Rabu, 16 April 2008

Mengisolir Krisis Pangan Dunia: Larang Pengusaha Besar dari Sektor Pangan

Kelaparan di SomaliaSaat ini dunia sedang mengalami krisis Pangan. Di Haiti, Filipina, Mesir, dan juga Indonesia harga pangan naik hingga 50-100% lebih. Bahkan di Haiti protes warga atas kenaikan pangan sampai menjatuhkan pemerintah yang ada karena dinilai tidak mampu menjaga harga pangan sehingga tidak terbeli lagi oleh rakyat. Menurut ketua FAO, sedikitnya ada 37 negara di dunia yang saat ini mengalami krisis pangan termasuk Indonesia. Di Indonesia sebelum krisis saja sudah ada sekitar 5 juta Balita yang kurang gizi atau busung lapar dan beberapa korban sudah mati kelaparan. Jika tidak diantisipasi jumlah korban akan bertambah besar.



Saat ini harga pangan di Indonesia juga melonjak. Bank Dunia menyatakan ini terjadi karena program biofuel/bioenergi yang merampas lahan pertanian/perkebunan dari penghasil pangan menjadi penghasil bahan bakar minyak yang harganya lebih tinggi dari harga pangan. Akibatnya pangan langka dan harganya meroket mengikuti harga bahan bakar minyak. Hal ini diperparah oleh aksi Spekulan Pasar Komoditas yang mempermainkan harga untuk mendapatkan keuntungan.



Pada sektor pangan yang dikuasai swasta (Sukanto Tanoto, Bakrie, Anthony Salim, dsb) seperti Kelapa Sawit dan turunannya (minyak goreng), pemerintah nyaris tidak bisa mengontrolnya sehingga harga melejit dari Rp 6.000/kg menjadi Rp 16.000/kg.



Sebaliknya pada sektor beras yang dikontrol Bulog dan dikelola petani kecil lonjakan harga tidak terlalu besar. Dari sekitar Rp 4.000/kg menjadi Rp 6.000/kg. Namun harga beras internasional yang cenderung naik hingga US$ 750/ton (Rp 7.000/kg) membuat para pengusaha mulai tergiur untuk mengekspornya ke luar negeri guna mendapat keuntungan lebih. Jika selisih harga cukup besar misalnya sampai lebih dari 30%, bukan tidak mungkin jika keinginan ekspor para pengusaha tersebut tidak dapat dibendung lagi oleh pemerintah.



Di sisi lain, para petani kecil yang merupakan produsen beras justru tidak bisa menjual dengan harga pasar atau mengekspor ke luar negeri. Mereka tidak punya kemampuan untuk itu. Sebaliknya harga gabah mereka justru ditekan Bulog dari Rp 2.000/kg menjadi Rp 1.800/kg dengan alasan kualitasnya buruk.



Untuk meningkatkan ketahanan pangan dan tidak mengalami nasib seperti Haiti di mana pemerintahnya sampai jatuh karena didemo rakyatnya, pemerintah harus melakukan hal-hal sebagai berikut.



Pertama pemerintah harus melarang para pengusaha besar masuk ke sektor pangan, terutama Sembako. Baik sebagai pengelola perkebunan mau pun sebagai eksportir. Sebab sekali para pengusaha besar masuk, maka orientasi mereka hanya untung, bisnis, dan untung. Tidak ada sama sekali kepedulian sosial kalau rakyat lapar atau butuh pangan yang mereka hasilkan. Beli sesuai harga internasional atau tidak. Kalau tidak mau, mereka jual ke luar negeri. Itu prinsip mereka.



Kalau pemerintah mau bayar uang ”subsidi” ke mereka, baru mereka menjual ”murah”. Itu pun dengan harga yang tetap tidak terjangkau bagi rakyat kecil. Contohnya banyak rakyat kecil yang kembali dan tidak jadi beli karena ternyata harga minyak goreng operasi pasar harganya Rp 9.500/kg. Masih jauh di atas harga pasar sebelumnya yang hanya Rp 6.000/kg.



Biarkan para petani kecil yang mengelola dan Bulog sebagai distributornya. Tentu Bulog juga harus diperbaiki sehingga bisa lebih efisien dan tidak terlalu menekan petani.



Kedua, jangan sampai impor pangan. Kalau impor pangan, maka saat para produsen pangan menahan ekspor karena ingin memenuhi kebutuhan dalam negeri akibat pangan yang semakin langka, rakyat Indonesia akan kelaparan.



Oleh karena itu Indonesia harus mandiri di bidang pertanian. Caranya pertama perbaiki harga beli beras dari para petani sehingga mereka semangat untuk menanam. Jika harga beras dari petani sekarang hanya Rp 2.000/kg, tingkatkan jadi Rp 2.500/kg sehingga orang jadi lebih tertarik untuk bertani.



Dengan harga hanya Rp 2.000/kg bahkan sekarang Rp 1.800/kg, dengan panen per hektar 8 ton per tahun para petani hanya mendapat Rp 14,4 juta per tahun atau Rp 1,2 juta per bulan. Setelah dikurangi harga benih, pupuk, pestisida, transport, dsb, penghasilan para petani hanya berkisar Rp 500 ribu/bulan/hektar. Para petani di Jawa umumnya lahannya hanya kurang dari 0,4 hektar. Jadi penghasilannya hanya Rp 200 ribu/bulan. Kalau padi rusak karena kekeringan, banjir, atau serangan hama, mereka malah merugi. Siapa yang mau jadi petani kalau begitu kalau tidak terpaksa?



Jadi selain menaikan harga beras dari petani menjadi Rp 2.500/kg, pemerintah juga harus menyediakan lahan minimal 2 hektar bagi setiap petani sehingga mereka bisa mendapat penghasilan yang cukup dan juga memenuhi kebutuhan pangan nasional. Sebaiknya lahan perkebunan kelapa sawit yang digunakan untuk ekspor dikonversi jadi lahan pertanian bagi petani. Toh pemerintah cuma dapat pajak 10% atau kurang dari para pengusaha kelapa sawit tersebut selain itu manfaatnya bagi kepentingan rakyat juga kecil. Jika ini bisa dilaksanakan, pendapatan para petani bisa meningkat jadi Rp 40 juta per tahun dengan penghasilan bersih sekitar Rp 1,5 juta per bulan.



Pemerintah melalui IPB juga harus memberikan alternatif pupuk dan pestisida alami yang lebih murah bagi petani sehingga biaya pupuk dan pestisida bisa lebih murah. Dulu ada pupuk hijau/kandang dari kotoran sapi. Kemudian ada juga yang memakai predator alami hama seperti burung hantu untuk memakan tikus. Ini seharusnya digalakkan.



Ketiga, Pemerintah harus mengontrol harga pangan agar terjangkau oleh rakyat. Jika perlu, pemerintah harus membersihkan jajaran ekonomnya dari ekonom neoliberalis yang selalu menggaungkan kata subsidi begitu ada selisih harga domestik dengan harga internasional meski sebetulnya para produsen tetap untung. Sebagai contoh, jika biaya produksi beras hanya Rp 2.000/kg sementara harga Internasional Rp 7.000/kg dan beras dijual dengan harga Rp 5.000/kg, meski sebetulnya kita untung Rp 3.000/kg, namun para ekonom Neoliberalis akan mengatakan bahwa pemerintah rugi/mensubsidi rakyatnya sebesar Rp 2.000/kg hanya karena harganya lebih rendah dari harga internasional seraya meminta pemerintah untuk ”mengurangi subsidi” agar harganya sama dengan harga internasional.



Sebaliknya jika penghasilan rakyat hanya Rp 900.000/bulan sementara di luar negeri mencapai Rp 17.000.000/bulan, para ekonom Neoliberalis ini hanya diam saja. Padahal jika harga pangan mengikuti harga Internasional, sementara penghasilan rakyat kita kecil, maka rakyat kita bisa mati kelaparan. Jadi para ekonom Neoliberalis ini harus disingkirkan dari kabinet dan dari penasehat ekonomi.



Keempat, Pemerintah juga harus sanggup menghentikan penyelundupan. Kata penyelundupan adalah ”Senjata” yang dipakai oleh pelaku pasar untuk memaksa negara agar menerima harga pangan sama dengan harga Internasional. Jika tidak sama, maka akan diselundupkan.



Untuk menyelundupkan barang ke luar negeri biasanya sulit. Harus melalui pemeriksaan bea cukai, karantina, dan sebagainya. Kapal yang dipakai pun harus kapal besar agar ekonomis. Jadi tidak mungkin tidak ketahuan. Para aparat bea cukai dan petugas pelabuhan/bandara pasti bisa mengetahuinya. Selain itu ada juga patroli AL.



Kalau terjadi penyelundupan, pemerintah harus tegas. Sita barang selundupan dan serahkan ke Bulog. Ada pun penyelundup denda dengan besar 10 x harga barang dan hukum mati sampai ke pucuk pimpinannya. Program peluru untuk koruptor/penyelundup mungkin perlu diadakan untuk menghentikan penyelundupan. Cina mengadakan program peti mati untuk koruptor. Dan mereka cukup berhasil mengurangi angka koruptor.



Kelima, pemerintah harus mengontrol Pasar Komoditas yang merupakan ajang spekulasi/judi untuk menaik-turunkan harga komoditas untuk keuntungan para spekulan komoditas. Krisis Ekonomi AS tak lepas dari ulah spekulan saham di negeri itu. Meroketnya harga minyak dan pangan dunia juga tak lepas dari ulah spekulan komoditas di NYMEX yang mempermainkan harga. Jika perlu Pasar Komoditas di Indonesia yang baru berdiri dihapus agar harga pangan tetap stabil seperti dulu. Gunakan Pasar Tradisional/Pasar Induk di mana para pembeli dan penjualnya benar-benar orang yang bergerak di bidang distribusi pangan. Bukan Pasar Komoditas tempat para spekulan komoditas berdasi berspekulasi.



Negara kita adalah negara kaya. Kita bisa menanam berbagai pangan. Kita bisa menangkap berbagai ikan. Kita bisa beternak berbagai hewan. ”Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman” begitu kata Koes Plus. Kalau sampai negara kita Krisis Pangan, itu terjadi hanya karena salah urus yang dilakukan oleh para ekonom Neoliberalis di jajaran Kabinet dan Penasehat Ekonomi yang megutamakan Kepentingan Pasar di atas Kepentingan Rakyat.



Para ekonom Neoliberalis ini hanya memperhatikan ”Pelaku Pasar” (baca: Spekulan) yang bergerak di Pasar Uang (subsidi pemerintah untuk para spekulan ini sekitar 10% dari APBN dalam bentuk bunga SBI dan ORI), Pasar Modal (subsidi pemerintah dalam bentuk obral ribuan trilyun rupiah aset BUMN ke Pasar Modal serta ratusan trilyun keuntungan jatuh ke segelintir pemegang saham), dan Pasar Komoditas (Monopoli sembako oleh spekulan bursa Komoditas). Mereka hanya menginginkan pemimpin yang ”bisa diterima pasar”. Bukan yang mengutamakan kepentingan rakyat.



Artikel tentang Krisis Pangan Dunia



PBB Ingatkan Dunia, Krisis Pangan Ancam Keamanan Global



Eramuslim.com. PBB menyatakan bahwa perdamaian dunia terancam akibat kecenderungan kenaikan harga-harga bahan makanan yang sudah terjadi di banyak negara. Menurut Direktur Jenderal Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) Jacques Diout, gejala itu sudah terlihat dengan jatuhnya korban dalam aksi massa yang memprotes kenaikan harga makanan.



Di Haiti misalnya, lima orang tewas dalam aksi unjuk rasa memprotes kenaikan harga makanan dan bahan bakar yang berujung dengan bentrokan. Korban serupa bisa terjadi di negara-negara yang saat ini sudah menunjukkan fenomena makin melangitnya harga-harga kebutuhan masyarakat terutama bahan makanan dan bahan bakar dalam beberapa bulan terakhir, antara lain di Mesir, Kamerun, Pantai Gading, Mauritania, Ethiopia, Madagaskar, Filipinan, Indonesia dan beberapa negara lainnya.



"Secara alamiah, orang tidak akan berdiam diri untuk mati kelaparan. Mereka akan bereaksi, " kata Diouf.



Untuk itu ia mengingatkan agar segera dicari jalan keluar dan dilakukan langkah-langkah cepat untuk mengatasi kenaikan harga-harga kebutuhan masyarakat.



Menurut perhitungan PBB, sampai akhir Januari kemarin, secara global kenaikan harga makanan mencapai 35 persen. Dampak kenaikan ini sangat dirasakan oleh masyarakat di negara-negara berkembang, di mana 50 sampai 60 persen pendapatan mereka habis untuk membeli kebutuhan makanan, sedangkan di negara-negara maju, hanya 10-20 persen saja.



Menurut ketua FAO itu, sedikitnya ada 37 negara di dunia yang saat ini mengalami krisis pangan. Ia sudah menyerukan agar para pemimpin dunia hadir dalam pertemuan tingkat tinggi keamanan pangan dunia yang akan digelar di Roma pada bulan tanggal 3-5 Juni mendatang.


http://www.eramuslim.com/berita/int/8412112639-pbb-ingatkan-dunia-krisis-pangan-ancam-keamanan-global.htm



Naiknya Harga Pangan Akibat Aksi Spekulan Bursa Komoditas:



Investor berspekulasi terhadap barang-barang seperti gandum, jagung, dan beras. Sebab, pasar telah membuktikan bahwa beberapa tahun terakhir, stok barang-barang itu terus surut akibat permintaan yang terus ada.



’’Serangan spekulatif sangat mungkin terjadi bila persediaan terus berkurang,’’ imbuh Graziano. Untuk itu, FAO akan menggagas pertemuan untuk mengatasi kelangkaan pangan global ini. Rencananya, pertemuan itu akan diadakan pekan depan. Lembaga ini pun akan memberikan insentif terhadap petani kecil.


http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=61730



Menurut Harian Austria Der Standard Indonesia bersama Haiti, Mesir, dan Kamerun termasuk korban terparah krisis Pangan Global:



Antisipasi Krisis Pangan Politik Pertanian Dunia Harus Diubah



Politik pertanian dunia perlu dipikirkan kembali. Juga produksi bahan bakar bio harus diusahakan tidak dari produk pertanian yang merupakan bahan pangan bagi manusia.



Kenaikan drastis harga bahan pangan dan produk pertanian lainnya, menjadi sorotan tajam sejumlah harian internasional.



Harian liberal kiri Perancis Liberation yang terbit di Paris dalam tajuknya berkomentar :



Menimbang naiknya permintaan bahan pangan, serta kerusuhan yang dipicu kelaparan, kita harus meningkatkan produksi secara cepat dengan metode yang lebih murah. Tapi di sinilah letak dilemanya. Di satu sisi muncul pemikiran, kita harus kembali ke sistem pertanian intensif, dengan penggunaan teknologi terbaru dan tanaman yang direkayasa secara genetika. Namun di sisi lainnya, juga terdapat desakan bagi pertanian yang lebih ramah dengan lingkungan. Jawaban dari permasalahan, boleh jadi metode diantara kedua ekstrim tsb. Tapi rakyat yang kelaparan di negara-negara miskin tidak bisa menunggu terlalu lama.



Sementara harian Belanda Trouw mengkaitkan kenaikan harga bahan pangan dengan produksi bahan bakar bio. Harian yang terbit di Den Haag ini berkomentar :



Direktur Bank Dunia, Robert Zoellick menyebutkan perkembangan situasi saat ini amat mengerikan. Ketika warga di negara maju mengkhawatirkan kenaikan harga bahan bakar bio untuk mengisi tangki mobilnya, warga di sebagian besar belahan Bumi harus bersusah payah mencari pengisi perutnya. Bahan bakar bio merupakan salah satu penyebab dari kenaikan harga bahan pangan. Sejauh ini, bahan bakar bio biasanya diproduksi dari bahan dasar, yang juga merupakan bahan makanan manusia. Kini bio-diesel atau bio-alkohol harus dibuat dari tumbuhan yang bukan tanaman pangan. Untuk itu diperlukan dukungan dari negara industri maju bagi ekonomi bahan pangan di negara berkembang.



Juga harian Jerman Frankfurter Rundschau yang terbit di Frankfurt am Main mengomentari politik bahan bakar bio dengan ancaman kelaparan global saat ini.



Bencana kelaparan sedunia, tidak cocok dengan gambaran globalisasi, yang disebutkan membuka peluang pasar seluas-luasnya. Kelaparan yang melanda kalangan terbawah dari lapisan masyarakat yang jumlahnya satu milyar, bukan sesuatu yang dapat diabaikan. Sebab, apa yang melanda mereka, juga akan menimpa kita di negara maju. Bukan hanya berupa dampak naiknya harga-harga. Yang diperlukan adalah perubahan radikal secepatnya. Tapi hal itu juga ibaratnya hanya harapan akan munculnya keajaiban. Kini yang ditunggu adalah kesepakatan untuk membekukan politik bahan bakar bio secara global.



Terakhir harian Austria Der Standard yang terbit di Wina berkomentar :



Menimbang gambar-gambar terbaru dari Haiti, Mesir, Kamerun atau Indonesia, tidak berlebihan jika direktur Dana Moneter Internasional-Dominique Strauss-Kahn memperingatkan akan konsekuensi mengerikan yang akan muncul. Satu milyar orang yang kelaparan, akan membahayakan ekonomi global dan pada akhirnya mengancam demokrasi. Jika negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara tidak menghendaki, kemakmuran dan keamanan di negaranya terganggu oleh dampak bencana kelaparan global, mereka harus segera bertindak. Amat fatal, jika terlalu lama menunggu program memerangi kelaparan, seperti halnya politik mengulur waktu dalam perang melawan perubahan iklim global.


http://www.dw-world.de/dw/article/0,2144,3265253,00.html



Krisis Pangan Menunggu Aksi Institusi Dunia



Jika tidak segera dibantu, ratusan ribu orang akan kelaparan dan memicu kerusuhan



WASHINGTON - Para pemimpin ekonomi dunia, pekan ini masih akan disibukkan dengan masalah pangan. Harga pangan yang terus meningkat berpotensi mengakibatkan kelaparan di negara-negara miskin. Presiden Bank Dunia, Robert Zoellick mengatakan, perlu tindakan bersama dan segera mengatasi harga pangan.



Zoellick mengakui, selama ini ini lembaga keuangan internasional lebih sering sekadar melakukan pertemuan. ''Kini saatnya melakukan aksi,'' ujar Zoellick.



Untuk mengatasi masalah pangan, menurutnya, institusi internasional harus segera membantu mereka yang mulai kelaparan saat ini. Jika tidak segera dibantu, menurutnya, ratusan ribu orang akan kelaparan. Kerusuhan di sejumlah negara juga dikhawatirkan muncul akibat kelaparan tersebut. Kenaikan harga pangan yang memicu kerusuhan telah tejadi di Haiti, Mesir, dan Filipina.



Analisis bank dunia memperkirakan, naiknya harga pangan yang mencapai dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir, berpotensi menekan 100 juta masyarakat berpenghasilan rendah di negara miskin menjadi semakin melarat.



Badan Pangan Dunia (FAO) juga menunjukkan hal senada. Dirjen FAO Jacques Diouf menyatakan, kemungkinan besar harga tidak akan pernah turun. Warga di negara-negara miskin kini mulai bergelimpangan di jalan karena kelaparan. Menurut Diouf, di tengah kenaikan harga pangan kenyataannya banyak orang-orang yang sekarat.



FAO mencatat sedikitnya ada 37 negara yang menghadapi krisis pangan. Sementara kenaikan harga pangan kini terjadi di negara-negara di Afrika, Haiti, termasuk Indonesia. Permintaan bahan pangan melejit di negara-negara berkembang, seperti Cina dan India.



Komoditas jagung menjadi bahan pangan yang mengundang spekulasi. Pasalnya, jagung selain digunakan sebagai bahan pangan juga untuk bahan bakar ramah lingkungan (biofuel). Stok global yang mulai berkurang berimbas pada naiknya harga bahan pangan lain seperti tepung, maizena, dan beras.


http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=330397&kat_id=4



Kerusuhan di beberapa negara


BBCIndonesia.com


Kenaikan harga pangan


Gandum : 130%


Kedelai : 87%


Beras : 74%


Jagung : 31%


Sumber : Bloomberg



Harga pangan naik tajam dalam beberapa bulan terakhir, disebabkan oleh tingginya permintaan dan cuaca buruk di beberapa negara penghasil pangan. Gangguan ini menyebabkan panen menurun.



Selain itu, lahan untuk menghasilkan bahan bakar bio juga makin meningkat.



Harga bahan pokok seperti gandum, beras, dan jagung semuanya naik, menyebabkan kenaikan pangan secara keseluruhan mencapai 83 persen dalam tiga tahun terakhir, kata Bank Dunia.



Kenaikan tajam harga pangan menyebabkan protes di banyak negara termasuk di Mesir, Pantai Gading, Ethiopia, Filipina, dan Indonesia.



Di Haiti, aksi protes pekan lalu berubah menjadi kerusuhan, menyebabkan lima orang tewas dan pemerintah harus mengundurkan diri.



Beberapa negara produsen pangan utama seperti India, Cina, Vietnam, dan Mesir telah memberlakukan pembatasan ekspor.



Kebijakan ini membuat beberapa negara pengimpor pangan terpukul, seperti Bangladesh, Filipina, dan Afghanistan.


http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2008/04/080414_worldbankalarm.shtml


3 komentar:

  1. Assallammualaikum...
    salam kenal..
    Mas..boleh saya link..infonya dari site saya ?
    saya buat sebagai "pagepeel" (disudut kanan atas)
    Terima kasih..

    BalasHapus
  2. Wa'alaikum salam
    Silahkan.
    Jazakallahu.

    BalasHapus
  3. Kebetulan sekarang sudah ada solusi untuk hal ini
    Di bidang pertanian, peternakan dan perikanan sekarang ada perusahaan multi nasional yang mampu membantu para petani untuk mengurasi ongks prodiksi 50% tapi meningkantkan hasil 50%
    Bulan agustus nanti Presiden kita pak SBY, menteri pertanian dan puluhan pejabat pemerintahan akan meresmikan produk ini, kebetulan saya sebagai salah satu agen distribusi di bidang agrobisnis ini, doakan saja semoga negara kita bisa terbantu banyak

    BalasHapus