“Sekarang Era Globalisasi”, begitu kata orang beberapa tahun lalu. Globalisasi yang beberapa tahun lalu diagung-agungkan orang akhirnya saat ini mulai kelihatan hasilnya.
Perusahaan-perusahaan Multi Nasional atau bermodal besar akhirnya memonopoli berbagai sektor bisnis hingga bidang pangan. Akibatnya berbagai harga naik seperti minyak dari US$ 24/barrel jadi US$ 110/barrel, minyak goreng dari Rp 6.000/kg jadi Rp 16.000/kg, dan sebagainya.
Rakyat yang penghasilannya tetap jadi bertambah miskin dengan kenaikan harga yang lebih dari ratusan persen dalam hitungan bulan. Kemiskinan, kelaparan, depresi, dan kriminalitas meningkat karenanya. Di MetroTV Highlight 6 April 2008 dengan topik: “Miskin, Lapar, dan Depresi” memberitakan kumpulan berita tentang keluarga Basse yang mati kelaparan, beberapa ibu yang membunuh anak-anaknya karena depresi dan kemiskinan.
Pada era Globalisasi ini akhirnya perusahaan-perusahaan Multinasional memonopoli seluruh perekonomian dunia. Sebagai contoh 5 perusahaan besar minyak AS untung sampai US$ 123 milyar (Rp 1.131,6 trilyun) per tahun (1US$=Rp 9.200). Exxon Mobil mengantungi keuntungan US$ 40 milyar. Padahal investasinya hanya US$ 100 juta.
Namun dengan monopoli kartel minyak yang menguasai berbagai sumber minyak dunia termasuk Arab dan Indonesia (kecuali Iran), kartel minyak tersebut menaikkan harga minyak dunia dari US$ 24/barrel menjadi lebih dari US$ 110/barrel. Padahal biaya pengolahan minyak tak lebih dari US$ 15/barrel.
Akibatnya bukan hanya harga minyak yang melonjak, harga pangan pun melonjak juga.
Zaman Soeharto dulu pengusaha/industri dilarang masuk ke sektor pertanian dan perkebunan. Karena akan mematikan mata pencarian petani dan akhirnya pangan dikontrol oleh segelintir pengusaha.
Namun saat ini para pengusaha termasuk dari luar negeri bebas masuk ke sektor perkebunan dan menguasainya. Para pengusaha ini hanya memikirkan keuntungan. Bukan kepentingan rakyat. Ketika harga pangan internasional naik mereka dengan cepat menaikan harga. Tak heran jika harga minyak goreng meroket dari Rp 6.000/kg hingga menjadi Rp 16.000/kg hanya dalam hitungan bulan. Kalau rakyat tak mau beli dengan harga segitu, mereka tinggal mengekspor ke luar negeri. Pasar dunia cukup banyak untuk menampung semua produk Kelapa Sawit/Minyak goreng Indonesia.
Kenaikan harga BBM dan minyak goreng ini diikuti oleh harga pangan lainnya seperti kedelai, beras, dan sebagainya. Jika dulu beras bisa dibeli dengan harga Rp 4.000/kg, sekarang sudah Rp 6.000/kg.
Namun karena pertanian masih dikuasai petani, pemerintah dengan mudah mengaturnya. Di saat harga beras dunia naik jadi US$ 800/ton, Bulog justru menurunkan harga pembelian gabah dari Rp 2.000/kg menjadi Rp 1.800/kg pada masa panen.
Para petani yang tidak punya kemampuan untuk ekspor tak mampu berbuat apa-apa. Namun para ”Pelaku Pasar” melihat ”Peluang” untuk mendapatkan uang dengan mengusulkan ekspor beras meski selama ini Indonesia selalu impor beras.
Era Globalisasi juga memperkuat Pasar Uang, Pasar Modal, dan Pasar Komoditi. Saat ini uang hanya jadi bahan spekulasi untuk mendapat untung oleh para spekulan valas (valuta asing). Banyak negara seperti Inggris, Thailand, Singapura, Malysia, Korsel, bahkan Indonesia yang perekonomiannya hancur karena mata uangnya jatuh karena permainan spekulan valas.
Pasar Modal juga membuat modal yang seharusnya jadi modal untuk mendirikan banyak perusahaan hanya berputar-putar di kalangan spekulan saham untuk mendapat untung. Sekitar Rp 1.000 trilyun transaksi saham terjadi di Bursa Saham Indonesia. Namun lebih dari 90% hanya dipakai untuk spekulasi antar pemain saham. Uang mengalir ke sektor riel hanya pada saat IPO dan right issue saja. Sebagian besar transaksi saham justru terjadi di pasar sekunder antar pemain saham. Uang tidak masuk ke perusahaan. Bahkan sering gejolak harga yang ditimbulkan akibat permainan saham mengakibatkan perusahaan jadi bangkrut seperti kasus perusahaan Enron di AS.
Pasar Komoditas lebih parah lagi. Komoditas pangan yang harusnya untuk kebutuhan rakyat jadi bahan spekulasi. Beras, jagung, minyak goreng, dan sebagainya hanya jadi alat permainan para spekulan.
Privatisasi yang jadi satu kunci dari Globalisasi memaksa pemerintah menyerahkan BUMN-BUMN yang ada ke Swasta. Celakanya Swasta tidak mau menerima BUMN yang rugi. Mereka hanya mau yang untung dan menghasilkan banyak uang. Akhirnya puluhan trilyun rupiah hasil keuntungan BUMN yang biasanya masuk ke Anggaran Belanja Negara (APBN) sekarang masuk ke kantong segelintir pemilik uang.
“Pasar-pasar” di atas menyedot banyak uang yang seharusnya bisa menggerakkan sektor riel atau perekonomian. “Pasar” itu juga tak lebih dari alat spekulasi atau judi dan membuat sebagian besar uang hanya beredar di kalangan spekulan.
Seorang Dirut Bursa Saham berkata bahwa Bursa Saham terbukti berhasil menggerakan sektor riel. Buktinya dengan Go Public-nya Telkom, ratusan ribu pedagang voucher telpon bisa hidup. Kenyataannya, sebelum Go Public pun Telkom sudah jalan dan merupakan perusahaan telekomunikasi terkemuka di Indonesia. Ratusan ribu pedagang voucher pun hidup bukan dari Bursa Saham, tapi dari modal mereka sendiri. Spekulasi saham Telkom justru bisa mengakibatkan Telkom bangkrut mengikuti nasib perusahaan Enron di AS jika harganya jatuh.
Itulah contoh kebobrokan Globalisasi. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Jurang antara kaya dan miskin makin melebar.
Apa Solusi untuk Mengatasi Kebobrokan Globalisasi?
Dalam Islam 3 faktor produksi penting seperti air, tanah, dan api merupakan milik bersama. Tidak boleh dimonopoli oleh perorangan. Harus dikelola secara bersama oleh negara. Hasilnya harus bisa dinikmati oleh semua rakyat.
Betapa banyak pertambangan kita seperti minyak, gas, emas, perak, tembaga, dsb dikelola oleh perusahaan asing yang mengeruk sebagian besar keuntungan dan hanya menyisakan sedikit receh untuk kolaborator yang bekerja untuk kepentingan mereka. Harusnya itu semua dikelola bersama-sama oleh rakyat Indonesia via BUMN dan hasilnya dinikmati oleh semua rakyat Indonesia.
69,4 juta hektar tanah di Indonesia juga dimonopoli oleh 652 pengusaha. Harusnya itu bisa dinikmati oleh semua petani dan pekebun di Indonesia. Banyak petani gurem yang tanahnya kurang dari 0,4 hektar. Bahkan banyak pula yang tak punya tanah sekali hingga terpaksa jadi buruh tani dengan penghasilan kurang dari Rp 300 ribu per bulan. Itu pun tidak tentu. Harus ada reformasi tanah di Indonesia sehingga semua petani/pekebun di Indonesia bisa mendapatkan tanah minimal 2 hektar untuk berusaha.
Dikuasainya sektor perkebunan kelapa sawit 100% oleh Swasta mengakibatkan pemerintah tidak punya ”gigi” untuk mengontrol harga minyak goreng sehingga tidak terjangkau lagi oleh rakyat dan selalu mengikuti harga internasional.
Seharusnya pemerintah minimal menguasai lebih 50% sehingga pemerintah bisa memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga yang terjangkau. Swasta hanya memikirkan keuntungan/bisnis. Tidak bisa diharapkan untuk berjiwa sosial atau memenuhi kebutuhan rakyat.
Sebagian besar dari sekitar Rp 800 trilyun uang APBN (di mana sekitar Rp 500 trilyun dari pajak rakyat)ternyata tidak untuk rakyat miskin yang memerlukan. Untuk orang miskin kurang dari 5%. Itu pun setelah berbagai potongan dan kebocoran lebih besar lagi.
Sebagai contoh, para pejabat dan departemen berlomba menaikan gaji dan tunjangan. Jaksa dengan kasus suap Jaksa Urip berdalih bahwa jaksa melakukan korupsi karena gaji Urip yang Rp 3,5 juta itu kecil. Jadi gaji jaksa harus dinaikan agar tidak korup. Padahal jaksa Urip yang bergaji Rp 3,5 juta per bulan itu menurut garis kemiskinan yang dibuat pemerintah, yaitu Rp 167.000/bulan, sangat kaya. Penghasilannya lebih dari 20 kali lipat penghasilan orang miskin. Gaji direktur BI di atas Rp 200 juta per bulan.
Biaya perbaikan rumah pejabat, contoh perbaikan rumah anggota DPR yang Rp 200 juta per rumah pun jauh melebihi ongkos membuat rumah mayoritas rakyatnya. Ini harus ditanggung oleh rakyat.
Mobil yang dipakai untuk mengawal pejabat dalam Voor Rijder pun sering harganya mencapai lebih dari Rp 300 juta rupiah seperti Nisan Teerano, Land Cruiser, dsb. Tidak bisakah dipakai mobil Avanza atau APV yang harganya di bawah Rp 130 juta?
Orang yang boros adalah saudaranya setan (Al Israa’:207) begitu firman Allah. Jika orang yang boros dengan uang pribadinya disebut saudara setan, maka orang yang menggunakan uang rakyat dengan boros untuk kemewahan pribadinya itu jauh lebih buruk dari setan.... Uang itu harusnya bisa menyelamatkan jutaan Balita yang kelaparan.
Harusnya uang negara diutamakan untuk fakir miskin. Bukan untuk para pejabat atau orang kaya:
”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At Taubah:60]
Studi banding yang menghabiskan biaya milyaran rupiah dengan uang saku hampir Rp 3 juta per hari bagi anggota DPR dan DPRD harusnya dikurangi. Sering mereka ”Studi Banding” beramai-ramai sampai 30 oran lebih. Padahal 2 orang sudah cukup. Hasil Studi banding juga tidak jelas. Masih kalah dengan hasil karya tulis anak SMA. Bahkan mahasiswa PPI Belanda pernah menemukan anggota DPR yang studi banding ternyata justru belanja di Mal Belanda. Mereka malah tidak bertemu dengan anggota DPR Belanda karena sedang reses.
Harusnya untuk studi banding berbagai kasus anggota DPR bisa melakukan riset dengan mesin pencari di internet (misalnya www.google.com). Di situ berbagai hasil riset oleh ilmuwan dan akademisi dunia bisa ditemukan. Bisa juga ke perpustakaan baik perpustakaan dalam negeri atau pun perpustakaan kedubes yang ada di Indonesia.
Anggota DPR juga bisa mengkontak KBRI dan mahasiswa Indonesia lewat PPI untuk melakukan studi banding. Mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri umumnya sedang menempuh program S2 atau S3 tentu jauh lebih intelek dan kompeten daripada anggota DPR yang umumnya hanya S1. Dengan cara ini pemborosan uang rakyat lewat Studi Banding bisa ditekan.
Itu hanyalah segelintir pemborosan yang bsia ditekan sehingga dana APBN sebenarnya bisa digunakan sebesar-besarnya untuk memakmurkan rakyat. Bukan untuk foya-foya.
thanks tulisannya ...setuju...!!!
BalasHapusada sedikit info buat temen2
soal etika bisnis saya tahunya kejujuran dan kepatuhan terhadap hukum yg berlaku,..ya khan?
lihat
pentingnyakejujuran>/a>
pentingnyakeistqomahan>/a>
buku2gratis>/a>
antivirus terbaru>/a>
salamhangat>/a>
suwon:D
Artikel di blog ini sangat bagus dan berguna bagi para pembaca. Agar lebih populer, Anda bisa mempromosikan artikel Anda di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam!
BalasHapushttp://www.infogue.com
http://www.infogue.com/bisnis_keuangan/kegagalan_globalisasi_meningkatnya_kemiskinan_kelaparan_depresi_dan_kriminalitas/
Benar-benar tidak punya kata lagi saya untuk memberi komentar terhadap para birokrat keparat negeri ini.
BalasHapussedih banget melihat penjajahan di negeri sendiri ini semakin hari semakin bertambah buruk. Anggota DPR yang bergaji 8 digit (>10 juta ke atas) malahan dihujani berbagai tunjangan untuk mempermudah kehidupan mereka (yang seharusnya udah mudah dong). Hasilnya? tidur di waktu rapat, jalan2 tak jelas dan kebijakan yang mempersulit hidup rakyat (jika berdalih bahwa itu kebijakan pemerintah, bukankah DPR berfungsi sebagai 'stopper' dari kebijakan2 tak masuk akal? Sebagai kumpulan orang2 pintar yang seharusnya TAHU dampak dan akibat jangka panjang dari keputusan yang diambil tapi diam ketika pemerintah mengambil keputusan absurd yang merugikan masyarakat......sungguh gak pantas menyandang embel2 'Wakil Rakyat' ketika apapun yang dilakukannya sama sekali gak mewakili rakyat)
BalasHapusSedih sekali jadi rakyat negara ini.
mas, kenapa orang - orang seperti mas nizam ini gak mencalonkan untuk jadi anggota DPR. justru negara ini bobrok krn gak banyak orang baik dan jujur yang mau jadi anggota DPR.
BalasHapusMasalahnya untuk jadi anggota DPR itu yang saya dengar butuh dana untuk kampanye (transport, pasang spanduk, upah pendukung, dsb).
BalasHapusJadi kita berjuang semampu kita.
Wah, kalau saya nggak salah baca lho, wakil rakyat di Belanda justru nggak dapat gaji, karena jabatan di pemerintahan itu sebenarnya suatu kehormatan karena menyangkut hajat hidup rakyat. Anggota Dewan, apa nggak malu? Memang sulit jika jajaran pemerintahan kita nggak lagi punya rasa malu, serta punya hobi yang nggak kalah memalukan, yaitu bersenang-senang dengan harta, tahta, dan wanita...
BalasHapus[...] http://infoindonesia.wordpress.com/2008/04/07/kegagalan-globalisasi-meningkatnya-kemiskinan-kelapara... [...]
BalasHapus