Bank Dunia dan IMF kerap menggembar-gemborkan masalah korupsi dan perang terhadap korupsi di Indonesia. Sebetulnya itu hal yang bagus karena korupsi sangat merusak.
Namun sayangnya ada beberapa kejanggalan. Sepertinya Bank Dunia dan IMF menggunakan Korupsi sebagai "Kuda Troya" untuk memasukan Privatisasi dan Agenda Neoliberalisme lain ke Indonesia.
Dengan alasan pemerintah korup, maka BUMN-BUMN di Indonesia dipaksa untuk diprivatisasi. Dijual ke MNC-MNC Asing yang jadi rekanan Bank Dunia dan IMF. Sehingga bukan hanya BUMN-BUMN tersebut yang berpindah tangan dari bangsa Indonesia ke MNC Asing, namun juga kekayaan alam yang dikelola serta perekonomian Indonesia.
Anehnya lagi meski menyatakan Indonesia negara Korup, kedua lembaga tersebut getol mengucurkan banyak hutang ke Indonesia sehingga hutang Indonesia bengkak sampai Rp 1.600 trilyun lebih. Mereka akhirnya menikmati bunga yang besar karena pinjaman tersebut tidak gratis dan berbunga.
Korupsi membuat mayoritas rakyat Indonesia miskin karena 50% anggaran bocor kepada koruptor.
Namun Privatisasi atau berpindahnya kekayaan alam/BUMN Indonesia ke pihak asing akan lebih memiskinkan rakyat Indonesia. 90% kekayaan alam Indonesia bisa lari ke asing!
Sebagai contoh, untuk royalti emas dan perak di Papua, Freeport mendapat 99% sementara Indonesia cuma 1%! Freeport yang cuma "Tukang Cangkul" dapat 99%, Indonesia selaku pemilik emas dan perak cuma dikasih seupil!:
http://infoindonesia.wordpress.com/2011/02/25/royalti-emas-dan-perak-papua-freeport-99-indonesia-1/
Jadi ada 2 masalah penting yang harus diatasi oleh rakyat Indonesia:
1. Penjajahan Asing via Bank Dunia, IMF, dan MNC-MNC asing yang didukung pemerintah AS. Untuk melawan penjajahan Ekonomi ini ekonom pro AS mau pun media-media yang mendukungnya harus disingkirkan.
2. Koruptor. Untuk koruptor, hukum mati mereka dan sita seluruh harta termasuk rumah, mobil, serta kalung istri mereka.
Jumat, 07 Mei 2010
Kejahatan Kemanusiaan World Bank dan IMF
Position Paper Agustus 2006 Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Serikat Buruh Jabotabek (SBJ), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI)Disusun Oleh: Gunawan Kusfiardi Muhammad Ikhwan Martin SinagaI. Pendahuluan 1. Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dapat ditegaskan disini, bahwa, pertama, upaya penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia bukan hanya tanggungjawab dan kewajiban negara, tetapi juga merupakan tanggungjawab dan kewajiban aktor non state, sebut saja Transnational Corporation dan perusahaan bisnis lainnya. Dalam Norms On The Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises With Regard to Human Rights (Norma-norma tentang Pertanggungjawaban dari Perusahaan Transnasional dan Perusahaan Bisnis Lainnya) yang dikeluarkan PBB tahun 2003 diantaranya menyebutkan: (1). Negara, perusahaan transnasional, pebisnis, organisasi sosial, mempunyai tanggungjawab utama untuk meningkatkan, melindungi pemenuhan, menghormati, menjamin penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia Sedunia; (2). Adanya kecenderungan global yang meningkatkan pengaruh perusahaan transnasional dan perusahaan lain dalam ekonomi di sebagian besar negara dan dalam hubungan ekonomi internasional; (3). Perusahaan transnasional dan perusahaan lain mempunyai kemampuan untuk membantu perkembangan perekonomian tetapi juga dapat membahayakan terlaksananya Hak Asasi Manusia; (4). Adanya masalah Hak Asasi Manusia Internasional yang di dalamnya ada juga yang merupakan pengaruh perusahaan transnasional dan perusahaan lain. Untuk itu IMF dan World Bank sebagai perusahaan transnasional yang bergerak di sektor jasa keuangan, memiliki tanggungjawab dan kewajiban pemenuhan hak asasi manusia dan sekaligus ancaman potensial bagi pemajuan, pembelaan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Dan kedua, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia, bukan saja berada di level nasional – di mana aktor state dan non state berdomisili hukum, tetapi juga memiliki apa yang disebut sebagai extrateritorial obligation. Dalam Norms On The Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises With Regard to Human Rights disebutkan, perusahaan transnasional dan perusahaan bisnis lain termasuk kantor-kantor mereka dan pekejaan dari orang-orang yang merupakan anggota dari perusahaan atau yang bekerja pada perusahaan tersebut juga bertanggungjawab untuk meningkatkan pertanggungjawaban, pengakuan umum, dan hukum yang ada dalam perjanjian internasional PBB dan instrumen internasional lainnya. Guna mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia (serious crime/extraordinary crime) dibentuklah pengadilan internasional. Tadinya bersifat ad hoc (sementara), yaitu International Military Tribunal, yang dibentuk di Nuremberg Jerman dan di Tokyo Jepang guna mengadili kejahatan yang dilakukan oleh Jerman dan Jepang semasa Perang Dunia Kedua. Kemudian
pengadilan internasional ad hoc untuk mengadili Kasus Bosnia atau Yugoslavia (Pengadilan Internasional untuk Yugoslavia 1993/International Tribunals for the Former Yugoslavia-ICTY) dan kasus Rwanda (pengadilan internasional untuk Rwanda 1994/International Criminal Tribunal for Rwanda-ICTR). Lantas, setelah Statuta Roma disahkan pada tanggal 17 Juli 1998 dengan ditandatangani oleh 120 negara, Mahkamah Internasional (International Criminal Court) menjadi bersifat permanen guna mengadili pelaku kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), kejahatan agresi (crime of aggression), kejahatan perang (crime of war) dan kejahatan Genocida (crime of genocide). Di dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang itu meliputi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genocida. Meskipun Pengadilan HAM di Indonesia merujuk pada ICTY, ICTR dan Statuta Roma, namun demikian, pengadilan HAM di Indonesia tidak memasukan kejahatan agresi dan kejahatan perang. (7). Pelanggaran Ham Berat meliputi: (a). Kejahatan Genocida: (b). Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.
(9).
(18). Penyelidikan pelanggaran ham yang berat dilakukan oleh Komnas Ham; Komnas Ham dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas Ham dan unsur masyarakat.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 2. Kenapa IMF dan World Bank Rawan pangan, wabah penyakit, krisis air bersih, ambruknya banyak bangunan sekolah dan kemiskinan yang absolut, membuktikan bahwa negara telah gagal menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat (warga negara Indonesia), bahkan perjuangan massa rakyat membela hak-hak dasarnya, telah ditanggapi oleh negara secara represif yang berdampak pada pelanggaran hak sipil-politik yang dilakukan negara dengan kekerasan (by violence) dan dengan hukum (judicial violence) dan rangka melindungi penindasan modal (capital violence) dan praktek privatisasi serta komersialisasi sumber-sumber agraria dan liberalisasi perburuhan. Dan Perusahaan transnasional, pemerintahan negara-negara G-8 dan IMF serta World Bank, ada di balik itu semua, intervensi ekonomi politik, perampasan kedaulatan politik (kemerdekaan nasional), serta penjajahan baru (the new face imperialism) ditempuh bukan lewat jalan penaklukan (subversi sebagai politik luar negeri), tetapi dilakukan dengan cara-cara damai dengan bekerjasama dengan oligarki kekuasaan lewat perjanjian internasional, misalnya WTO (World Trade Organization), maupun perjanjian bilateral, seperti LoI (Letter of Intens) pemerintah RI dengan IMF dan proyek-proyek dari World Bank. II. Tentang IMF- World Bank 1. Wajah Baru Penjajahan Kehadiran IMF dan Bank Dunia sebenarnya tidak lebih dari lembaga keuangan yang menjalankan agenda ekonomi neo-liberal dengan tujuan untuk memberikan keuntungan pada Amerika Serikat melalui pemberian pinjaman, serta dominasi peran bankir swasta dan investor internasional. Selama ini transaksi utang luar negeri pemerintah Indonesia lebih banyak dikendalikan oleh lembaga keuangan multilateral, yaitu Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Kebijakan dari kedua lembaga ini pulalah yang menentukan transaksi utang luar negeri pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain (utang bilateral). Keberadaan Bank Dunia dan IMF yang ditopang oleh negara-negara industri kaya lainnya melakukan upaya sistematis dalam menghadirkan pola baru kolonialisme pusat-pusat kapitalisme dunia di bawah kepemimpinan Amerika. Hal ini bisa dilihat dari tujuan pendirian dan sistem pengambilan keputusan yang berlaku didalam kedua lembaga ini.
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang secara populer dikenal sebagai Bank Dunia, dibentuk melalui Konferensi Bretton Wood pada 22 Juli 1944 di New Hempshire (Amerika serikat) adalah lembaga utama dalam penyaluran utang luar negeri yang tidak terlepas dari kondisi yang sudah dijelaskan di atas.
Tujuan utama Bank Dunia menurut anggaran dasarnya adalah untuk membantu pelaksanaan pembangunan di negara-negara anggotanya, yaitu dengan menyediakan fasilitas pembiayaan bagi investasi-investasi yang bersifat produktif. Selain itu, Bank Dunia juga bertujuan untuk mendorong pertumbuhan perdagangan dan investasi secara internasional. Secara khusus, kecuali dalam keadaan tertentu, fasilitas pembiayaan Bank Dunia dibatasi peruntukannya bagi proyek-proyek pembangunan seperti pembangunan bendungan, jalan raya, pembangkit listrik, dan proyek-proyek sejenis lainnya. Sedangkan tujuan utama IMF menurut anggaran dasarnya adalah mengupayakan stabilitas keuangan dan ekonomi melalui pemberian pinjaman sebagai bantuan keuangan temporer, guna meringankan penyesuaian neraca pembayaran. Sebuah negara akan meminta dana kepada IMF ketika sedang dilanda kiris ekonomi.
Pengambilan keputusan di Bank Dunia maupun IMF berdasarkan pada jumlah saham tiap-tiap negara anggota. Pemilik saham terbesar di kedua lembaga ini adalah Amerika yang mengantongi hak suara mencapai 17,5 persen. Sementara untuk menyetujui satu keputusan harus disetujui oleh 85 persen pemegang saham. Dengan demikian maka praktis tidak ada satu keputusan bisa diambil oleh Bank Dunia dan IMF tanpa persetujuan pemerintah Amerika Serikat sebagai pemegang saham terbesar di kedua lembaga ini. Selain kepemilikan saham, dominasi AS juga diperkuat dengan ditetapkannya dolar AS sebagai alat pembayaran internasional dan dikukuhkannya kedudukan negara itu sebagai pemilik tunggal hak veto di Bank Dunia dan IMF.
Dominasi AS didukung pula oleh fakta selama ini bahwa jabatan presiden Bank Dunia selalu dimonopoli Amerika. Dengan demikian bisa dipahami bahwa keberadaan lembaga keuangan multilateral ini sedari awal memang bertujuan untuk melembagakan proses ekspansi dan hegemoni ekonomi Amerika ke seluruh penjuru dunia bersama-sama dengan negara-negara industri kaya lainnya. Hal itu semakin jelas terlihat dari berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa mendapatkan fasilitas pinjaman dari Bank Dunia maupun IMF. Persyaratan bagi sebuah negara agar bisa memperoleh pinjaman dari IMF dan Bank Dunia selalu dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan berskala besar yang harus diimplementasikan oleh pemerintah. Persyaratan tersebut biasanya meliputi desakan untuk meliberalisasi sektor perdagangan dan keuangan serta privatisasi dan komersialisasi sumber-sumber agraria, kemudian memaksa pemberlakuan anggaran ketat, (termasuk memotong berbagai subsidi dan anggaran sosial didalam anggaran negara), serta menekan agar pemerintah melakukan swastanisasi terhadap badan usaha milik negara (BUMN) melalui program privatisasi.
Dalam jangka panjang umumnya menekankan pada kebijakan-kebijakan 1) liberalisasi perdagangan: mengurangi dan meniadakan kuota impor dan tarif; 2) deregulasi sektor perbankan sebagai 'program penyesuaian sektor keuangan'; 3) privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara; 4) privatisasi sumber-sumber, mendorong agribisnis; dan 5) reformasi pajak: memperkenalkan/meningkatkan pajak tak langsung.
Dengan demikian, jelas kiranya bahwa Bank Dunia dan IMF yang ditopang oleh negara-negara industri kaya lainnya adalah satu bentuk upaya sistematis pusatpusat kapitalisme dunia dalam menghadirkan pola baru kolonialisme di bawah kepemimpinan Amerika. 2. Utang Luar Negeri Instrumen Penjajahan Praktek transaksi utang luar negeri bukan hanya menciptakan ketergantungan dari penerima terhadap pemberi utang. Tetapi juga menciptakan hubungan yang hegemonik yang bertujuan menaklukan negara bangsa. Keadaan inilah yang bisa disebut sebagai penjajahan. Hegemoni oleh pihak pemberi utang bertujuan untuk mengakumulasi keuntungan dari hasil memasarkan produk-produk mereka sendiri ke negaranegara penerima utang.
Tujuan ini berlangsung melalui pertemuan kepentingan oligarki kekuasaan di negara-negara penerima dan pemberi utang. Situasi ini digunakan oleh mereka yang berkuasa untuk memenuhi ambisi-ambisi pribadi mereka, dengan tujuan untuk mengeruk keuntungan dengan mengeksploitasi tanah, air, dan rakyat. Jika dilihat dari pihak pemberi utang maka penikmat utang di negara-negara pemberi utang didominasi oleh para politisi dan pejabat pemerintah, serta para kroninya yang bergiat di berbagai bidang usaha: pengusaha produsen, pengusaha jasa, konsultan, peneliti, dan lembaga pendidikan. Sementara di negara penerima utang, pembuatan utang luar negeri melibatkan persekongkolan kepentingan dari rezim yang berkuasa dan pribadi anggota lembaga perwakilan rakyat dalam pembuatan utang-utang tersebut. Praktis penikmat utang luar negeri itu adalah para politisi, pejabat pemerintah dan para kroni dari kekuasaan yang bersangkutan, baik yang bergiat sebagai pengusaha, sebagai konsultan, maupun peneliti.
Menurut Chomsky (2000) penikmat dari 95 persen utang luar negeri yang disalurkan kepada pemerintah Indonesia selama ini jumlahnya hanya sekitar 50 orang saja. Disisi yang lain beban utang luar negeri setiap orang jumlahnya sudah mencapai 250 dolar AS yang diikuti dengan memburuknya kondisi sosial bangsa Indonesia saat ini. 6
Pada konteks ini utang luar negeri bisa dipahami sebagai suatu konstruksi sosial dan ideologis yang bernama kapitalisme. Dengan demikian maka transaksi utang luar negeri dalam prakteknya menunjukkan bahwa utang luar negeri telah menjadi instrumen penjajahan kelas berkuasa untuk menindas rakyat banyak. 3. Jeratan Hutang Luar Negeri Utang luar negeri sebagai upaya sistematis pusat-pusat kapitalisme dunia dalam menjalankan kolonialisme bisa terlihat dari jenis utang luar negeri yang mereka salurkan. Selama ini ada dua jenis utang luar negeri yang disalurkan pada pemerintah Indonesia. Pertama adalah pinjaman proyek yang diberikan oleh kreditor dalam bentuk barang dan jasa. Pinjaman proyek ini merupakan alat bagi kreditor untuk memasaran barang dan jasa dari negara-negara pemberi utang. Kedua adalah pinjaman program yang diberikan dalam bentuk bantuan teknis untuk penyusunan undang-undang dan peraturan pemerintah. Pinjaman program ini bisa juga diterima dalam bentuk uang tunai.
Namun pinjaman program sangat berbeda dibanding dengan pinjaman proyek. Pinjaman program bertujuan untuk merubah undang-undang, peraturan dan kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah untuk memudahkan aliran barang dan jasa dari negara-negara pemberi utang ke negara penerima utang. Termasuk melapangkan jalan bagi kemudahan perusahaan-perusahaan asing yang berasal dari negara pemberi utang untuk menguasai perekonomian nasional. Usaha untuk menguasai perekonomian nasional melalui utang luar negeri sudah berlangsung sejak awal sebelum utang itu dicairkan. Selain pemerintah harus memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam perjanjian utang sesuai yang ditentukan oleh pihak pemberi utang pemerintah juga harus membayar biaya komitmen utang. Setelah pemerintah memenuhi semua persyaratan yang diajukan para kreditor maka barulah komitmen utang luar negeri bisa dicairkan.
Dengan kondisi ini maka efektifitas penyerapan dan penggunaan dana utang luar negeri bagi Indonesia tentu bukan menjadi urusan kreditor. Seperti bisa disaksikan dari pembuatan komitmen utang luar negeri sudah berlangsung sejak pemerintahan Soekarno, penambahan komitmen utang baru menjadi semakin progresif ketika pemerintahan Soeharto berkuasa.
Bahkan pembuatan utang luar negeri seolah tak terhentikan sampai dengan pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono. Saat ini hasilnya adalah utang luar negeri pemerintah semakin menumpuk dan membebani anggaran negara. Penumpukan utang tersebut bisa dilihat dari komposisi komitmen utang, yaitu janji dari kreditor untuk memberikan utang pada pemerintah Indonesia. Utang yang masih dalam status komitmen ini adalah utang yang belum digunakan. Utang luar negeri baru bisa digunakan setelah dicairkan.
Komitmen utang luar negeri yang diberikan kreditor setiap tahun memang berfluktuatif. Namun secara akumulatif jumlah komitmen utang luar negeri telah menumpuk. Pada tahun 1989 total komitmen utang luar negeri berjumlah sebesar 135 milyar USD dan pada tahun 2005 telah meningkat menjadi 366 milyar USD. Artinya dalam tempo lima belas tahun saja akumulasi komitmen utang luar negeri suda bertambah sebesar 125 milyar USD. Kemampuan dalam menyerap dana utang luar negeri ternyata tidak setinggi ambisi dalam membuat komitmen utang luar negeri.
Terbukti hanya sedikit saja dari menumpuknya akumulasi komitmen utang luar negeri yang bisa dicairkan. Prosentase pecairan utang luar negeri ternyata jauh lebih kecil dibanding komitmen yang diberikan pada tahun yang sama. Pemerintah secara rata-rata hanya dibawah lima puluh persen dari komitmen utang yang sudah dijanjikan kreditor. Dalam periode 1989-2005, hanya pada tahun 2001 pemerintah bisa mencairkan komitmen utang lebih besar dibanding komitmen yang diberikan kreditor. Sebenarnya ini tidaklah istimewa, mengingat komitmen utang pada tahun itu hanya 3.3 milyar USD. Sementara pada tahun yang sama Indonesia tengah dalam masa “pemandoran” oleh IMF. Namun dari total komitmen utang luar negeri yang berjumlah 366 milyar USD, yang sudah dicairkan baru sebesar 162 milyar USD dan yang belum dicairkan berjumlah sebesar 204 milyar USD. Pola pencairan komitmen utang luar negeri ternyata menunjukkan trend yang menurun terhadap akumulasi pertumbuhan komitmen utang luar negeri Fakta bahwa pencairan utang luar negeri lebih kecil dari komitmen utang luar negeri yang diberikan kreditor ternyata memang disengaja oleh para pemberi utang.
Tujuan kreditor melakukan hal ini adalah selain untuk menjerat Indonesia dalam perangkap utang juga sekaligus untuk mendapatkan keuntungan dari pembayaran biaya komitmen utang. Biaya komitmen utang luar negeri adalah pembayaran yang menjadi kewajiban Pemerintah terhadap komitmen utang luar negeri yang belum dicairkan di setiap tahun anggaran diluar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Melihat kondisi akumulasi komitmen utang luar negeri yang belum dicairkan terus meningkat, maka konsekuensinya pembayaran biaya komitmen utang luar negeri juga meningkat. Padahal pembayaran ini dilakukan untuk pinjaman yang sama sekali belum bisa dipergunakan oleh pemerintah Indonesia. Sampai dengan tahun 2005 lalu, total biaya komitmen utang luar negeri yang sudah dibayarkan pemerintah sudah mencapai 24.8 milyar USD.
Pembayaran biaya komitmen utang luar negeri pada tahun 2005 lalu sudah sebesar 2.01 milyar USD. Dengan menggunakan kurs Rp 9.000,00 per USD maka pembayaran biaya komitmen utang luar negeri sudah mencapai Rp 18.34 trilyun. Jumlah pembayaran biaya komitmen utang luar negeri pada tahun 2005 lalu itu sudah lebih besar dari tiga kali lipat dibanding tahun 1989 yang jumlahnya sebesar Rp 5.41 trilyun.
Pembayaran biaya komitmen utang luar negeri pada tahun 2005 itu sebenarnya bisa digunakan untuk mempekerjakan 152,815,049 orang dalam setahun dengan gaji Rp 1 juta perbulan. Pembayaran biaya komitmen utang luar negeri bisa juga dikonversikan memberi makan gratis rakyat Indonesia. Jika satu kali makan dibutuhkan biaya sebesar Rp 5.000 dengan frekwensi tiga kali sehari, maka dalam setahun ada 101,888,889 orang dapat diberikan makan gratis dari pembayaran biaya komitmen utang luar negeri.
Gambaran ironis dibalik pembayaran biaya komitmen utang luar negeri semakin mengenaskan bila kita melihat pembayaran utang luar negeri pemerintah. Pembayaran utang luar negeri pemerintah terdiri dari pembayaran cicilan pokok dan bunga. Besaran pembayaran utang luar negeri ini mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kondisi ini membuktikan bahwa sesungguhnya utang luar negeri telah menjadi persoalan serius dalam anggaran pemerintah. Bagaimanapun tidak bisa dipungkiri bahwa pembayaran utang luar negeri juga berdampak menekan anggaran belanja pemerintah untuk keperluan lainnya dalam APBN. Praktis kebijakan anggaran negara tidak mampu mensejahterakan rakyat.
Kondisi yang mengenaskan ini terjadi karena pemerintah memang tidak lagi memikirkan untuk mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pemenuhan hak dasar rakyat seperti pendidikan dan kesehatan. Alokasi anggaran untuk pemenuhan hak dasar rakyat jauh lebih kecil dibandingkan alokasi untuk pembayaran utang luar negeri . III.
Kemiskinan dan Kekerasan Struktural Buah dari IMF dan World Bank 1. Hilangnya Akses Hidup Layak Transaksi utang luar negeri pada praktiknya telah menjadi penjajahan gaya baru yang membuat rakyat bangsa Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan akibat himpitan beban utang luar negeri. Jerat utang ini akan membuat kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat tidak pernah bisa meningkat. Penyebabnya adalah beban angsuran pokok dan bunga utang luar negeri Indonesia sudah menyita hingga sepertiga anggaran belanja dalam APBN. Pembayaran utang ini telah membatasi kapasitas anggaran negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Praktis kualitas kehidupan dan kesejahteraan rakyat Indonesia menjadi memburuk seperti disebutkan dalam Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Februari 2004). Laporan ini menyebutkan bahwa hanya 46,8% saja dari anak-anak usia pendidikan dasar yang bisa menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar. Hanya 68,4% ibu-ibu yang melahirkan dengan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan terlatih. Angka kematian ibu sudah mencapai 307 orang setiap 100.000 kelahiran. Setiap 1000 kelahiran 35 bayi harus meninggal. Kemudian 46 dari 1000 balita meninggal karena buruknya pelayanan kesehatan. Jumlah dan proporsi penduduk dibawah garis kemiskinan nasional, sudah berjumlah 38.394.000 orang. Penduduk Indonesia yang memiliki rumah hanya 32,3%. Berdasarkan kondiisi tersebut maka kualitas pembangunan sumber daya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 177 negara. Apalagi angka pengangguran juga meningkat dari tahun 1994 berjumlah 3.738.000 orang dan tahun 2003 sudah menjadi 9.531.000 orang (Asian Development Bank, Key Indicators 2004, www.adb.org/statistics). Sampai tahun 2000, akses perawatan dan pendidikan usia dini masih sangat rendah. Dari 26.172.763 anak, baru 41% (10.794.534) yang terlayani. Ini menunjukkan betapa memprihatinkannya kondisi pendidikan Indonesia di tengah zaman yang semakin menuntut kemampuan seseorang ini.
Prosentase anak yang masuk SD mencapai 94,04%, sementara untuk SMP hanya mencapai 45,10% saja. Hal itu pun masih didapati kesenjangan antar propinsi, pedesaanperkotaan, tidak jelasnya validasi jumlah siswa yang Drop Out dan mengulang kelas. Selain menghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi nasional, utang luar negeri juga telah mengakibatkan kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, serta melebarnya kesenjangan ekonomi. Indonesia-pun menjadi menjadi tergantung pada pasar luar negeri, modal asing, dan pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan. Bukan hanya itu saja. Akuntabilitas lembaga atau negara pemberi utang dalam menyalurkan utang luar negeri juga sangat meragukan.
Keberadaan lembaga lembaga keuangan multilateral penyalur utang luar negeri, seperti IMF dan Bank Dunia misalnya lebih merepresentasikan dirinya sebagai kepanjangan tangan negara-negara maju pemegang saham utama lembaga-lembaga tersebut, untuk mengintervensi negara-negara pengutang. 2. Pelanggaran Hak Atas Pangan dan Hak Atas Pekerjaan Negara mengeluarkan produk-produk hukum yang melanggar hak asasi manusia (judicial violence), guna menjalankan privatisasi, komersialisasi dan kapitalisasi sumbers-sumber agraria demi kepentingan modal internasional atas dasar kesepakatan dengan World Bank dan IMF. Dapat disebut disini adalah adalah progam WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) dari World Bank melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Progam LAP (Land Adminitrationt Project) dan dilanjutkan dengan Land Policy Management Reform progam dari World Bank melahirkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan sebagai dasar keluarnya Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Agraria. Infrastructur Summit 2005 yang melahirkan Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dan Letter of Intent antara Indonesia dengan IMF (International Monetary Fund) melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas serta Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual BBM, Juga Forestry Sector Adjustment (Penyesuaian Sektor Kehutanan) melahirkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, Undang-Undang. Akibatnya, terjadilah situasi rawan pangan, krisis air, pemiskinan massal dan konflik agraria dengan kekerasan serta kriminalisasi gerakan petani. Tabel: Kasus Busung Lapar selama Januari – Juni 200517 Propinsi Riau Lampung Banten Busung Lapar 3 jiwa 17 jiwa 11 jiwa Kurang Buruk 50.983 jiwa 162.186 jiwa 88.391 jiwa 165.417 jiwa 409.469 jiwa 3 jiwa 2 jiwa 4 jiwa Gizi/Gizi Korban Meninggal Daerah Sebaran Kepulauan Riau Bandar Lampung Lebak, Tangerang Serang,
DKI Jakarata 7 jiwa dan Bogor Jawa Tengah 1 jiwa
Jakarta Utara dan Bogor Wonogiri, Klaten, Boyolali, Sragen, Solo, Tegal, Semarang Madiun, Batu, Malang, Bondowoso, Jember, Kediri, Ponorogo, Banyuwangi Mataram, Kab. Lombok Barat, Kab. Lombok Tengah, Kab. Lombok Timur, Kab Bima, Kota Bima, Dompu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Lembata, Flores, Timur, Sikka, Manggarai, Sumba Timur dan Sumba Barat, Rote, Nadeo Papua Sulawesi Barat Kalimantan Selatan Nangroe Aceh Darussalam Kalimantan Barat Jawa Barat 349 108 jiwa 3 jiwa 16 jiwa 69.883 jiwa 21.577 jiwa 45.379 jiwa 148.047 jiwa 2 jiwa 1 jiwa Yapen Waropen, Jayapura, Jayawijaya Tak terdata Tak terdata Lhok Seumawe, Bireuen
Tak terdata Tasikmalaya, kuningan, Cirebon, Cianjur
Suhardi Suryadi (Kompas 09 Aug 2006) menjelaskan, Adanya UU No 7/2004, posisi sumber daya air telah mengalami pergeseran nilai dan kegunaan. Jika semula penggunaan air dominan untuk kepentingan pertanian dan air minum, kini berubah untuk berbagai kepentingan (industri, tenaga listrik, perikanan). Dengan demikian, fungsi air yang bersifat sosial dan milik umum (common property) berubah menjadi komoditas ekonomi dan dikuasai pemilik modal (private property). Implikasinya, kompetisi penggunaan air di antara berbagai kepentingan kian meningkat baik di tingkat masyarakat pemakai air maupun dengan perusahaan. Terutama saat ketersediaan air tidak cukup memadai dari sisi kuantitas.
Neraca sumber daya air Indonesia mencatat, pada tahun 2000 defisit air sekitar 52.809 juta meter kubik dan diperkirakan mencapai 134.102 juta meter kubik pada 2015. Situasi krisis air (kekeringan), banjir, dan longsor mencerminkan rapuhnya kebijakan pengelolaan DAS. Berdasarkan data Dirjen Sumber Daya Air Kimpraswil, kini ada sekitar 65 daerah aliran sungai (DAS) atau 13,8 persen dari jumlah DAS di Indonesia dalam keadaan amat kritis dengan tingkat sedimentasi tinggi. Yang menjadi masalah adalah ketika krisis air dan kompetisi penggunaan air terjadi, negara tidak melindungi masyarakat, khususnya pemakai air tradisional (petani) melalui regulasi. Akibatnya, kelompok masyarakat pemakai air dari lapisan bawah mengalami marjinalisasi ekonomi serta merasakan ketidakadilan dalam konteks pengelolaan dan pemanfatan sumber daya air.
Padahal, akumulasi ketidakadilan dalam distribusi air merupakan pemicu terjadinya konflik dan kekerasan sosial diantara kelompok pengguna air, bahkan melibatkan pemerintah sebagai salah satu aktornya. Di Pulau Lombok, misalnya, ada 386 kasus konflik pemakaian air setiap tahunnya. Konflik atas hak guna air bukan saja terkait pemanfaatan air untuk kebutuhan air minum di tingkat masyarakat, irigasi untuk pertanian, tetapi juga terkait kepentingan industri dan pertambangan. Konflik hak atas air sering melibatkan berbagai stakeholder di semua tingkat.
Bahkan bersifat melintas batas administrasi wilayah serta lintas komunitas (etnis, agama, dan suku). Rencana jangka panjang dari pelaksanaan proyek adminsitrasi pertanahan pertama (LAP I - Land Adminstration Project I) yang dimulai pada tahun 1995. Dimana proyek tersebut bekerja sama dengan Bank Dunia melalui program besar yang disebut Country Assistance Strategy for Indonesia (Strategi Asistensi Negara bagi Indonesia) yang diusulkan oleh Dewan Direktur Bank Dunia kepada Indonesia pada bulan April 1994. Proyek ini akhirnya direalisasikan dengan 5 (lima) tujuan utama yaitu : (1) melanjutkan pertumbuhan dengan stabilitas ekonomi makro, (2) mendukung pengembangan dan persaingan sektor swasta, (3) fostering pengurangan kemiskinan, (4) peningkatkan pengelolaan sektor publik, dan (5) mendukung pengelolaan lingkungan menjadi sektor yang menguntungkan.
Percepatan pendaftaran tanah, sebagai agenda utama proyek, akan memberikan kontribusi secara signifikan bagi tujuan pengembangan sektor swasta melalui (a) menyiapkan basis bagi pasar-pasar tanah yang efisien dan equitable, (b) meningkatkan investasi swasta dengan mengurangi resiko investasi, (c) memobilisasi sumber-sumber daya keuangan dengan dengan menjadikan tanah dapat digunakan sebagai kolateral (jaminan kredit), dan (d) menyiapkan peluang-peluang bagi pertumbuhan industri-industri terkait, khususnya survey dan pemetaan. Selanjutnya secara khusus di sebutkan bahwa tujuan utama proyek administrasi pertanahan yang dimulai pada tahun 1995 adalah untuk pembangunan pasarpasar tanah yang cepat, efisien dan terkesan equitable serta mengurangi konflikkonflik sosial atas tanah melalui percepatan pendaftaran tanah.
Proyek ini di laksanakan hingga tahun 2000. Kemudian dilanjutkan dengan Proyek Administrasi Pertanahan II (LAP II - Land Adminstration Project II) sejak tahun 2001 dengan periode proyek tidak melebihi 6 tahun. Namun pada awal tahun 2004 dan hingga saat ini, pemerintah Indonesia dan Bank Dunia telah menyiapkan proyek lanjutan yang diberi nama Proyek Pembaruan Kebijakan Pengelolaan Pertanahan (Land Management Policy Reform Project). Hal tersebut diatas tidak terlepas dari pengaruh kekuatan neo-liberalisme dan imprealisme. Agenda-agenda mereka seperti liberalisasi dibidang pertanian sejak hadirnya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Atas nama globalisasi dan liberalisasi, kebijakan pertanian di Indonesia diliberalkan, yaitu dengan dijalankannya kebijakan yang meliputi: Penghapusan subsidi bagi usaha pertanian rakyat, Membuka pasar dalam negeri Indonesia dari Import pertanian termasuk dibidang pangan, dan kebijakan-kebijakan lainnya dibidang liberalisasi perdagangan. Pemerintah Indonesia dibawah takanan IMF, Bank Dunia, dan kekuatan-kekuatan ekonomi yang dikuasai negara-negara G 7 dipaksa untuk menjalankan prinsip-prinsip neoliberalisme. Akibat dari proyek World Bank dan liberalisasi pertanahan adalah: Pertama. Terjadinya ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dipedesaan, gambaran keadaan ini dapat dilihat dari data berikut.
Pada tahun 1983, rata-rata penguasaan tanah di Indonesia adalah 0,89 hektare per rumah tangga tani, yakni 0,58 hektare di Pulau Jawa dan 1,58 hektare di luar jawa. Sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun 1993 mengalami penurunan secara nasional sebesar 0,83 hektar per rumah tangga tani, yakni 0,47 hektar untuk Pulau Jawa dan 1,27 hektar untuk luar Jawa. Lebih rinci lagi, ada sekitar 22,8 juta jiwa (84 persen) petani yang hanya memiliki tanah di bawah 1 ha, dengan proporsi tanah yang dikuasai hanya sekitar 31 persen dari total lahan yang ada. Sedangkan petani pemilik tanah di atas 1 ha berjumlah 4,4 juta jiwa (16 persen), dengan proporsi tanah yang dikuasai 69 persen. Data BPS (2005) menyebutkan konversi lahan sawah menjadi perumahan, industri, perkantoran selama lima tahun mencapai 25000 ribu ha. Bisa kita bayangkan bagaimana dengan perkembangan akhirakhir ini. Informasi ini menunjukkan bagaimana terjadinya penurunan jumlah luas lahan yang di miliki oleh petani selama ini, dan penindasan—bersama dengan ekses penghilangan hak rakyat terhadap penghidupan dan mata pencahariannya. Kedua. Indonesia menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia saat ini. 50% beras yang di perdagangkan di tingkat internasional atau kira-kira 3 juta ton di impor ke Indonesia. Sebanyak 1.2 juta kacang kedelai diimport ke Indonesia, demikian juga jagung, susu dan kebutuhan pokok lainnya. Ketiga. Nilai Tukar Petani (NTP) semakin menurun. Pada bulan Maret 2003 NTP secara nasional turun 3,58 persen dibanding bulan Februari 2003, yaitu dari 123,04 menjadi 118,64.
Subsektor tanaman pangan yang terdiri dari padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan, pada kelompok ini mengalami penurunan sebesar 3,24 persen sementara harga barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga petani naik 2,24 persen. Keempat. Terjadinya pengangguran yang melonjak 10 kali lipat pada tahun 1997. Pada tahun 1999 angkatan kerja baru 2,11 juta, tambahan kerja hanya 1.14 juta jumlah pengangguran terbuka 6,03 juta atau 6,36 %. Pada tahun 2001 pengangguran terbuka 8 juta atau 8,10%, tahun 2003 meningkat menjadi 10,13 juta atau 9,85%. Kelima. Indonesia menjadi negara penghutang terbesar di dunia, tahun 1998 nilai utang pemerintah membengkak menjadi 150 milyar dollar AS dan menjadi utang luar negeri tiap orang tidak kurang dari 750 dollar AS.
Kemudian hutang dalam negeri yang sebelumnya tidak ada menggelembung menjadi 600 Trilyun rupiah. Hal ini juga menyebabkan tidak kurang 27% dari total anggaran negara setiap tahunnya hanya untuk membayar hutang. Upaya petani miskin dan buruh tani dalam perjuangannya seringkali dianggap oleh pemerintah, pengusaha dan sebagian media massa sebagai “tindakan kriminal”, Bila ditilik dari awal konflik agraria yang terjadi, jelas perampas tanah adalah justru pihak pengusaha-pemerintah di bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, pariwisata, pertambakan, dan kehutanan. Kriminalisasi tersebut adalah sebagai siasat meredam kekuatan rakyat dalam upaya melaksanakan pembaruan agraria di Indonesia. Kriminalisasi tersebut telah membawa korban bagi petani.
Tewasnya 5 petani di Kabupaten Bulukumba saat memperjuangkan lahannya yang diserobot oleh PT. PP London Sumatra di Sulawesi Selatan pada tanggal 21 Juli 2003. Terjadi juga tragedi dengan tewasnya petani anggota Serikat Petani Sumatra Utara di Sosa, Pada tanggal 12 Agustus 2000. Dalam OPERASI WANA LAGA LODAYA terjadi penangkapan 40 orang petani anggota Serikat Petani Pasundan. Pada tahun 2000 terjadi kasus dipenjaranya 13 petani di Garut dan 7 petani di ciamis anggota Serikat Petani Pasundan. Selanjutnya, dipenjarakannya 11 petani serta dibakarnya rumah-rumah dan tanaman pangan petani anggota Serikat Petani Banten di Cibaliung, Banten, Dibakarnya rumah-rumah petani Jaka Baring dipinggiran kota palembang oleh pemerintah propinsi. Di Tanak Awu, 33 petani terluka (27 ditembak dan 6 luka pukul) dan hingga kini dipaksa meninggalkan tanah dan jalan hidupnya sebagai petani untuk proyek konversi lahan menjadi bandara internasional.
Di Bandar Pasir Mandoge, 5 orang petani ditangkap karena dituduh melawan perkebunan atas nama Perusahaan Bakrie Sumatera Plantation (BSP), hingga kini kehidupan mereka masih terancam penggusuran dan penangkapan. Kekerasan terhadap petani juga kembali terjadi di Kampung Benjang dan Cinengah Desa Sindang Sari, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Petani yang menggarap lahan seluas 10 hektar diserang oleh sekolompok preman—diduga atas tindakan pemerintah atas nama perkebunan (PTPN VIII). Akibat penyerangan ini seorang petani tertembak, 40 petani dinyatakan hilang, 14 rumah dibakar dan 7000 warga memilih untuk mengungsi, mereka merasa terancam keamanannya. Pertama, harga barang-barang turut naik.
Angka inflasi yang diasumsikan oleh APBN akan terkendali pada tingkat 5 persen, dalam kenyataannya melonjak menjadi sekitar 18 persen. Angka yang sudah tinggi ini, karena bersifat rata-rata tertimbang dari berbagai barang dan jasa, belum sepenuhnya menggambarkan yang terjadi. Harga barang dan jasa yang berhubungan langsung dengan kebutuhan sehari-hari rakyat banyak, seperti bahan makanan dan jasa transportasi, menyesuaikan kenaikan dengan lebih cepat dan dalam persentase yang lebih tinggi.
Barang pabrikan dari industri akan dan sudah mulai menyesuaikan pula, yang berarti masih akan ada kenaikan harga dalam bulanbulan mendatang. Kenaikan biaya hidup rata-rata keluarga miskin dan sederhana dapat dipastikan lebih dari 18 persen. Jika satu keluarga miskin dengan 4 orang anggota keluarga setiap bulannya membutuhkan biaya 600 ribu rupiah untuk bertahan hidup, maka pasti dibutuhkan lebih dari 700 ribu rupiah untuk bertahan dengan cara hidup yang sama.
Dapat dibayangkan bahwa cara hidup yang sudah kurang “manusiawi” selama ini, masih harus disesuaikan lagi. Jika ada yang mendapat bantuan tunai langsung sebesar 100 ribu rupiah, maka diasumsikan mereka akan dapat mempertahankan penderitaan hidup sebelumnya. Letter of Intent antara Indonesia dengan IMF (International Monetary Fund) melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas serta Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual BBM. Mengakibatkan kenaikan harga BBM sebanyak dua kali dalam bulan Maret dan Oktober tahun 2005, dampaknya bagi masyarakat adalah naiknya harga barangbarang. Angka inflasi yang diasumsikan oleh APBN akan terkendali pada tingkat 5 persen, dalam kenyataannya melonjak menjadi sekitar 18 persen. Angka yang sudah tinggi ini, karena bersifat rata-rata tertimbang dari berbagai barang dan jasa, belum sepenuhnya menggambarkan yang terjadi.
Harga barang dan jasa yang berhubungan langsung dengan kebutuhan sehari-hari rakyat banyak, seperti bahan makanan dan jasa transportasi, menyesuaikan kenaikan dengan lebih cepat dan dalam persentase yang lebih tinggi. Barang pabrikan dari industri akan dan sudah mulai menyesuaikan pula, yang berarti masih akan ada kenaikan harga dalam bulan-bulan mendatang. Kenaikan biaya hidup rata-rata keluarga miskin dan sederhana dapat dipastikan lebih dari 18 persen. Jika satu keluarga miskin dengan 4 orang anggota keluarga setiap bulannya membutuhkan biaya 600 ribu rupiah untuk bertahan hidup, maka pasti dibutuhkan lebih dari 700 ribu rupiah untuk bertahan dengan cara hidup yang sama.
Dapat dibayangkan bahwa cara hidup yang sudah kurang “manusiawi” selama ini, masih harus disesuaikan lagi. Jika ada yang mendapat bantuan tunai langsung sebesar 100 ribu rupiah, maka diasumsikan mereka akan dapat mempertahankan penderitaan hidup sebelumnya. Kenaikan harga BBM juga mengakibatkan naiknya pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka pada Oktober 2005 diperkirakan sebesar 10,84%, atau meningkat dibanding Agustus 2004 sebesar 9,86%. Penambahan penganggur dalam periode ini termasuk yang terkena PHK atau kehilangan pekerjaannya sebagai dampak kenaikan harga BBM pada awal Maret 2005 maupun awal Oktober 2005 dan new entrants (tidak termasuk yang telah mendapatkan pekerjaan lagi). Selisih perkiraan jumlah penganggur antara keadaan dengan dan tanpa memperhitungkan dampak kenaikan harga BBM pada awal Maret 2005 dan awal Oktober 2005, mencapai 426 ribu orang, artinya kenaikan harga BBM berpotensi menciptakan tambahan pengangguran baru sebesar 426 ribu.
III. Kesimpulan dan Rekomendasi IMF dan Word Bank telah memfasilitasi negara untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia, dan masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusian. Dalam Penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Nomer 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM “Kejahatan terhadap kemanusiaan,” yang merupakan salah satu perbuatan dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, sebagai kelanjutan dari kebijakan Penguasa atau Organisasi Statuta Roma mengartikan serangan sebagai, “serangan” yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil” berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda dari perbuatan yang dimaksud dalam ayat 1 terhadap kelompok penduduk sipil, sesuai dengan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut.
Bentuk perbuatan dari kejahatan terhadap kemanusian tersebut, dalam kasus konflik agraria dengan kekerasan bersenjata meliputi pembunuhan, penganiayaan dan pemindahan penduduk secara paksa. Sedangkan pemusnahan terjadi, akibat kebijakan ekonomi dan finanasial negara yang ikut alur IMF mengakibatkan sulitinya memenuhi hak-hak dasarnya yang berujung pada kematian banyak manusia. Statuta Roma maupun Penjelasan Undang-Undang Nomer 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan Pemusnahan, mencakup ditimbulkannya secara sengaja pada kondisi kehidupan, anatara lain dihilangkannya akses kepada pangan dan obat-obatan, yang diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebagaian penduduk.
Rekomendasi Internasional Perlunya yuridiksi internasional khususnya PBB, untuk membuat analisa tentang kejahatan terhadap kemanusian non konflik bersenjata, dan membawa kasusnya ke mahkamah internasional. Rekomendasi Kepada Negara 1. Cabut produk hukum dan kebijakan pemerintah yang merupakan produk dari IMF dan World Bank serta WTO 2. Hentikan privatisasi dan komersialisasi sumber-sumber agraria dan pelayanan publik 3. Mengadili kejahatan kemanusiaan yang dilakukan aktor state dan non state (IMF, WB, dan TNC) Rekomendasi Kepada RakyatMemandang perlu dokumentasi pelanggaran kejahatan kemanusian melalui kesaksian korban serta analisisi hukum dan HAM, diperlukan sebuah pengadilan rakyat. Selain dokumentasi, putusan pengadilan rakyat inilah yang akan didesakan kepada pemerintahan nasional dan yuridiksi internasional untuk ditindaklanjuti dalam rangka pemenuhan hak-hak korban, kriminalisasi pelaku pelanggaran hak asasi manusia dan pembaruan hukum
Sejarah BUMN, IMF-World Bank dan Privatisasi di Indonesia (3)
Artikel Sebelumnya (2)
Cikal Bakal Privatisasi
Jika dalam UU 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing secara tegas menyatakan bahwa hanya negara yang berhak penuh mengelola sektor-sektor strategis seperti tertera dalam pasal 6, maka pada UU 6/1968 sudah memperbolehkan modal asing masuk dalam sektor-sektor yang tertuang dalam Pasal 6 UU 1/1967 dengan membedakan label “modal dalam negeri” dan “modal asing” dari sisi kepemilikan (persentase modal/saham). Jadi, sudah terjadi perubahan kepemilikan perusahaan negara yang strategis (diluar pasal 2 Undang-undang No. 1 tahun 1967) yang awalnya harus berasal dari modal dalam negeri namun diperbolehkan modal dari luar negeri. (Catatan : komposisi modal dalam negeri adalah modal negara + modal masyarakat).
Pada prinsipnya orang asing hanya boleh menguasai sektor-sektor swasta non-strategis dan penting. Sedangkan untuk sektor strategis, pemerintah memperbolehkan modal asing menguasai 49% pada awal 1968 dan dikurangin hingga 25% pada tahun 1974. Hal ini didasari oleh masih buruknya perekonomian dan masyarakat Indonesia pada tahun 1968 sehingga diperlukan suntikan dana yang besar bagi perekonomian nasional, dan solusinya adalah mengundang orang-orang asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan modal tersebut dimanfaatkan dengan memberikan kepada mereka ketentuan-ketentuan dan kepastian atas dasar mana mereka dapat bekerja secara produktip dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan alasan itu, maka asing diperbolehkan untuk memiliki perusahaan strategis negara yang“menguasai hajat hidup orang banyak“. Inilah cikal bakal privatisasi di bumi Indonesiayang tujuan awalnya “mulia” yakni membangkitkan ekonomi negara ditengah minimnya modal dalam negeri. Disisi lain, privatisasi kepemilikan perusahaan negara kepada rakyatnya (bukan kepada saing) secara tidak langsung memang merupakan implementasi dari ekonomi kekeluargaan (koperasi). Jadi sejarah privatisasi pertama kali di Indonesia adalah ketika diterbitnya UU 6/1968 pada tanggal 3 Juli 1968.
Pada pasal 3 UU 6/1968 disebutkan:
- Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional Persentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%.
- Perusahaan asing adalah perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan dalam ayat 1 pasal ini.
- Jika usaha yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini berbentuk perseroan terbatas masa sekurang-kurangnya persentase tersebut dalam ayat 1 dari jumlah saham harus atas nama.
Namun ada hal yang menarik dalam UU 6/1968 khususnya pasal 3 ayat 1 yakni “Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang- kurangnya 51% daripada modal dalam negeriyang ditanam didalammnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional Persentase itusenantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%.” Jadi, dalam mengatasi krisis ekonomi pada 1965-1967, pemerintah memperbolehkan perusahaan Nasional dimiliki oleh modal asing dengan rincian sebagai berikut
- Dimiliki secara penuh oleh Negara
- Dimiliki oleh Negara dan/atau swasta nasional, atau
- Gabungan antara Negara dan/atau swasta nasional dengan swasta asing, dengan syarat sekurang-kurangnya 51% dari modalnya dimiliki oleh Negara dan/atau swasta nasional (pada saat diundangkan) ***
***Persentase modal dalam negeri sebesar 51% ini sudah dianggap cukup mengingat kesanggupan dari swasta nasional. Dengan perbaikan ekonomi, maka secara bertahap persentase pemilikan modal asing pada “perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak secara bertahap akan dikurang” dari 49% pada tahun 1968 menjadi 25% pada tanggal 1 Januari 1974.
Catatan:
Seperti diuraikan dalam bagian pertama dari artikel ini, disebutkan bahwa perusahaan yang menguasai sektor strategis dikuasai negara dan dikelola secara “demokrasi”. Dalam konteks ini, maka dapat diinterpretasika bahwa perusahaan nasional (BUMN) dapat dimiliki oleh masyarakat dengan merata (tanpa dominasi saham mayoritas, misalnya maksimun tiap individu hanya boleh memiliki 0.001% saham/kepemilikan). Namun, negara tetap menguasai secara dominan sektor-sektor tersebut.
Nasionalisasi vs Liberalisasi : Kesamaan dan Perbedaan Soekarno dan Soeharto
Pada masa Pemerintah Soekarno (awal masa Demokrasi Terpimpin), Indonesia menasionalisasi sekitar 600 perusahaan yang mana sekitar 300 adalah perusahaan perkebunan, lebih dari 100 perusahaan dalam bidang pertambangan dan sisanya sektor perdagangan, perbankan, asuransi, komunikasi dan konstruksi. Setelah dilakukan restrukturisasi pada akhir masa Demokrasi terpimpin (1966), jumlah perusahaan yang dikuasai oleh negara menjadi 233 perusahaan. Dalam pengelolaan perusahaan negara ini Presiden Soekarno melibatkan kalangan militer sehingga muncul istilah entrepreneurial military officer, oleh sebagian pengamat langkah ini dipandang sebagai salah satu strategi untuk menjaga stabilitas dan loyalitas militer. (Sri Edi Swasono*)
Beban pemerintah yang terlalu besar untuk menjalankan perusahaan negara, krisis pangan pada tahun 1961 sebagai akibat gagal panen dan tidak tercapainya kuota impor beras, dan pencetakan uang secara besar-besaran mendorong munculnya hiperinflasi. Pada tahun 1961 inflasi mencapai angka 95 persen dan pada tahun 1965 inflasi mencapai 605 persen. Untuk mengatasi hiperinflasi pemerintah melakukan kebijakan pemotongan nilai uang melalui Penetapan Presiden No. 27/1965 tanggal 13 Desember 1965, dimana nilai mata uang Rupiah turun dari Rp 1000,- menjadi Rp 1,-. Kebijakan ini jelas merugikan masyarakat secara luas (Sukarman, 2003). Kondisi ini terus memburuk sampai dengan lahirnya pemerintah Orde Baru. (Sri Edi Swasono*)
Pemerintah Orde baru membawa paradigma baru dalam bidang ekonomi yang sebagian besar merupakan antitesis dari paradigma Orde Lama. Perbedaan yang nyata adalah bahwa Soeharto menerapkan azas pragmatisme dalam ekonomi yang dijalankan oleh para profesional dengan memperoleh dukungan dari kelompok militer. Glasburner (1971) menyatakan bahwa:
“In the New Order’s economic policy, this effort has been characterized by pragmatism, reliance on professional expertise and gradualism”.
Pragmatisme disini didefinisikan sebagai tindakan politik yang menitikberatkan pada azas manfaat tanpa terpengaruh oleh ideologi tertentu (mendasar). Pragmatisme ekonomi ditunjukkan dengan penerapan kebijakan makro ekonomi khas barat (neo-liberal) yang menjadi rujukan strategi pembangunan. Kebijakan ini dipadu dengan keterbukaan pemerintah terhadap arus modal asing dari negara-negara barat (Sadli, 1997). Kebijakan pemerintah untuk membuka diri bagi sektor swasta untuk berperan dalam perekonomian nasional dan mengurangi peran perusahaan negara juga dipandang sebagai wujud pragmatisme (Austin, 2001).
Dalam konteks pengelolaan perusahaan negara, dalam batas tertentu antara Orde Lama dan Orde Baru memiliki banyak kesamaan, yakni menempatkan perusahaan negara sebagai tulang punggung perekonomian. Namun, dalam pemerintahan Suharto, dominasi perusahaan negara secara berangsur-angsur dikurangi dan berpindah tangan ke swasta (termasuk didalamnya orang asing). Hal ini dapat kita kutip dari pernyatan Rice (1983) sebagai berikut:
“Both the Soekarno and Soeharto’s governments have declared that the roles of the state owned enterprises and cooperative sectors are important, but the Soeharto’s government has moved to decrase the role of the state owned enterprises and has greatly increased the role of private sector (including foreign enterprises) in the economy”.
Siapa Master dibalik Pragmatisme Ekonomi Indonesia?
Pandangan pragmatisme perekonomian Indonesia dipelopori oleh ekonom-ekonom lulusan Universitas California Berkaley, sehingga mereka didaulat dengan nama Mafia Berkaley yakni para teknokrat yag menjalankan kebijakan ekonomi liberal (Glasburner, 1971). Agar terlihat sistem pemerintah era Soekarno berbeda dengan Soeharto, maka pemerintahan Soeharto mengubah haluan kebijakan pemerintahan Indonesia. Kita tahu bahwa pemerintahan Soekarno cenderung sosialis, sehingga Soeharto merubah menjadi haluan lebih liberal. Hal ini ditujukan untuk memperoleh simpati Negara negara Eropa dan Amerika. Perubahan haluan ini juga merupakan kemenangan besar dari group Barat dalam memenangkan perang ideologi (liberal vs komunis) atau Perang Dingin di kawasan Asia Tenggara.
Dalam tulisan bagian 2 ini, pasca melemahnya pengaruh dan kekuasan Soekarno di awal 1966, kekuasaan sepenuhnya sudah beralih kepada Soeharto. Dalam bidang ekonomi, Soeharto menunjuk Prof Widjoyo Nitisastro untuk menata sistem ekonomi Indonesia yang baru, yang berbeda dengan Soekarno. Ada sejumlah program resmi yang diumumkan oleh Soeharto yakni
- Penerapan anggaran dan nerara pembayaran yang berimbang [catatan : sebenarnya bukan berimbang, karena utang dalam APBN disebut sebagai pendapatan, bukan disebut sebagai pembiayaian defisit APBN)
- Rehabilitasi prasarana fisik [cat: masuknya perusahaan asing dalam proyek-proyek yang menelan anggaran besar menguntungkan perusahaan asing]
- produksi makanan dan pembangunan pertanian [cat: salah satu kesuksesan ekonomi Orba yang dalam sistem pemerintahanya cukup aman dari gangguan keamanan baik lokal maupun Amerika cs]
Sudah menjadi rahasia umum (seperti pengungkapan John Perkins) bahwa salah agenda asing dalam membentuk imperium global adalah dengan memberi utang kepada negara tersebut, diikuti liberalisasi berbagai sektor dan terpenting adalah menguasai sumber-sumber kekayaaan alam strategis untuk diolah dan dijual kembali ke berbagai negara termasuk negara sumber kekayaaan alam tersebut dengan harga tinggi (value added). Agenda-agenda tersebut berjalan mulus karena selain diback-up oleh kekuatan asing (hidden power), ternyata kelompok teknokrat Indonesia berhaluan ekonomi liberal mendukung ambisi imperium dari Negara+Lembaga Keuangan+Korporasi Asing.
Para ekonom liberal tersebut membantu menciptakan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di mata internasional, padahal hanya segelintir orang yang merasakan dampak pertumbuhan ekonomi (cara-cara KKN). Dengan kondisi tabungan masyarakat yang rendah, maka liberalisasi aset, kekayaan alam Indonesia dan masuknya modal asing secara besar-besaran terbuka tanpa ada halangan yang berarti. Meskipun sejarah mencatat bahwa pada 15 Januari 1974, para mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran dan diikuti kerusuhan sosial menentang masuknya modal asing dalam berbagai sektor. Peristiwa ini dikenal sebagaiPeristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Namun, semangat Malari kandas ditangan militer Soeharto. Inilah mengapa saya katakan proses pengobralan kekayaan alam dan liberalisasi modal asing masuk tanpa halangan berarti.
Dalam bidang moneter, pemerintah melalui Bappenas melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia untuk menetapkan sasaran makro ekonomi dalam rangka menjaga stabilitas harga (pengendalian laju inflasi). Kebijakan fiskal dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan Departemen Keuangan dengan menutup Defisit Anggaran melalui pinjaman luar negeri melalui IGGI. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah mendorong peran swasta (nasional dan asing) untuk terlibat dalam proses pembangunan melalui serangkaian kebijakan penanaman modal yang menarik bagi swasta. Beberapa paket kemudahan untuk melakukan usaha (bahkan pemberian hak khusus seperti monopoli dan proteksi) bagi pihak swasta. Kondisi kemudian menyuburkan beberapa konglomerat yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan.
Dalam konteks pengelolaan BUMN, pada awal orde baru, pemerintah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan BUMN yang terdiri dari: dekonsentrasi, debirokrasi, dan desentralisasi. Hal ini ditujukan untuk membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk terlibat dalam proses pembangunan. Upaya perbaikan kinerja BUMN dilakukan melalui ditetapkannya UU 9 Tahun 1969 tentang Bentuk Badan Usaha Negara, di mana BUMN dipisahkan berdasarkan fungsi dan peran sosial ekonomisnya yakni [baca UU 9/1969 asli]
- Perusahaan Jawatan, disingkat PERJAN;
- Perusahaan Umum, disingkat PERUM;
- Perusahaan Perseroan, disingkat PERSERO.
BUMN sebagai salah satu tulang punggung perekonomian (aset produktif yang dimiliki oleh pemerintah) diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi pemerintah dalam bentuk dividen dan pajak. Pemerintah sangat berkepentingan atas kesehatan BUMN, akan tetapi kenyataannya banyak BUMN yang mengalami kerugian karena pengelolaan yang tidak profesional dan tidak transparan (KKN). Sampai saat ini, kelemahan-kelemahan yang menimpa di sebagian BUMN kita masih belum mendapat terapi yang tepat dari pemerintah, sehingga solusinya adalah menjual dan menjual.
Privatisasi BUMN
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan melakukan stabilitas harga dan laju inflasi pemerintah memberikan proteksi dan hak monopoli kepada BUMN serta memberikan subsidi yang cukup besar bagi BUMN yang merugi. Kondisi ini menciptakan ketergantungan BUMN kepada pemerintah, sehingga sebagian besar justru menjadi beban bagi pemerintah. Ketergantungan BUMN terhadap pemerintah tidak menciptakan struktur kemandirian BUMN untuk berkompetisi dengan perusahaan swasta, dan seringkali BUMN memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang relatif tinggi. Kinerja, kualitas, dan produkivitas karyawan BUMN relatif rendah, jika dibandingkan dengan karyawan perusahaan swasta.
Tingginya biaya produksi mempengaruhi tingkat harga produk yang ditawarkan kepada konsumen. Dalam kasus tertentu pemerintah memberikan subsidi yang terlalu besar bagi BUMN, sehingga secara internal upaya untuk menciptakan efisiensi dalam tubuh BUMN menjadi makin sulit. Ketidakjelasan peran yang diambil oleh pemerintah dalampengelolaan BUMN tidak mampu mendorong efisiensi dalam BUMN yang bersangkutan. High cost economy dalam BUMN yang diantaranya ditunjukkan oleh tingginya biaya tenaga kerja, merupakan salah satu gambaran betapa BUMN belum dapat beroperasi secara efisien.
Nasib buruk BUMN semakin diujung tanduk ketika krisis ekonomi tahun 1997 menerpa Indonesia. Anggaran dan belanja negara membengkak. Beban hutang luar negeri yang jatuh tempo, stabilitas ekonomi moneter yang rapuh, instabilitas politik dan beberapa kebijakan pemrintah yang lebih memberikan perlindungan kepada konglomerat turut memperbesar beban pemerintah. Ini menjadi alasan privatisasi BUMN yang cukup merugikan negara pasca jatuhnya kekuasaan Orde Baru.
Atas desakan IMF, pemerintah dipaksa menjual BUMN-BUMN yang cukup potensial di masa-masa mendatang hanya untuk menutup defisit APBN. Selain menjadi sapi perah pejabat negara, BUMN diobral kepada investor asing demi mendapatkan utang baru dari IMF cs. Pada pemerintahan Megawati, tim ekonominya yakni Menko Perekonomian Dorodjatun, Menkeu Boediono, dan Meneg BUMN Laksama Sukardi melakukan privatisasi BUM secara cepat (fast-track privatization) hanya untuk menutup anggaran dengan tanpa mempertimbangkan aspek ekonomis dari BUMN yang bersangkutan. Pilihan menggandeng mitra strategis (melalui strategic sale) dalam proses privatisasi oleh sebagian pengamat dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara.
Privatisasi di Era Globalisasi dan Neoliberalisasi
Pasca krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia tidak langsung pulih. Besarnya utang luar negeri yang diciptakan 30 tahun pemerintah orde baru sebesar USD 120 miliar (1967-1997) menyebabkan beban bunga+cicilan utang membengkak. Belum lagi inflasi yang tinggi, industri-industri bangkruk karena utang besar. Maka kehadiran IMF untuk menangani krismon Indonesia diikuti pemaksaan agar sektor-sektor strategis negara harus diliberalisasi lebih luas, lebih besar kepada asing. Setiap LoI dengan IMF, selalu mensyaratkan “jual aset ini, jual aset itu“.
Secara “membudaya”, privatisasi BUMN-BUMN strategis Indonesia pertama kali terjadi pada masa Pemerintahan Soeharto ke-5 yakni tahun 1991. Meskipun cikal bakal privatisasi “umum” telah diundangkan pada tahun 1968, namun 1991 menjadi tahun dimana satu persatu perusahaan negara diprivatisasi secara kontinyu. Dan PT Semen Gresik menjadi BUMN pertama yang terkena program privatisasi. Ini terjadi beberapa waktu setelah pemerintah memberi kartu hijaupendirian seratusan bank-bank swasta (pengusaha) yang tidak kompenten dan transparan. Bank-bank inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis moneter Indonesia tahun 1997-1998. Selama periode 1991-1999, pemerintahan Soeharto dan Habibie baru memprivatisasi 9 BUMNdengan total nilai privatisasi lebih dari USD 5 miliar. Bentuk privatisasi dilakukan melalui penawaran umum di pasar modal maupun melalui strategic partner (mengundang investor yang menjadi rekan strategis).
- PT Perkebunan Nusantara III
- PT Perkebunan Nusantara IV.
- PT Pupuk Kaltim.
- PT Tambang Batubara Bukit Asam.
- PT Aneka Tambang Tbk.
- PT Indo Farma.
- PT Kimia Farma.
- PT Sucofindo.
- PT Kerta Niaga.
- PT Angkasa Pura II.
Jika ada beberapa BUMN yang di privatisasi di era Habibie dan Gus Dur, maka masuknya tim ekonomi yang sangat patuh pada IMF di pemerintahan Megawati berhasil memprivatisasi aset-aset strategis negara seperti Telkom, Indosat, PT BNI, PT Batu Bara Bukit Asam. Penjualan BUMN tersebut dengan harga yang terlalu kecil jika dibanding prospek (2 tahun kemudian) yang memiliki kinerja yang sangat baik, yang menghasilkan keuntungan yang besar bagi para pemegang saham. Begitu juga penjualan bank-bank di BPPN dengan sangat murah, dimana hampir di setiap transaksi merugikan negara triliun rupiah. Inilah salah satu keberhasilan IMF untuk mendikte Indonesia melalui tim ekonomi yang berhaluan “Mafia Berkeley“, yang berpaham neoliberalisme.
Penjualan BUMN-BUMN yang profitable kepada asing di masa pemerintah Megawati menjadi blunder negatif bagi diri Megawati ketika menjadi capres baik di tahun 2004 maupun 2009. Semua orang akan mengalamatkan Megawati sebagai penjual BUMN, sementara para dalang dibalik penjual BUMN dan perbankan BPPN jarang mendapat getahnya yakni Dorodjatun, Boediono dan Laksama Sukardi.
Berbagai saham BUMN strategis “berhasil” dijual diera Megawati [jangan lupa juga tim ekonominya dan 50 butir LoI IMF tahun 1997]. Sebut saja penjualan saham Perusahaan Gas Negara sebesar Rp 7,34 triliun melampaui dari target semula yaitu Rp 6,5 triliun. Privatisasi Bank Mandiri dengan nilai Rp 2,5 triliun, PT Indosat Rp1,16 triliun dan Bank Rakyat Indonesia Rp 2,5 triliun.
Namun, ada satu rencana terbesar di era Pemerintah Megawati dalam privatisasi BUMN yakni pada tahun 2004. Wakil pemerintah yakni Laksamana Sukardi dan Boediono pada tahun Maret/April 2004 mengajukan privatisasi 28 BUMN. BUMN itu terdiri dari 19 BUMN dan 9 non-BUMN atau BUMN minoritas. Privatisasi 28 BUMN tersebut merupakan gabungan dari program carry over (kelanjutan) privatisasi BUMN tahun 2002 dan tahun 2003 serta program murni privatisasi BUMN tahun 2004. Dan untungnya,sebagian besar program privatisasi yang diajukan pemerintah via Laksamana Sukardi dan Boedino ini kandas ditangan DPR karena alasan politik Pemilu 2004.
Sejumlah BUMN yang masuk dalam daftar privatisasi tersebut adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Danareksa, PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT Batubara Bukit Asam Tbk, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Perkebunan Nusantara III, PT Kimia Farma, PT Indofarma, PT Cambrics Primissima, dan BUMN sektor kawasan serta sembilan non- BUMN lainnya.
Ganti Pemerintah, Ganti Alasan Privatisasi
Jika di era pemerintahan Megawati, privatisasi dilakukan karena tim ekonomi-nya percaya pada arahan IMF bahwa utang negara besar sehingga untuk menutup defisit APBN, privatisasilah salah satu jalan keluarnya. Namun, ketika para pengkritik privatisasi aset strategis semakin mendapat dukunga luas masyarakat, pemerintah SBY-JK selalu menggunakan alasan bahwa “privatisasi harus dilakukan karena BUMN tidak bisa untung“. Meskipun jika kita amati UU APBN sejak 2005 hingga 2009, kita akan melihat bahwa privatisasi merupakan sarana untuk menutup defisit. Hanyalah kedok mengelabui masyarakat jika di berbagai media menyebut bahwa privatisasi dilakukan karena BUMN tidak bisa untung.
Berdasar data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dirilis belum lama ini (2009), dari 14 BUMN yang tercatat di BEI, pihak asing telah menguasai saham 31%, setara dengan Rp 137 triliun. Asing menguasai sektor-sektor strategis seperti telekomunikasi, perbankan, pertambangan dan migas, semen, serta farmasi. Pada beberapa BUMN kategori blue chips, kepemilikan asing bahkan menyundul angka 40 persen. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, misalnya, 39,5 persen sahamnya kini dalam genggaman pihak asing. Demikian pula PT Semen Gresik Tbk sebanyak 39,21% dikuasai asing. Bank Rakyat Indonesia (BRI) – yang selama ini menjadi andalan para petani dan rakyat kecil – sahamnya telah dikuasi asing sebesar 35,39 persen.
Salah satu langkah luar biasa pemerintah SBY-JK adalah program privatisasi 44 BUMN di tahun 2008 yang akhirnya juga kandas setelah diprotes dari berbagai kalangan masyarakat dan tokoh nasional [Inilah, 2008]. Pada 31 Januari 2008, Boediono sebagai ketua Komite Privatisasi BUMN meneken surat keputusan untuk menjual 44 BUMN milik negara Indonesia. Dari 44 BUMN itu, sebanyak 33 di antaranya adalah nama baru, sedangkan 11 lainnya adalah perusahaan yang direncanakan dilego tahun lalu, tapi belum kesampaian. Keputusan privatisasi dilakukan oleh Komite Privatisasi Perusahaan BUMN yang diketuai Menko Perekonomian Boediono, dengan Wakilnya adalah Meneg BUMN Sofyan Djalil dan anggotanya Menkeu Sri Mulyani Indrawati serta menteri yang menjadi pembina teknis BUMN yang akan dijual.
Sejumlah BUMN yang akan dilego tersebut adalah Semen Kupang, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, IV, dan V, Adhi Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Tabungan Negara, Krakatau Steel, serta kawasan industri di Medan dan Makassar. Pada tahun 2008 tersebut, Boedion mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN pada di akhir 2009. Iapun mengakui bahwa target setoran privatisasi BUMN ke APBN 2008 adalah Rp 1,5 trilyun.
Privatisasi Bukan Satu-Satunya Solusi
Jika salah satu penggerak ekonomi China adalah 150 SOE (BUMN) strategis-nya, maka semestinya Indonesia memanfaatkan sekaligus membesarkanya BUMN strategis sebagai penopang ekonomi khususnya BUMN yang bergerak disektor hulu ekonomi. Sudah saatnya kita melihat kedalam, jika saja BUMN tidak sehat dan merugi, maka adalah tugas pemerintah melalui Meneg BUMN untuk merestrukturisasi BUMN tersebut hingga sehat dan menopang perekonomian hulu.
Pada tahun 2009, Kementerian BUMN akan melanjutkan program privatisasi terhadap 30 BUMN yang sebagian besar merupakan pengalihan dari tahun 2008. Angka ini dikurangi dari 44 perusahaan yang akan diprivatisasi pada tahun 2008. Sejumlah perusahaan yang akan diprivatisasi pemerintah adalah PT Krakatau Steel (Industri strategis bagi PT Pindad yang menghasilkan Panser, PT DI dan PT PAL), PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, IV, dan VII; dan Bank Tabungan Negara (BTN).
Jika kebijakan privatisasi tetap diteruskan oleh pemerintah, maka prosentase penguasaan asing terhadap aset-aset negara jelas akan semakin membengkak. Hal ini tentu amat merisaukan, karena berdasarkan analisis Lembaga Keuangan Morgan Stanley, 10 tahun mendatang BUMN-lah yang akan memegang kendali perekonomian suatu negara. Seperti artikel di bagian 1, hendaknya industri strategis BUMN menjadi tulang punggung perekonomian negara untuk menyokong sektor hulu ekonomi negara (dimana swasta ikut serta) seperti tertuang dalam UUD 1945.
Jika akan memprivatisasi BUMN dengan alasan memberdayakan modal masyarakat, maka hal ini diperbolehkan dengan syarat saham-sahamnya dijual kepada masyarakat Indonesia dengan menetapkan maksimum kepemilikan saham sebesar 0.0001% per orang. Jadi, jika sebuah BUMN akan diprivatisasi 25%, maka setidaknya ada 250,000 (1/4 juta) masyarakat Indonesia yang ikut memiliki BUMN tersebut. Sehingga para pedagang, guru, pegawai swasta dengan bermodal 1-10 juta dapat memiliki saham BUMN kita secara merata. Tidak boleh ada yang memiliki saham BUMN lebih dari itu. Inilah setidak-tidaknya mewarnai ekonomi gotong royong, ekonomi koperasi, alias ekonomi kekeluargaan, bukan dengan melego perusahaan strategis hanya kepada segelintir konglomerat saja. Itu namanya liberalisasi kapitalis Bung!
Salam Nusantaraku,
ech-wan, 12 Juli 2009
Tulisan Sebelumnya:
Sejarah BUMN, IMF-WB dan Privatisasi di Indonesia (1) – Tentang Perusahaan Negara
Sejarah BUMN, IMF-WB dan Privatisasi di Indoensia (2) – Tentang IMF
Sumber Perundangan dan Referensi:
UU 71/1957 —UU 1/1966 —UU 1 Tahun 1967—-UU 9 Tahun 1969
*) Sri-Edi Swasono – Pasal 33 UUD 1945, Harus Dipertahankan, Jangan Dirubah, Boleh Ditambah Ayat (SES)
Kompas 1 — Kompas 2— Kompas 3—–Kompas 4— Tempo 1—-Tempo 2—Tempo 3—-Tempo 4 —Tempo 5—-Inilah—-Warta Ekonomi —
http://nusantaranews.wordpress.com/2009/07/12/sejarah-bumn-imf-word-bank-dan-privatisasi-di-indonesia-3/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar