Saat ini banyak orang berbeda pendapat tentang UAN (Ujian Akhir Nasional). Ada yang setuju UAN harus dilakukan dan menentukan kelulusan. Ada juga yang bilang tidak perlu sama sekali. Ada juga yang berdiri di tengah dengan mengatakan UAN perlu untuk standarisasi kualitas pendidikan, tapi jangan dipakai sebagai alat untuk menentukan kelulusan. Apalagi pemerintah saat ini belum mampu menstandarisasi kualitas pendidikan mulai dari bangunan fisik sekolah, buku teks, hingga pendidikan guru (ada yang setara SMA sementara di sekolah lain ada yang S1).
Saya cenderung pada pendapat terakhir. UAN perlu, tapi tidak menentukan kelulusan. Ini agar kita tahu sekolah mana yang masih tertinggal dan mana yang sudah maju. Kita juga bisa mengetahui apakah satu daerah masih tertinggal atau tidak kualitas pendidikannya.
Meski demikian, pemerintah juga harus menyamakan standar pendidikan. Mulai dari mengumumkan silabus dan kurikulum yang standar secara nasional sehingga setiap guru tahu kira-kira soal apa yang keluar. Pemerintah juga harus mengeluarkan buku teks yang standar sehingga bisa jadi acuan nasional. Buku teks ini harus terjangkau oleh seluruh siswa Indonesia (tidak mahal).
Sudahkah pemerintah berusaha menstandarisasi fasilitas sekolah, kualitas guru, kurikulum, buku teks, dan sebagainya?
Jika itu belum standar, tidak adil jika kita memaksakan UN sebagai tolok ukur kelulusan. Kalau sebatas untuk evaluasi sekolah/daerah mana yang kualitas pendidikannya kurang, saya masih setuju.
Sebagai contoh, ada sekolah yang fasilitasnya gedung berAC. Siswanya pakai laptop. Perpustakaan komplit bahkan dilengkapi dengan laboratorium komputer yang terkoneksi dengan internet. Gurunya pendidikannya S1.
Di sisi lain banyak yang gedung sekolahnya saja rubuh sehingga murid2 tidak bisa belajar. Bahkan sampai ada siswa yang tewas. Coba lihat beritanya:
http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/print.php?id=9747
http://nasional.vivanews.com/news/read/105655-sekolah_rubuh__enam_siswi_sd_luka
http://www.radarkotabumi.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=3&artid=9340
Informasi tentang Kurikulum dan Silabus Pendidikan (SD-SMU) pun sulit didapat. Seolah-olah informasi yang harusnya bisa didapat umum dengan mudah di internet itu merupakan rahasia yang tertutup. Saya pernah mencoba mencari Kurikulum dan Silabus SD, namun tidak menemukannya di situs Diknas. Bahkan di situs lain pun (bukan situs diknas) hanya dapat sebagian kecil saja. Padahal sudah pakai Google mencarinya.
Sementara para guru sulit untuk melanjutkan kuliah S1 karena biayanya paling tidak rp 20 juta sementara di daerah mereka ada yang cuma dibayar dengan setandan pisang.
Jadi coba standarisasi dulu mutu sekolah, guru, bukunya. Baru kita bicara soal UN sebagai tolok ukur kelulusan.
Dulu di zaman saya, pemerintah mengeluarkan buku teks untuk berbagai mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, dan sebagainya melalui penerbit “Balai Pustaka”. Buku tersebut dibagikan secara gratis kepada para siswa melalui perpustakaan sekolah.
Karena semua siswa di seluruh Indonesia memakai Buku Teks yang sama/standar, maka mereka tidak mengalami masalah jika diadakan Ujian Nasional.
Tapi hasil dari UAN (dulu namanya EBTANAS: Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) tidak mutlak menentukan lulus tidaknya seseorang. Namun ada 3 mata pelajaran yang wajib di atas 5,00 nilainya, yaitu (kalau tidak salah) PMP, Bahasa Indonesia, dan Agama. Ada pun mata pelajaran lainnya biar pun nilainya 3, tetap saja lulus.
Dan biasanya kalau untuk masuk ke perguruan tinggi atau sekolah yang lebih tinggi, yang dilihat adalah nilai rata-rata EBTANAS, misalnya nilai rata-rata di atas 6.
Saat ini saya lihat kebijakan Diknas agak membingungkan. Di satu sisi sekolah didorong untuk mengembangkan sendiri materi pelajarannya. Di sisi lain, UAN yang menentukan kelulusan justru ditetapkan terpusat oleh pemerintah. Jadi tidak nyambung….:)
Akibatnya ada beberapa sekolah yang seluruh siswanya dari rangking terbawah hingga teratas tidak lulus gara-gara tidak lulus UAN. Jangankan siswa, para gurunya pun belum tentu lulus jika diuji dengan UAN karena Buku Teks yang baku yang minimal mampu menjawab 70% soal UAN tidak disebar pemerintah ke seluruh murid/sekolah.
Ini kan merupakan bukti ada yang keliru dari sistem UAN yang dipaksakan sekarang ini. Jika kondisi pendidikan/materi yang timpang dan tidak standar dibiarkan sementara UAN sebagai penentu kelulusan dipaksakan, akhirnya justru akan melahirkan generasi yang akhlaknya cacat. Mereka akhirnya dipaksa untuk lulus dengan berbagai cara seperti mendapatkan bocoran soal, dsb. Ini jauh lebih berbahaya lagi.
Banyak ketidak-puasan yang terjadi bukan hanya dari para siswa, namun juga masyarakat terhadap Diknas dan Mendiknas sebelumnya. Semoga Mendiknas yang sekarang bisa bersikap lebih bijak.
UAN meningkatkan jumlah pengangguran
BalasHapusEh, kamu2 pernah ga kepikiran kalo pendidikan kita dipengaruhi oleh komprador asing,sengaja diobok obok ,dibikin terbelakang agar bangsa kita jadi bangsa konsumen,karena kita banyak lho.
BalasHapusMungkin aku juga akan gitu kalo jadi orang asing. Kubuat politik di Indonesia labil, kurikulum pelajarannya gonta ganti supaya guru ga sempat pinter ngajar, buku diswastanisasikan supaya pendidikan termasuk ranah bisnis, pengawas sekolah ga perlu diperhatiin, kepala sekolah ga perlu kreteria khusus,Ujian Nasional pusat sing ngatur, passinggrade selalu dinaikkan sedang standar minimal belum dipenuhi,mahasiswa dibikin kotak2,jadi sering kelahi. Itu karena aku pingin pasar besar dengan penduduk 200 jutaan.
Tapi aku orang Indonesia, sedih rasanya melihat pendidkan kita yang disetting oleh sedikit orang tapi korbannya banyak banget. Kelihatan ngga ya benang merahnya.