Date: Wed, 29 Mar 2000 11:06:46 +0700
From: Sams <standard@jkt.mega.net.id>
Subject: Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (4)
Prabowo dan Kerusuhan Mei 1998 (4)
Sempat Memijat Kaki Gus Dur
Oleh : Jose Manuel Tesoro *)
Situasi politik menyusul terjadinya kerusuhan massa di Jakarta 13-14 Mei
1998 itu berubah begitu cepat. Bahkan bisa dikatakan berubah detik demi
detik. Pada tanggal 14 Mei malam hari, Prabowo menerima telepon dari
sekretarisnya, Niken bahwa Adnan Buyung Nasution dan beragam kumpulan
tokoh dari beragam kelompok ingin bertemu dengannya.
Aneh tapi nyata. Pertemuan 14 Mei ini justru akan menjadi hal penting
dalam penyelidikan kerusuhan di kemudian hari oleh pihak TGPF. Padahal
prakarsa pertemuan bukan dari Prabowo. Benar bahwa dia menyediakan
tempat di Makostrad, tetapi bukan dia pemrakarsanya. "Sewaktu saya tiba
di Mabes, mereka ada di sana," papar Prabowo. "Saya tidak mengundang
mereka. Mereka menanyakan : Apa yang terjadi ?" tambahnya.
Saat itu, Buyung Nasution sangat ingin mengetahui kebenaran
berita-berita burung yang beredar santer bahwa Prabowo telah
merencanakan kerusuhan-kerusuhan tersebut, penembakan di Trisakti,
sebagaimana juga dengan penculikan para aktivis pro demokrasi. Ia juga
menanyakan apakah ada persaingan antara Prabowo dengan Wiranto.
Prabowo menyangkal semuanya. Menjawabnya dengan lugas dan memaparkan
fakta-faktanya secara akurat. "Bagaimana mungkin bisa ada persaingan ?
Ia (Wiranto) seorang berbintang empat. Saya bintang tiga. Saya mencoba
untuk berada di jajaran tersebut. Tetapi setelah dia, bukankah saya akan
menjadi calon yang baik?" ujar Prabowo, berupaya menjelaskan posisinya
dalam konstelasi politik dan militer nasional.
Setelah briefing komando yang dipimpin Wiranto berakhir larut malam,
Prabowo tiba di perjanjian pertemuan berikutnya hampir pukul 01.00 pagi
dini hari. Dua orang teman dekatnya dari NU -- organisasi massa Islam
terbesar pimpinan Abdurrahman Wahid (Nahdlatul Ulama/NU), kini menjadi
Presiden -- menyarankan agar Prabowo bertemu dengan pak Kiai, yang pada
waktu ia datang telah tidur.
Namun, Wahid -- dipanggil juga sebagai Gus Dur -- masih mau menerima
Prabowo dan menanyakan kepadanya mengenai situasi yang kacau tersebut
serta minta penjelasan kepada Prabowo. "Saya mengatakan pada Gus Dur
bahwa kami akan dapat mengendalikannya besok," kata Prabowo. Saat itu
Prabowo bicara sambil memijat-mijat kaki Gus Dur.
Sesudah berganti pakaian, ia berangkat ke Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma, di mana Suharto akan mendarat sebelum fajar pada hari
Jum'at tanggal 15 Mei. Pada saat yang sama, aparat keamanan secara
berangsur-angsur mulai mampu mengendalikan keadaan keamanan ibukota dan
ratusan perusuh dan penjarah di tangkap dari berbagai sudut Jakarta.
Kebanyakan mereka adalah para preman dan anggota masyarakat dari
kalangan miskin perkotaan.
Prabowo menanti di jipnya sementara Wiranto menemui Suharto. Kemudian
ketiganya, dengan kebanyakan perwira-perwira militer senior menuju rumah
Suharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Prabowo mengatakan bahwa
dirinya menangkap kesan bahwa Suharto tampak dingin terhadapnya. Bahkan
menolak bicara atau menatap wajah sang menantu.
Pada saat itu, Prabowo meyakini, Suharto mengira menantunya berkomplot
untuk melawan dirinya. Apakah prasangka itu atas bisikan Wiranto ?
''Saya tidak tahu. Saya tak berani memastikannya. Mungkin saja mertua
saya menarik kesimpulan sendiri atas analisanya terhadap situasi yang
berkembang di ibukota,'' elaknya.
Kata Prabowo selanjutnya : "Ada berita di koran, Jenderal Nasution,
yang secara umum diketahui menyenangi saya, mengatakan bahwa Amien Rais
(Ketua PP Muhammadiyah dan tokoh utama gerakan reformasi) harus
berbicara pada Jenderal Prabowo mengenai penanganan situasi. Ini pasti
dikirim ke Pak Harto dan mungkin saja beliau salah menangkapnya," kisah
Prabowo.
Pada akhir pemerintahannya, Suharto menjadi begitu tergantung pada
menteri-menteri, jenderal-jenderal dan anak-anaknya yang mengelilinginya
seperti mereka bergantung padanya. Ia merupakan pimpinan mereka, tetapi,
sesungguhnya, ia juga merupakan 'tawanan' mereka. "Ada seni intrik
istana yang begitu purba, dan sudah ribuan tahun berjalan di negeri ini
sejak jaman kerajaan Jawa," kata Prabowo.
"Anda berbisik dengan sangat hati-hati, dan meracuni pikiran seseorang.
Saya mencoba memberikan informasi, tetapi saya justru dianggap ikut
campur. Ada orang-orang yang meracuni pikirannya : bahwa menantu
laki-lakinya ada di sana hanya untuk merebut kekuasaan. Dan itulah yang
diyakini oleh mertua saya, sang raja," ucapnya tanpa ragu.
Hal ini, demikian diyakini Prabowo telah memberikan kontribusi pada
kejatuhannya. Tetesan-tetesan kecil yang menuntut perubahan dengan cepat
menjadi arus yang deras. Kelompok-kelompok dari partai yang berkuasa,
jenderal-jenderal purnawirawan-semua mulai menuntut pengunduran diri
presiden Suharto. Detik demi detik terus berlalu.
Pada tanggal 15 Mei itu pula, para pimpinan NU menyampaikan suatu
pernyataan dengan lima pokok. Satu pokok menggaris-bawahi penghargaan
mereka atas sikap Suharto di Mesir dimana ia mengatakan: "Bila saya
tidak lagi percayai, saya akan menjadi seorang pandito (orang
bijaksana)."
Tanggapan NU ini merupakan cara diplomatis organisasi ulama Islam
berpengaruh itu untuk mengatakan bahwa mereka juga, percaya bahwa masa
Suharto telah berakhir. Prabowo menghabiskan hampir seluruh akhir
minggu, dari tanggal 15 Mei hingga tanggal 17 Mei, di Mabes Kostrad
menangani pasukannya.
Sabtu sore, tanggal 16 Mei, seorang teman (kemungkinan Fadli Zon, red)
memperlihatkan selembar salinan apa yang tampaknya seperti suatu
pernyataan pers dari Mabes ABRI yang mendukung sikap NU. Prabowo
langsung menghadap mertuanya, sang presiden yang tengah terpojok dan
kebingungan itu. "Pak, ini berarti militer meminta Anda mengundurkan
diri!" dan dengan berkata demikian sebetulnya ia sekedar hendak
memberitahukan Suharto saja.
Presiden lantas meminta menantunya untuk memeriksa hal tersebut dengan
Jenderal Subagyo, Kepala Staf Angkatan Darat yang dikenal loyal itu.
Prabowo mengatakan KASAD memberitahunya bahwa ia tidak mengetahui
pernyataan pers itu. Kedua jenderal melapor kembali pada Suharto.
Pagi-pagi sekali, pada tanggal 17 Mei, Mabes ABRI yang mewakili pihak
militer menarik kembali pernyataan tersebut sebelum sempat diterbitkan
di kebanyakan surat kabar.
Menurut Prabowo, beberapa waktu kemudian pagi yang sama, Wiranto tiba di
Cendana untuk menekankan bahwa ia juga tidak mengetehui mengenai
pernyataan tersebut. Penulis menganggap bahwa soal ini mestinya sudah
seharusnya dijelaskan lebih jauh oleh Wiranto. Sayang hingga dead-line
tulisan ini terlewati, Wiranto tidak menjelaskannya.
Saya sendiri berhasil mendapatkan salinan press-release tersebut,
tertanggal 16 Mei. Release tersebut tidak bertandatangan resmi atau
tidak berkepala surat ABRI. Saya sempat bertemu Kapuspen ABRI Brigjen A
Wahab Mokodongan, jurubicara resmi ABRI pada bulan Mei 1998. Ia
memastikan bahwa militer telah menarik release tersebut, tetapi
menyatakan bahwa ia tidak mengetahui asal muasalnya.
Setelah konferensi pers pada larut malam, katanya, ia heran mendapatkan
release tersebut dalam fotokopinya. Sewaktu ia (Wahab) memberitahukan
Wiranto, Panglima ABRI segera memerintahkan penyelidikan atas kebocoran
yang memalukan itu. Mokodongan mengatakan pihak intel memeriksa semua
komputer dalam lingkup mabes militer. "Tidak ada yang seperti ini,"
katanya. Penyelidikan gagal menemukan siapa pembocornya.
Kami berbicara dengan tiga wartawan Indonesia yang meliput
peristiwa-peristiwa tahun 1998. Dua orang teringat bahwa mereka menerima
pernyataan tersebut pada konferensi pers Wahab Mokodongan. (Seorang
wartawan lainnya bahkan secara pasti ingat betul bahwa Mokodongan telah
membacakannya). Seorang lainnya yakin majalahnya bahkan mendapat faks
dari kantor Mokodongan.
Asal usul pernyataan tersebut dengan demikian tetap tersembunyi.
Bagaimana sebuah pernyataan yang sangat sensitif dapat timbul tanpa
sepengetahuan jurubicara atau Panglima ABRI ? Pada tanggal 18 Mei,
Prabowo bertemu Amien Rais. Tokoh oposisi ini, seingat Prabowo,
mengatakan: "Saya rasa situasinya sekarang tidak dapat dipertahankan
lagi. Saya rasa Anda harus meyakinkan Pak Harto untuk mengundurkan
diri." Tetapi Prabowo jelas-jelas tidak berwewenang.
Sementara itu, di Cendana malam itu, Soeharto mengatakan ia bertemu
dengan Jenderal Wiranto, yang memberitahukannya bahwa anak-anak
menginginkannya agar dirinya tetap berjuang. "Bagaimana kita bisa?" ucap
Pak Harto ragu-ragu. Hari itu, 19 Mei, Amien Rais menyampaikan himbauan
untuk mencegah demonstrasi pada tanggal 20 Mei di Monas.
Pencegahan protes tersebut, yang diprediksi akan diikuti ribuan orang,
dapat berakibat pada lebih banyak korban. Prabowo kemudian menemui putri
sulung Suharto, Siti Hardiyanti Rukmana atau biasa dipanggil Tutut yang
juga salah satu pimpinan teras di Golkar, partai yang berkuasa, yang
sikap politiknya saat itu tidak jelas.
Prabowo mengatakan bahwa Tutut menanyakan padanya apa langkah mereka
berikutnya. "Saran saya," kata Prabowo, "Adalah bahwa kau (Prabowo, red)
harus segera menggantikan Wiranto atau menerapkan undang-undang darurat.
Suharto tidak ingin melakukan keduanya. Maka saya mengatakan: Apakah ada
cara lain?". Percakapan antara Tutut dengan Prabowo ini jelas sangat
penting dan harus dicatat sejarah.
Tutut bertanya pada Prabowo apa yang terjadi bila ayahnya mengundurkan
diri. Prabowo berkata : Berdasarkan undang-undang, Habibie akan
menggantikan. Tutut hanya diam, tampak sekali Tutut - saat itu Menteri
Sosial -- menahan diri untuk tidak mengungkapkan bahwa dia tidak setuju
Habibie naik menggantikan ayahnya.
Himbauan langsung bagi Suharto untuk mengundurkan diri datang pada hari
yang sama. Kira-kira pukul 03.00 petang, pada tanggal 18 Mei, dengan
dipenuhinya gedung parlemen oleh para mahasiswa yang berdemonstrasi.
Mendadak, Ketua MPR Harmoko dan semua pimpinan MPR lainnya termasuk
Syarwan Hamid, Wakil Ketua MPR/DPR dari ABRI meminta pengunduran diri
Suharto. Larut malam itu pula, Wiranto mengeluarkan pernyataan yang
berlawanan.
Dia menyatakan di depan konferensi press yang padat bahwa pernyataan
Harmoko dan kawan-kawan dari parlemen merupakan "pendapat pribadi" yang
tidak layak didengar. Sehubungan dengan keberadaan para mahasiswa di
parlemen, petang hari sebelumnya Wiranto telah bertemu dengan sekelompok
aktivis, termasuk pula ketua alumni Universitas Indonesia Hariadi
Darmawan.
Mereka memastikan bahwa para mahasiswa merencanakan untuk bergerak
menuju parlemen, dan mendiskusikan cara terbaik untuk mencegah kerusuhan
yang akan terjadi. Seseorang menyarankan agar para mahasiswa dijaga oleh
militer, atau dibawa ke parlemen dengan kendaraan. Pagi berikutnya, kata
Pangdam Jaya Syafrie Syamsuddin, ia diperintahkan dua asisten Wiranto
untuk menyiapkan transportasi.
Sekitar pukul 10.00 pagi, katanya, ia juga mendapat informasi bahwa
pimpinan MPR telah memberikan ijin masuk bagi para mahasiswa. Para
mahasiswa menolak hampir seluruh kendaraan militer, tetapi selama mereka
datang dengan kendaraan, Syafrie menjamin mereka tidak akan mendapatkan
gangguan sepanjang perjalanan menuju parlemen.
Hari berikutnya, tanggal 19 Mei, Prabowo turut ambil bagian sepenuhnya
dalam usaha-usaha mengamankan Monas dari protes Amien Rais yang telah
direncanakan. Malam itu, Wiranto menemui perwira militer senior untuk
mendiskusikan demonstrasi. "Rapat yang diketuai Wiranto memutuskan bahwa
perintahnya adalah untuk mencegah pergerakan tersebut dengan segala
daya," kata Prabowo mengingat kembali. "Saya berkali-kali menanyakan apa
maksudnya. Apakah kami menggunakan peluru timah panas? Ia (Wiranto)
tidak mau memberikan jawaban yang jelas."
Sepanjang malam, Amien Rais menerima utusan-utusan yang dikirim untuk
membujuknya membatalkan demonstrasi. Ia akhirnya mengalah dan pergerakan
yang ditakuti tidak pernah terjadi. Tetapi tanggal 20 Mei, Suharto
mendapat dua pukulan. Empatbelas orang menterinya - dipimpin Menteri
Akbar Tandjung, kini Ketua Parlemen -- mengundurkan diri dari kabinet.
Dan ia berulangkali mendapat penolakan dari orang-orang yang dimintanya
membentuk "Komite Reformasi."
Setelah matahari terbenam, Prabowo mengunjungi Habibie: "Saya berbicara
dengannya: Pak, pak Harto mungkin akan mundur. Bapak siap? Ia (Habibie)
menyatakan siap. Anda tahu ? Ya, ya, ya, jawabnya. Saya mengatakan:
Kalau begitu anda harus menyiapkan diri." Dari kediaman Habibie, Prabowo
kembali ke Cendana. "Begitu jelas bahwa semuanya aman, saya masuk, masih
dalam harapan bahwa saya diterima dengan baik,'' katanya. "Saya pikir
saya akan dipuji : Berhasil mencegah demonstrasi, tidak ada lagi
pembunuhan. Tidak ada lagi korban-korban. Para serdadu tertib. Syafrie
telah bekerja dengan baik. Dan kemudian, plak !". Sebuah hardikan keras
ternyata menantinya di Cendana.
Di ruang dalam, kata Prabowo, duduklah keluarga Suharto dengan Wiranto
di belakangnya. Saya tak tahu, sejak kapan Wiranto ada di rumah itu dan
apa saja yang telah dijelaskan olehnya kepada mertua saya. Yang pertama
berdiri adalah Siti Hutami Endang Adiningsih, putri bungsu Suharto yang
emosional.
Prabowo mencoba mengingat kembali: "Mamiek melihat saya, kemudian
menudingkan jarinya seinci dari hidung saya dan berkata: 'Kamu manusia
sialan. Kamu pengkhianat!' Dan kemudian hardikan keras : 'Jangan injak
kakimu di rumah saya lagi !' Saya terhenyak, berdiri diam tak tahu apa
yang harus saya perbuat. Saya lihat isteri saya menangis. Mertua saya
membuang muka.
Tak tahu harus berbuat apa, akhirnya saya keluar. Saya menunggu. Saya
ingin masuk tetapi juga bingung apa tindakan itu tepat. Saya katakan
bahwa saya butuh penjelasan. Namun sstri saya hanya bisa menangis. Dia
menyuruh saya pergi dan menyatakan agar saya memahami keadaan yang
emosional itu." Prabowo pulang ke rumahnya.
Hari berikutnya, tanggal 21 Mei pada pukul 09.05 pagi, setelah
ditinggalkan oleh parlemen dan kabinetnya, Suharto secara resmi
mengundurkan diri setelah 32 tahun sebagai presiden. Pidato pengunduran
Raja Jawa yang singkat itu disiarkan ke seluruh dunia. Seluruh bangsa di
dunia terkejut.
Walaupun mengalami penghinaan malam sebelumnya di Cendana, Prabowo masih
menghadiri upacara tanggal 21 Mei, katanya, untuk memberikan dukungan
moral pada penerus Suharto, Habibie. Sesudah Habibie mengucapkan
sumpahnya, Wiranto berdiri untuk menjanjikan perlindungan darinya dan
angkatan bersenjata untuk melindungi Soeharto dan keluarganya.
Sewaktu keluarga Cendana beranjak kembali ke kediamannya, Prabowo
mengikuti. "Saya pergi hanya untuk menentramkan pak Harto," katanya.
Tetapi tentu saja setelah saya sudah dituduh sebagai seorang pengkhianat
situasinya menjadi lain. Semua anak-anaknya memusuhi saya. Situasinya
memang sungguh sangat menegangkan antara saya dan anak-anak lainnya.
Belakangan isteri saya mengatakan bahwa ada laporan-laporan saya
mengadakan pertemuan-pertemuan dengan Habibie setiap malam. Dikabarkan
bahwa saya bertemu Gus Dur, Amien Rais dan Buyung Nasution. Benar kami
bertemu, namun sebetulnya kami membicarakan cara terbaik untuk meredakan
aksi kekerasan ini. Tak lebih tak kurang," katanya. Sayangnya, Suharto
dan keluarganya sama sekali tidak menjawab permintaan tanggapan atas
pernyataan-pernyataan Prabowo yang diajukan Asiaweek. (bersambung)
*) Jose Manuel Tesoro, Wartawan Asia Week yang mewawancarai mantan
Pangkostrad Prabowo
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/29/0008.html
Silahkan baca juga:
Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (1)
http://infozaman.blogspot.com/2014/04/kerusuhan-mei-dari-perspektif-berbeda-1.html
Subject: Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (2)
http://infozaman.blogspot.com/2014/04/subject-kerusuhan-mei-dari-perspektif.html
Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (3)
http://infozaman.blogspot.com/2014/04/kerusuhan-mei-dari-perspektif-berbeda.html
Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (4)
http://infozaman.blogspot.com/2014/04/kerusuhan-mei-dari-perspektif-berbeda-4.html
Kerusuhan Mei dari Perspektif Berbeda (5-Habis)
http://infozaman.blogspot.com/2014/04/kerusuhan-mei-dari-perspektif-berbeda-5.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar