Senin, 07 Desember 2009

Pancasila dan Krisis Ekonomi: Menata Ulang Posisi Negara, Pasar, dan Rakyat dalam Kegiatan Perekonomian


Sistem Ekonomi Neoliberalisme yang dianut AS dan sejumlah negara seperti Indonesia akhirnya menyebabkan dunia kembali tenggelam dalam Krisis Keuangan Global. Meski para ekonom Neoliberalis menganggap bahwa krisis ini cuma sekedar "Kegagalan Pasar" (Market Failure) yang bisa dikoreksi dengan "Intervensi" Pemerintah, namun sebetulnya itu adalah cacat bawaan dari Sistem Ekonomi Neoliberalisme yang akan selalu terulang kembali.


Pemenang Nobel bidang Ekonomi, Joseph Stiglitz menyatakan bahwa dalam 20 tahun terakhir hingga tahun 2008 sudah terjadi 3 kali Krisis Keuangan. Akibat Krisis Keuangan Global, pemerintah AS harus mengucurkan US$ 700 milyar (sekitar Rp 7.000 trilyun) untuk menyelamatkan "Pasar." Untuk perusahaan AIG saja AS mengucurkan dana US$ 152,5 milyar. Indonesia sendiri dari tahun 1998 hingga 2008 sudah 2 kali mengalami krisis. Pada tahun 1998 pemerintah mengeluarkan dana sampai Rp 600 trilyun lewat KLBI dan BLBI. Jumlah yang melebihi APBN waktu itu.


Kenapa Sistem Ekonomi Neoliberalisme selalu mengalami "Kegagalan Pasar" dan Krisis Keuangan yang berulang-kali? Bagaimana cara mengatasinya?


Untuk itu kita harus memahami beberapa prinsip yang keliru dari Sistem Ekonomi Neoliberalis.


Perdagangan Bebas
Sistem Neoliberalisme yang kerap juga diidentikan dengan Globalisasi dan Perdagangan Bebas berusaha agar seluruh negara  membebaskan perdagangannya dengan menghilangkan pajak. Akibatnya kebutuhan pokok satu penduduk di satu     negara bisa diimpor dari negara lain yang harganya jauh lebih murah.


Sebagai contoh, sepatu yang dipakai oleh penduduk AS diproduksi di negara-negara lain yang biaya produksinya lebih rendah seperti Reebok, Nike, dan sebagainya. Sepatu merk tersebut pernah diproduksi di Indonesia. Tapi begitu di negara lain seperti Cina dan Vietnam ternyata upah buruh dan biaya     produksi lainnya lebih rendah, maka Reebok dan Nike memutuskan kontrak produksi dan memindahkan produksinya ke sana.


Akibatnya terjadi "persaingan" menekan upah buruh serendah mungkin sementara harga barang justru relatif tidak berubah karena adanya semacam monopoli kartel. Sebagai contoh harga sepatu Adidas di AS dan Indonesia tidak jauh beda. Sekitar Rp 500 ribu-Rp 3 juta. Pengangguran di AS meluas karena untuk bidang sepatu, pakaian, dsb mereka tidak mampu bersaing dalam upah buruh.


Di bidang Pertanian juga begitu jika Perdagangan Bebas benar-benar diterapkan. AS, Eropa, dan Jepang tetap mensubsidi dan  memproteksi Pertanian mereka sehingga produk-produk pertanian yang lebih murah dari negara-negara Asia seperti Cina, Thailand, Vietnam tidak tidak mendominasi di negara-negara tersebut. Jika dibuka maka para petani mereka akan menganggur dan Ketahanan Pangan juga akan runtuh. Harga barang di seluruh dunia cenderung sama. Karena jika di Indonesia misalnya harganya rendah, maka pengusaha menjualnya ke luar negeri yang harganya lebih tinggi. Oleh karena itu harga BBM, gas, dan CPO/Minyak goreng meroket mengikuti "Harga Dunia".


Sayangnya, kenaikan harga barang tidak diiringi dengan  kenaikan/penyeragaman UMR. UMR antara negara maju dengan negara berkembang masih berbeda jauh. Sebagai contoh UMR di Jakarta hanya Rp 972 ribu sementara di New York sekitar Rp 11 juta. Oleh karena itu penyamaan harga barang kebutuhan pokok dengan di AS dengan dalih mengikuti "Harga Dunia" akan berbahaya jika tidak diikuti dengan penyamaan UMR. Pemerintah harus memastikan agar harga barang  kebutuhan pokok terjangkau oleh rakyat. Sebagai contoh, dengan harga minyak US$ 140/barrel, dengan UMR sekitar US$ 1.100/bulan  penduduk AS masih bisa membeli sebarel dan masih bisa menabung sekitar US$ 960. Tapi penduduk Indonesia dengan UMR US$ 96/bulan justru tidak mampu membelinya.


Meski tidak boleh terlalu protektif karena akan mengakibatkan harga barang terlalu mahal, tapi terlalu bebas dalam Perdagangan Internasional juga berbahaya karena bisa menyebabkan pengangguran. Karena itu pajak Impor hingga 30% masih cukup wajar untuk tiap negara demi melindungi industri mereka.


Pengenaan pajak Ekspor hingga 30% juga perlu agar harga sembako seperti minyak goreng tetap terjangkau oleh rakyat dan tidak terjadi kelangkaan pangan.


Privatisasi vs Layanan Masyarakat
Sistem Neoliberalisme berusaha menghilangkan Subsidi produk seperti subsidi BBM, Listrik, Air, dan sebagainya. Menurut mereka subsidi produk harus dihilangkan dan diganti dengan subsidi langsung ke rakyat tak mampu. Padahal dengan subsidi produk, semua harga barang jadi murah  dan terjangkau. Sebaliknya tak semua rakyat miskin bisa mendapat subsidi karena keterbatasan pemerintah.


Neoliberalis menganggap pemerintah tak mampu memberikan Layanan Masyarakat (Public Service) dan meminta itu diberikan kepada swasta. Mereka lupa prinsip ekonomi yang dianut perusahaan swasta adalah dengan biaya     sekecil-kecilnya berusaha mendapatkan untung  sebesar-besarnya. Oleh karena itu ketika sebagian Rumah Sakit Daerah dan Perguruan Tinggi Negeri diprivatisasi maka biaya Rumah Sakit dan Perguruan Tinggi Negeri melonjak pesat. Kesehatan dan Pendidikan jadi lahan Bisnis. Bukan Layanan Masyarakat! Jika pada tahun 1998 untuk masuk PTN bergengsi uang masuk dan uang semester hanya Rp 200 ribu, maka sekarang uang masuk bisa mencapai Rp 75 juta lebih dengan uang per semester Rp 7,5 juta lebih.


Tewasnya bocah usia 4 tahun, Khoirun Nisa, karena penyakit diare yang seharusnya bisa disembuhkan jika dapat perawatan kesehatan tak lepas dari Privatisasi Rumah Sakit. Akhirnya RS lebih mengutamakan prinsip ekonomi daripada sosial. Tidak mungkin kita memaksa Swasta untuk melakukan tugas sosial melayani masyarakat.


Oleh karena itu meski RS swasta diperbolahkan berdiri guna mencari uang, pemerintah tetap harus menyediakan RS Negeri agar setiap rakyat bisa mendapat layanan kesehatan baik mampu atau pun miskin. Pemerintah mendapat uang pajak lebih dari Rp 500 trilyun dari rakyat. Oleh karena itu pemerintah wajib memberi layanan kepada rakyatnya.


Penguasaan cabang produksi penting oleh swasta dan asing seperti minyak dan gas akhirnya mengakibatkan harga minyak dan gas terus naik mengikuti harga dunia atau sekarang dipakai istilah "Harga Keekonomian". Padahal  harusnya pemerintah menyadari bahwa rakyat Indonesia yang pendapatannya sangat rendah tidak bisa dipaksa untuk membeli barang sama mahalnya dengan di AS.


Kelangkaan BBM dan gas sering terjadi karena 90% minyak dan gas Indonesia dikuasai swasta asing, khususnya perusahaan-perusahaan AS. Akibatnya listrik sering padam karena ketiadaan minyak dan gas sebagai bahan bakarnya. Industri pun akhirnya tersendat-sendat dan banyak perusahaan bangkrut karena tidak dapat berproduksi sesuai kontrak.


Sesungguhnya para Founding Fathers Indonesia sudah menyadari itu dengan membuat UUD 45 yang begitu bagus sehingga pemerintah bisa menguasai dan mengontrol cabang-cabang produksi yang penting:
"Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" (UUD 45 Pasal 33 ayat 2)


Seharusnya pemerintah menjalankan UUD 45 di atas sehingga krisis energi  tidak selalu terulang lagi.


Pasar dan Spekulasi
Tahun 2007 di BEI dari Rp 1.982 Trilyun transaksi saham, hanya Rp 18,87 trilyun untuk Modal  Emiten Baru dan Rp 25,5 trilyun untuk tambahan modal     Emiten lama (idx.co.id). Hanya 2,24% uang ke Sektor Riel sementara 97,76% uang tersedot ke Spekulan Saham. Banyaknya uang  yang tersedot sebagai alat spekulasi saham justru menyulitkan berkembangnya industri di Indonesia.


Masuknya "Investor" Asing yang menguasai lebih separuh perputaran uang juga mengakibatkan Bursa dan Sistem Keuangan Indonesia megap-megap begitu mereka menarik modalnya. Pasar terlalu likuid! Untuk mencegah over-likuiditas, sebagaimana saran satu ekonom pemerintah bisa mengenakan PPN transaksi saham 2-10% sehingga pemerintah dapat pajak dari Bursa.


Sistem Keuangan dan Spekulasi Valas
Spekulasi Valas pada tahun 1998 menghancurkan nilai rupiah hanya dalam beberapa bulan saja. Nilai rupiah turun dari Rp. 2.400/1 US$ menjadi Rp 16.700/1 US$. Meski kemudian pemerintahan Habibie bisa menstabilkannya, tetap saja nilainya turun jadi sekitar Rp 7.000/US$.


Pada tahun 2008 rupiah turun dari Rp 9.300 hingga Rp 12.500 dan hingga saat ini terus berlangsung. Cadangan devisa BI yang hanya US$ 57 milyar tak akan sanggup bertahan jika spekulan valas kakap macam George Soros dengan Quantum Fund-nya turut bermain.


Turunnya nilai rupiah mengakibatkan daya beli bangsa Indonesia menurun.  Ekspor pun bisa tersendat jika ternyata bahan bakunya sebagian besar justru diimpor.


Untuk mengurangi dampak spekulasi dolar, negara-negara Eropa bersatu menggunakan mata uang Euro sehingga jual-beli antar negara Eropa tidak perlu menggunakan dollar AS lagi. Kerugian nilai tukar bisa ditekan.


Sebagian besar perdagangan Indonesia, khususnya impor sebenarnya terjadi bukan dengan AS. Tapi dengan Cina, Jepang, Singapura, dan negara-negara lainnya. Oleh karena itu pemerintah bisa melakukan negosiasi agar perdagangan tidak perlu memakai Dollar Amerika. Jika  tidak bisa menggunakan mata uang bersatu seperti Euro di Asia, bisa digunakan mata uang masing-masing negara. Misalnya jika Cina impor barang dari Indonesia, mereka     membayar dengan rupiah, sebaliknya jika Indonesia impor barang dengan Cina, pembayaran dengan Yuan.


Seandainya sulit, maka emas bisa dijadikan patokan pembayaran


Tahun 2003 impor Indonesia sekitar US$ 32 Milyar (MS Encarta Encyclopaedia). Tahun 2008 diperkirakan sekitar US$ 50 Milyar. Transaksi Valas sekitar US$ 2 milyar per hari (Media Indonesia 21 Juni 2005) atau sekitar US$ 700 milyar/tahun. Dengan data seperti itu, maka spekulasi Valas mencapai 90% lebih. Untuk mengurangi spekulasi Valas, pemerintah bisa mematok rupiah terhadap dollar atau emas dan mengenakan pajak PPN  Valas sebesar 2% sehingga pemerintah bisa mendapatkan US$ 14 milyar dari PPN Valas. Dengan pematokan Rupiah seperti 20 tahun awal pemerintahan Soeharto, pemerintah bisa menghemat sekitar Rp 60 Trilyun/tahun yang biasa digunakan untuk "menstabilkan" rupiah dalam bentuk bunga SBI dan ORI.


Alan Greenspan ketika "diinterogasi" oleh Kongres AS akibat Krisis Keuangan yang ditimbulkan oleh kacaunya lembaga Perbankan AS mengaku bahwa selama ini dia menganggap para Bankir akan bertanggung-jawab  dengan uang yang dikelolanya sehingga dilakukan berbagai deregulasi.  Alan menganggap para Bankir seperti "Malaikat" yang tidak perlu dikontrol penuh sehingga akhirnya justru menimbulkan kerugian sementara mereka menikmati gaji dan bonus yang luar biasa besar (mencapai puluhan juta dollar/tahun).


Para pemimpin dunia, seperti Obama, menganggap bahwa pemerintah perlu mengontrol Pasar hingga tidak terjadi Krisis Keuangan.


Pasar Komoditas dan Spekulasi Komoditas
Meroketnya harga minyak dari US$ 24/barrel hingga US$ 47/barrel hanya dalam waktu 6 tahun tak lepas dari ulah Spekulan di Pasar Komoditas seperti NYMEX.    Para spekulan berdasi yang tidak punya gudang atau  tanker turut bermain jual-beli kontrak Komoditas Berjangka hingga 72 bulan  (6 tahun). Setiap perpindahan nilai kontrak ke spekulan lain cenderung menghasilkan kenaikan nilai kontrak. Jika akhirnya seluruh komoditas jatuh ke Bursa Komoditas ini akan berbahaya karena Komoditas turut dijadikan alat spekulasi.


Sebaiknya pemerintah melarang Pasar Komoditas. Gunakan Pasar Tradisional yang efisien di mana jalurnya jelas dari Produsen,  Distributor, Retailer, dan Konsumen dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jika pun Pasar Komoditas harus ada, diatur agar dalam waktu tidak lebih dari 3 bulan barang tersebut harus sampai ke konsumen/retailer. Bukan berputar-putar sebagai barang spekulasi selama bertahun-tahun. Impor minyak sebaiknya G to G.


Kesimpulan
Perusahaan-perusahaan yang memperoleh dana publik seperti Bank, Asuransi, Sekuritas, dan Emiten harus diawasi pemerintah agar tidak merugikan masyarakat. Jangan sampai ratusan trilyun uang  masyarakat beralih tangan     jadi deviden pemegang saham utama, gaji dan bonus luar biasa besar untuk para eksekutifnya, atau kredit macet orang yang terafiliasi dengan perusahaan tersebut, kemudian jika terjadi masalah pemerintah harus mengeluarkan ratusan trilyun rupiah untuk menalanginya. Perlu aturan/regulasi untuk mencegah hal ini.


Pemerintah harus bisa membedakan investasi dengan spekulasi saham. Pengenaan pajak sebesar 2-10% untuk transaksi saham perlu agar orang melakukan transaksi betul-betul untuk investasi. Bukan spekulasi.


Pemerintah harus mengurangi spekulasi valas. Orang membeli valas harus karena kebutuhan. Bukan untuk spekulasi. Pengenaan PPN valas 2% bisa dilakukan untuk memastikan itu. Pemerintah harus memastikan agar Pasar  Saham, Pasar Uang, dan Pasar Komoditas tidak menjadi Pasar Judi yang bisa menimbulkan Krisis Keuangan.


Berbagai subsidi pemerintah kepada pelaku pasar baik sebesar Rp 600 trilyun untuk KLBI/BLBI atau pun Rp 60 trilyun/tahun untuk pemegang uang dalam bentuk bunga SBI/ORI harus dihentikan. Hendaknya uang tersebut digunakan untuk kredit bagi UKM agar sektor riel bisa bergerak. Jaminan bagi nasabah Bank harus dibatasi maksimal sebesar Rp 200 juta untuk perorangan dan Rp 1 milyar untuk perusahaan. Ini agar nasabah juga berhati-hati dalam memilih Bank tempat mereka menabung.


Pemerintah harus memberdayakan BUMN untuk cabang produksi penting dan kebutuhan rakyat. Agar BUMN memiliki kinerja yang baik, pemerintah bisa membentuk 3 BUMN sehingga ada kompetisi dan perbandingan. Pemerintah juga harus memberdayakan UKM dengan pinjaman modal dan kerjasama dengan BUMN yang ada. SDA harus dikelola negara hingga sebagian besar keuntungan masuk kas negara.


http://www.psp.ugm.ac.id/component/content/article/109.html?joscclean=1&comment_id=158

2 komentar:

  1. Hamdan Trisno Husain14 Januari 2010 pukul 01.09

    dalam UU hukum Internasional menjelaskan bahwa ketika 2 negara melakukan perdagangan liberal maka negara yang di rugikan berhak melakukan negosiasi ulang terhadap negara tersebut. !! nah,,, sampai saat sekarang ini apakah Indonesia punya nyali untuk negosiasi ulang terhadap harta kekayaan yang telah di rampok Asing ???

    BalasHapus
  2. Awal itu semua berawal dari riba yang dipaksakan. Pasar yang ada juga pasar semu. Bukan pasar riil.
    Banyak riba yang dipaksakan seperti pajak, dimana pemerintah leha-leha sementara yang memeras keringat harus memberikan hasil jerih payahnya dengan ancaman hukuman penggelapan pajak. Komoditas dijadikan spekulan berjangka, dimana harga sebenarnya tidak realistis lagi dengan jumlah komoditas yang ada.
    Pasar tradisional dihancurkan dan ritel diperbanyak justru membuat perputaran ekonomi hanya banyak disatu tangan.

    BalasHapus