusi BI. Tapi perlindungan nasabah menjadi yang utama.
"Secara law enforcement (penegakan hukum) memang ini wilayah Kepolisian. Tapi harus ada MoU BI-Kepolisian dan BI harus proaktif. Kalau BI lepas tangan, berarti BI tidak bertanggung jawab," tegas Harry.
Bahkan menurut Harry, belajar dari kasus kekerasan debt collector yang baru saja terjadi, harusnya debt collector disahkan dan diatur undang-undang. Agar debt collector benar-benar kredibel.
"Kadang debt collector itu bagus bagi dunia perbankan untuk kejar nasabah bandel. Tapi kalau sudah kekerasan itu salah," imbuh Harry.
"Jika BI tidak bertindak maka hal ini akan dibawa ke Komisi XI. Menjadi agenda sendiri," tambah Harry.
Harry menyatakan jika ada nasabah yang meninggal akibat kekerasan oleh debt collector, maka itu tanggung jawab Gubernur BI.
"Jika sudah sampai ada yang meninggal maka Gubernur BI harus tanggung jawab dunia-akhirat. Penyebabnya ini berarti ketiadaan perlindungan nasabah," ucap dia.
Selama ini menurut Harry kalau debt collector bertindak sewenang-wenang, maka hanya dikatagorikan sebagai perbuatan murni kriminal.
"Tapi jika seorang nasabah menunggak, atau jatuh miskin apa bisa disalahkan nasabah? Oke kalau memang salah, pasti bank sudah ada manajemen risikonya, pemberi kredit jangan ngoyo ngejar nasabah sampai pakai debt collector dan sampai meninggal. Lebih baik dipecat itu Direktur Kreditnya. Laba besar bank juga," jelas Harry.
Dia menambahkan kartu kredit dan KTA (kredit tanpa agunan) itu sudah mempunyai risiko yang tinggi. "Jika nasabah tidak bisa bayar ya itu kelalaian bank sendiri," tukas Harry.
Seperti diketahui, Sekjen Partai Pemersatu Bangsa (PPB) Irzen Octa (50) tewas dalam proses pelunasan kredit kepada debt collector Citibank.Korban pada Selasa (29/3) pagi mendatangi kantor Citibank untuk melunasi tagihan kartu kreditnya yang membengkak. Menurut korban, tagihan kartu kredit Rp 48 juta. Namun pihak bank menyatakan tagihan kartu kreditnya mencapai Rp 100 juta.
Di situ, korban kemudian dibawa ke satu ruangan dan ditanya-tanya oleh 3 tersangka. Usai bertemu 3 tersangka, korban kemudian tewas di depan kantor tersebut.
Kapolres Jakarta Selatan Kombes Gatot Edy Pramono mengatakan, korban tewas setelah mendatangi Menara Jamsostek. "Dia datang ke Citibank bermaksud menanyakan jumlah tagihan kartu kreditnya yang membengkak," kata Gatot saat dihubungi wartawan, Rabu (30/3).
Debt Collector Citibank Tendang Kursi & Pukul Tangan Irzen
Didi Syafirdi - detikNews
Jakarta - Hasil visum Sekjen Partai Pemersatu Bangsa (PPB) Irzen Octa yang dikantongi polisi menunjukkan tidak ada tanda pukulan benda keras di tubuh pria 50 tahun itu. Debt collector Citibank menginterogasi dengan menendang kursi dan memukul tangan Irzen.
"Hasil visum sementara tidak ditemukan adanya pukulan benda keras. Hanya luka di hidung," kata Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Gatot Edy Pramono di Mapolres Jaksel, Jl Wijaya III, Jakarta Selatan, Jumat (1/4/2011).
Gator menjelaskan, Irzen mengalami pecah di pembuluh darah di kepala. Hal itu mengakibatkan memar di batang otak dan ada luka lecet di tengah hidung.
Atas tewasnya Irzen polisi telah menerapkan 3 tersangka. Mereka adalah H atau Henry Waslinton (25), D atau Donald Harris Bakara (26) dan A atau Arief Lukman (26). Ketiganya dikenai pasal 351 ayat 3 jo pasal 170 jo pasal 335 KUHP. Ancaman hukuman atas ketiganya adalah 7 tahun.
"Menurut pengakuan para tersangka, mereka hanya menginterogasi. Ada yang memukul meja, menendang kursi, menepuk bahu korban sampai ada yang memukul tangannya," lanjut Gatot.
Jika hanya seperti itu mengapa korban bisa tewas? "Ini hasil visum sementara. Kita akan bertanya pada saksi ahli apa yang menyebakan korban sampai meninggal," ucap Gatot.
Irzen Octa tewas pada 29 Maret 2011, sesaat setelah diminta menyelesaikan tunggakan kartu kreditnya. Sebelum tewas, Irzen diinterogasi oleh Arif, Henry dan Donald di ruang Cleo Menara Jamsostek, Jakarta Selatan.
Beberapa saat setelah diinterogasi oleh ketiganya, Irzen ditinggalkan sendirian di dalam ruangan. Kemudian ada saksi yang melihat Irzen terjatuh di lantai. Irzen lalu dibawa ke RS Mintoharjo, tetapi sudah tidak bernyawa. Dia lantas dibawa ke RSCM untuk diotopsi. Jenazah kemudian dijemput keluarganya dan dimakamkan di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.
(vit/nrl)
Muji, Korban Debt Collector Tuntut Bank Hingga Tuntutan Terpenuhi
Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Seorang nasabah bank, Muji Harjo yang nyaris buta karena dianiaya oleh penagih utang (debt collector) akan tetap menuntut bank hingga tuntutannya terpenuhi. Menurut kuasa hukumnya, akibat penganiayaan tersebut, mata Muji nyaris buta sehingga menimbulkan traumatik yang mendalam.
"Kami akan terus menuntut bank hingga tuntutan kami dipenuhi," kata kuasa hukum Muji, Sonny Singal saat berbincang dengan detikcom, Jumat, (1/4/2011).
Menurut Sonny, akibat luka tersebut, Muji harus merogoh kocek Rp 70 juta lebih untuk operasi tulang mata. Selain itu Muji menjadi tidak bisa bekerja yang mengakibatkan istri dan anak- anaknya terlantar.
"Apa hal ini dibiarkan?" tandas Sonny.
Padahal menurut Surat Edaran Bank Indonesia (BI) No 11/10/DASP dibuat di Jakarta 13 April 2009 halaman 39 ayat b berbunyi Penerbit (bank) harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum. Dan (ayat c) dalam perjanjian kerjasama antara Penerbit (bank) dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausul tentang tanggung jawab Penerbit (bank) terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.
"Jadi tidak bisa bank lepas tanggung jawab. BI juga harus bertanggung jawab untuk mengawasi bank-bank tersebut," tandasnya.
Cerita tersebut bermula ketika Muji Harjo mempunyai utang kartu kredit bank sebesar Rp 12 juta. Karena belum sanggup membayar maka Muji menyerahkan motor Yamaha Vega sebagai jaminan pada 2007.
Namun, pada 13 Mei 2010 dua orang penagih utang datang lagi. Di sinilah terjadi penganiayaan yang menyebabkan matanya nyaris buta.
"Mereka mengeroyok dan memukul mata kiri saya. Saat itu saya sedang memakai kaca mata, sehingga kaca mata pecah, hampir buta bila pecahan kaca mata masuk ke mata. Tulang mata dan tulang kening retak, kulit sekitar mata dan hidung sobek berdarah," tandas Muji.
(asp/rdf)
Patrialis Akbar Sakit Hati Dimaki-maki Debt Collector
Walaupun sudah menjadi menteri, Menkum HAM Patrialis Akbar pernah dimaki-maki dan diancam debt collector gara-gara telat membayar tagihan. Politisi PAN ini merasa sakit hati atas pengalaman pahit itu.
"Saya juga kebetulan nasabah Citibank. Saya juga pernah dimaki-maki waktu telat bayar. Sakit hati rasanya. Kejadiannya setelah saya menjadi menteri. Saya juga diancam, katanya kalau saya tidak bayar, nama saya akan di-black list dari seluruh bank. Saya sempat dipanggil, disuruh bayar, laporannya masih ada sampai sekarang," papar Patrialis yang menerima ancaman saat itu lewat telepon.
Kisah ini disampaikan Patrialis sebelum menghadiri acara pembahasan RUU Mata Uang antara Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/4/2011).
Namun demikian, Patrialis enggan melaporkan kelakuan nakal si debt collector tersebut. "Ya sebenarnya tidak enak juga hanya persoalan satu dua juta rupiah, terus saya dimaki-maki, diancam," ujarnya.
ANGGOTA DPR MEUTYA HAFIDZ:
Saya Disandera di Irak, Ibu Diteror Citibank
Nasabah harus tegas memberi sanksi kepada Citibank dengan tidak menggunakan produknya.
RABU, 6 APRIL 2011, 01:24 WIB Hadi Suprapto, Eko Huda S
VIVAnews - Anggota Komisi XI Bidang Keuangan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Golkar, Meutya Hafid, bersama sejumlah anggota dewan lain, mengembalikan kartu kredit terbitan Citibank. Dia mengaku punya pengalaman buruk menggunakan kartu kredit bank asal Amerika Serikat itu.
"Mengapa tadi kami mengembalikan, kami sama-sama punya pengalaman, ketika saya disandera di Irak pada 2005, Ibu saya diteror agar saya melunasi kartu kredit," kata Meutya saat rapat dengar pendapat antara Komisi XI DPR dengan Bank Indonesia dan Citibank di Senayan, Jakarta, Selasa malam, 5 April 2011.
Menurut dia, nasabah harus bersikap tegas memberi hukuman kepada Citibank dengan tidak menggunakan produknya. "Apa yang tadi saya lakukan itu adalah simbol sanksi kepada bank yang telah mencederai," kata dia.
Sejumlah anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat mengembalikan kartu kredit yang dikeluarkan Citibank. Mereka adalah Meutya Hafid, Sadar Subagya dari Gerindra, Laurent Bahandama dari Partai Amanat Nasional, dan Arif Budimanta dari PDI Perjuangan. Mereka menyatakan kecewa dengan perlakuan Citibank. "Saya sebagai pemegang kartu kredit Mastercard sejak 1992," kata Arif Budimanta.
Arif dan anggota DPR lainnya merasa kecewa penanganan nasabah yang menyebabkan kematian. "Kami kecewa terhadap perilaku Citibank terhadap rakyat Indonesia. Dengan ini kami kembalikan secara resmi dan kami tidak akan menggunakannya lagi," tambah Arif.
Sementara itu, Citi Country Officer untuk Indonesia Shariq Mukhtar mengatakan terkait kematian nasabahnya, Irzen Octa, Citibank tengah mencari kebenaran melalui proses hukum di kepolisian. "Kami tengah mencari kebenaran dalam kasus ini," kata dia. (umi)• VIVAnewshttp://nasional.vivanews.com/news/read/213210-saya-disandera-di-iraq--ibu-diteror-citibank
uang2 yg datangnya dari kartu kredit dan kta, kalo kita nggak mampu & nggak mau lagi membayar...yaa nggak usah dibayar......itu semua bukan uang milik bank; uang2 dingin dari LN yg digelontorkan ke bank2 seluruh dunia sebagai bisnis sampingan bank & karyawannya.. Jadi, kalo ada debt kolektor yg bersikap ingin "membunuh", yaaa......"dibunuh" saja duluan....... mengerti tidak...!!!???
BalasHapuskalo mo bunuh bunuhan hanya karena kartu kredit ya jangan punya kartu kredit aja.
BalasHapusini baru punya gaji 3 jt aja dah pengen punya kartu kredit.. huh !!
hal ini bermula dari pihak bank pemberi kredit seperti kartu kredit...kartu kredit adalah kredit kepercayaan,,dimana bank sebagai pemberi kredit tidak mengenal nasabahnya hanya berdasarkan verifikasi telp saja...dan hal ini mitigasi resiko tentang kartu kredit adala 100%...jd utk hal ini analis kredit bank harus benar-benar update tentang siapa debiturnya...jangan hanya karna target tapi melupakan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit...sebagai contoh abang saya bekerja di perusahan multinasional dan beliau ingin mempunyai kartu kredit,karena keinginan nya memiliki kartu kredit beliau mendatangi bank yang menyalurkan kartu kredit...tapi hasil nya permohonan kredit di tolak dengan alasan fix phone tidak ada yang angkat telepon di rumah...sementara teman saya ditawari melalu sales yang ada di mall dan teman saya yang hanya bekerja di perusahan tidak bonafit dan gaji dibawah repayment capacity tapi bisa bank pemberi kartu kredit memberikan nya hal ini dikarenakan memiliki fix phone yg bisa dihubungi dan dapat mengangkat telp rumah.....dan sekarang sudah jadi NPL dengan kolektibilitas macet....nah yang menjadi pertanyaan orang yang ingin mempunyai kartu kredit dan ingin menggunakan dengan baik dan memohon dengan cara yang baik selalu ditolak tetapi orang yang ditawari karena iseng-iseng jalan di mall selalu di setujui......hal ini selalu di alasankan karena telp rumah tidak ada yang angkat...sementara tidak semua orang berada di rumah hanya untuk menunggu verikasi dari analis kartu kredit....kalau menurut saya analis nya yang perlu di sekolahkan lagi agar tidak kecolongan dalam standart operating process
BalasHapuskasihan banget tuh,,,, debt collector emang kebanyakan pake kekerasan...
BalasHapusintinya sih kalo punya hutang harus bayar, tapi klo bunga dr 48jt sampai ke 100jt, itu orang nunggak berapa bulan wew
BalasHapussaya juga prnah kena sial debt collector ga cewek ga cowok sering telfon dengan omongan yg kasar sampai saya nangis, padahal sudah saya bilang org yg bersangkutan memang sudah resign bertahun2 lamanya, kenapa sih ga datang langsung aja kerumahnya grebek ato ga lu datang aja kekantor gw tanya sama hrdnya, ga berani datang langsung cuma bisa berkoar2 di telfon ck ck ck
Debt collector taik
BalasHapusbunuh saja semua dept colector krn semuanya bejat
BalasHapussmua deb kolektor gak jauh beda.
BalasHapusDi Tunas Mandiri Finance juga sama. telat 7 hari sudah kena denda, kena biaya tagih n pinalti Rp 500.000. bagusnya para komisaris atau pemegang saham, mengganti usahanya dengan nama Bank Rentenir atau Rentenir Finance
biasa nya orang yg menghujat lebih bejat dari yg di hujat,
BalasHapussadar mazzz,,,,
marketing nya menghalakan segala cara, nasabah kalo ga mampu ga usah pake kartu kredit,
BalasHapusPara penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat tertindas tidak berdaya karena diberi uang, konon hasil tagihan kartu kredit yang macet jumlahnya mencapai 15 trilyun jadi bisa bayar siapa saja yang menghalanginya makanya masyarakat sudah tidak percaya kepada para penegak hukum itulah perlunya dibentuk persatuan korban penindasan dan teror debcollector
BalasHapusSenadainya ada partai yang mau jadi pahlawan membantu para korban kartu kredit dan debcollector rasanya bisa jadi pemenang pemilu 2014 karena korbannya sudah sangat banyak
BalasHapus