Baru-baru ini saya membaca tulisan anjuran kaya dari seorang ustad yang terkenal. Di antaranya ustad tersebut beralasan dengan jadi kaya kita bisa hidup enak, makan makanan yang enak, mobil mewah, bahkan pesawat jet pribadi.
Di sisi lain banyak rakyat di negara kita yang bunuh diri karena miskin (lihat www.infoindonesia.wordpress.com). Seharusnya niat kita mencari rezeki adalah untuk membayar zakat dan membantu orang miskin dengan tetap hidup sederhana. Bukan niat jadi kaya agar bisa hidup mewah dan bermegah-megahan seperti digambarkan surat At Takatsuur.
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik
anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. QS107:1-3
Tiada beriman kepadaku orang yang tidur dengan kenyang sementara tetangganya lapar padahal dia mengetahui hal itu. (HR. Al Bazzaar)
Ini bukan hanya kesalahan kebijakan ekonomi, tapi juga kesalahan karena gaya hidup yang tidak Islami: boros dan bermegah-megahan sehingga uang yang tersisa untuk sedekah nyaris tak ada.
http://www.surya.co.id/web/index.php/Esai_Minggu/The_Death_of_Teguh_Miswadi.html
The Death of Teguh Miswadi
Sunday, 24 February 2008
Saya ingin cucu saya pintar, karenanya saya larang ia sekolah. (Margaret Mead)
Mbah Ginah bukan Margaret Mead, ahli ilmu sosial dari Amerika Serikat. Tetapi, Mbah Ginah mungkin ada miripnya dengan Mead, karena sama-sama mempunyai pikiran yang 'aneh' mengenai pendidikan bagi cucunya. Mead mengkiritk sistem pendidikan Amerika yang dianggapnya malah membuat murid makin bodoh.
Sekolah hanya menjadi tempat yang membuat murid makin teralienasi dari lingkungan yang sesungguhnya. Belum lagi, komersialisasi pendidikan yang berlebihan telah menjadikan murid sebagai sasaran bisnis.
Miriplah dengan kondisi di Indonesia. Pendidikan sudah menjadi lahan bisnis yang harus dikelola seperti perusahaan. Pendidikan harus dikelola dengan pendekatan bisnis sehingga untung dan rugi harus menjadi pertimbangan.
Pendidikan makin mahal, sehingga hanya orang yang mampu saja yang bisa menjangkau pendidikan yang bermutu.
Mbah Ginah--yang tua, ringkih, dan sakit-sakitan di usianya yang nyaris 70 tahun--tentu tidak punya pemikiran secanggih itu.
Ia terlalu sederhana dan polos. Tetapi terkadang pikirannya kacau karena dimakan usia. Sebagai nenek yang sayang cucu, ia ingin Teguh--cucunya yang masih kelas 5 SD--menjadi anak yang pintar.
Tetapi, Mbah Ginah terpaksa melarang Teguh sekolah karena si mbah tidak mampu membayar biaya sekolah si Teguh.
Mbah Ginah juga melarang cucunya ke sekolah karena si mbah khawatir cucunya akan menderita karena harus berkumpul dengan teman-temannya yang lebih berkecukupan.
Tetapi, Teguh, yang sebenarnya lumayan cerdas, tetap memaksa masuk sekolah juga. Ia tetap ingin berkumpul dengan teman-temannya. Ia tetap ingin merasakan kegembiraan teman-teman seusianya ketika sama-sama berkumpul dan bercanda. Teguh ingin menikmati masa-masa sekolah.
Mbah Ginah yang buta tidak bisa berbuat banyak untuk melarang cucunya. Ia lebih suka Teguh tinggal di rumah di dekatnya dan menuntunnya untuk ke kamar mandi. Tapi Teguh memilih tetap sekolah.
* * *
Yang dikhawatirkan Mbah Ginah terbukti menjadi kenyataan. Teguh sering sakit perut selama sekolah karena menahan lapar.
Saking seringnya menahan perut yang kosong, maag Teguh mengalami sakit yang kronis. Teguh tidak tahu harus sambat kepada siapa. Ia tidak tega berbicara kepada si mbah, karena tahu mbahnya tidak akan bisa membantu.
Ia sulit bertemu dengan bapaknya yang tinggal di ujung desanya. Si bapak masuk ke hutan setiap hari untuk menjadi buruh tani dari pagi sampai matahari lingsir. Ketika sampai di rumah, bapak Teguh akan kelelahan. Ia tidak punya cukup waktu, perhatian, dan makanan untuk dibagi bersama anaknya.
Ibu Teguh sudah cukup lama pergi. Merantau, kata tetangganya. Teguh tidak tahu kemana ibunya merantau dan untuk apa. Karena selama ini tidak pernah ada kiriman makanan untuknya dari si ibu.
Teguh memilih menyendiri bersama neneknya. Ia tidak pernah berkata apapun kepada neneknya. Bahkan ketika ia hanya makan sekali dalam sehari, ia tidak merasa perlu memprotes. Ia tahu, neneknya tidak bisa berbuat apa-apa.
Sampai akhirnya sakit yang datang terus-menerus membuat Teguh putus asa. Ia memutuskan mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di rumah neneknya
yang sepi dan dingin. Tidak ada secarik kertas, tidak ada pesan pendek lewat ponsel, tidak ada ucapan selamat tinggal.
* * *
Teguh tidak meninggalkan catatan kepada para perumus kebijakan di negeri kita ini. Teguh tidak mengirim pesan kepada para elite yang sedang bertempur memperebutkan kekuasaan di negeri ini.
Tetapi Teguh telah memberikan simbol protes yang amat kuat kepada kita semua yang lupa terhadap nasib seorang anak miskin seperti dia.
Teguh telah menjadi wakil bagi jutaan anak seperti dia. Anak-anak yang bisa saja frustrasi dan putus asa dan kemudian mengambil jalan pintas seperti dia.
Kita semua seharusnya malu.*
===
Syiar Islam. Ayo belajar Islam melalui SMS
Untuk berlangganan ketik: REG SI ke 3252
Untuk berhenti ketik: UNREG SI kirim ke 3252. Sementara hanya dari Telkomsel
Informasi selengkapnya ada di http://www.media-islam.or.id atau http://syiarislam.wordpress.com
astagfirullah hal azim
BalasHapusInsya Allah saya selalu diingatkan untuk tetap membantu sesama meskipun dengan bantuan yang serendah -rendahnya
dengan doa
Masalah kemiskinan memang masalah yang pelik. Seandainya saja semua umat Islam berzakat dan dana zakat dikelola secara profesional dan transparan didukung oleh sistem informasi yang handal, saya yakin masalah kemiskinan bisa diatasi. Semoga.
BalasHapus